"Kami tidak tahu motivasinya apa, mungkin benci atau karena apa. Tapi yang jelas dampaknya sangat buruk terhadap Gigih," tutur Ifada.
Ifada mengungkapkan, Gigih sebenarnya adalah anak angkat. Kedua orang tuanya bekerja di Surabaya.
Ia tinggal bersama neneknya di sebuah desa di Tulungagung.
Baca: Mobil Melaju Kencang saat Jembatan Emas Terbuka, Dua Orang Meninggal Terjun dari Ketinggian 20 Meter
Selama ini Gigih juga rajin mengonsumsi Antiretroviral (ARV) untuk menekan jumlah virus di tubuhnya.
Gigih baru saja menjalani operasi mata. Kondisinya belum pulih sepenuhnya, namun Gigih sudah mulai masuk sekolah.
"Matanya memang masih bengkak, dan itu yang mungkin membuat wali murid lain ketakutan. Mereka yang melarang anak-anaknya masuk ke ruang kelas jika ada Gigih," ungkap Ifada.
Masih menurut Ifada, banyak masyarakat Tulungagung masih kurang memahami HIV/AIDS.
Akibatnya saat ada penderita yang terungkap identitasnya, maka yang terjadi stigmatisasi yang buruk.
Mereka dijauhi dan dikucilkan, karena dianggap bisa menularkan penyakit.
Karena itu KPA Tulungagung melakukan sosialisasi kepada warga, utamanya wali murid tempat Gigih bersekolah.
KPA memberikan pemahaman bahwa HIV tidak bisa menular hanya dengan berdekatan, bahkan bersentuhan.
Baca: Presiden Jokowi Bangga dengan Patung Garuda Wisnu Kencana
"Waktu sosialisasi kami juga membawa ODHA (orang dengan HIV/AIDS) untuk memberikan testimoni. Supaya warga paham apa sebenarnya HIV/AIDS itu," tegas Ifada.
Selain itu KPA juga melakukan pendampingan terhadap Gigih. Diharapkan bocah yang masih sekolah ini tidak sampai terganggu psikologinya.
Selain itu Gigih juga dibimbing untuk menghadapi segala stigma karena kondisinya yang terlanjur terungkap.
"Dan alhamdulillah, anak ini pembawaannya tetap ceria menghadapi semuanya. Sekarang dia diawasi oleh petugas medis dari Puskesmas," kata Ifada.
Artikel ini telah tayang di Surya.co.id dengan judul Kisah Memilukan, Siswa Ini Dikucilkan karena Ketahuan Positif HIV