Laporan Reporter Tribun Jogja, Rendika Ferri K
TRIBUNNEWS.COM, MAGELANG - Sebanyak 2.000 payung berwarna-warni tampak begitu indah menghiasi Taman Lumbini, Candi Borobudur, Jumat (7/9/2018) sore tadi.
Payung-payung itu dilukis dan dikreasikan oleh seniman-seniman perajin payung dari nusantara yang dipamerkan dalam Festival Payung Indonesia tahun 2018.
Heru Mataya, dari Mataya Art Heritage, sebagai salah satu Pendiri Festival Payung Indonesia, menuturkan, Festival ini ada untuk membangkitkan kembali perajin-perajin payung di desa-desa payung yang kini mengalami kepunahan.
Mereka diajak kembali untuk mengembangkan produk payung mereka menjadi karya kekinian yang memiliki nilai seni yang tinggi.
Payung bukan lagi menjadi alat untuk berlindung dari teriknya matahari, atau berteduh dari hujan, tetapi juga menjadi fashion, interior, bahkan karya seni baru yang diminati.
"Kami mengajak masyarakat untuk mengembangkan payung ini menjadi karya kekinian, menemukan hal baru dan menciptakan pasar baru."
"Desa-desa payung yang mulai punah, dengan adanya Festival ini menjadi berkembang. Jika semula produk payung mereka hanya ditujukan untuk keperluan kematian, kelahiran, atau upacara, sekarang untuk interior dan kebutuhan lain," kata Heru, Jumat (7/9/2018).
Heru mengatakan, keberadaan payung sendiri memiliki tempat sendiri dalam sejarah.
Payung sudah ada dan dipergunakan sejak abad ke-8.
Hal itu terlihat dari banyaknya gambar payung dalam relief pada candi-candi yang ada di Jawa.