TRIBUNNEWS.COM - Tak punya dukungan finansial yang besar, Fransisca Puspitasari atau Kika yakin dan nekat membuat Kaloka Pottery bermodal ide dan kreativitas.
Meski dimulai dengan ide dan dana seadanya, kini Kika mampu mempekerjakan 10 perajin keramik, menembus pasar hotel dan kedai-kedai kopi, tak hanya di Jogja, tapi hingga mancanegara.
Tahun 2016, Kika memulai bisnis membuat kerajinan keramik tanpa memiliki studio.
Kika bermain dengan desain, kemudian jika ada pesanan, dia akan menyerahkan desain klien pada tempat pembuatan keramik.
Wanita yang hobi berjalan kaki ini mengaku tak memiliki latar belakang pendidikan keramik yang mumpuni.
Fransisca Puspitasari adalah lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan konsentrasi kriya logam, namun dia mengaku pernah mengambil mata kuliah keramik.
Karena kesukaannya pada keramik, Kika terdorong untuk membuat sebuah merek, dan terciptalah Kaloka Pottery.
Awalnya, Kika tidak terpikir untuk memiliki studio sendiri.
Tapi, mengingat pesanan yang semakin bertambah dan mengingat produksinya tidak bisa selalu dikontrol, dia memutuskan untuk mendirikan studio di tahun 2017 dengan modal minim.
Studio Kaloka Pottery berada di halaman belakang rumah Kika di Bausasran DN III No. 695, Danurejan, Yogyakarta.
"Tungku pertama dibuat oleh teman saya dari Bandung dan boleh dibayar dicicil," ungkap Kika saat menceritakan bagaimana kondisi awal studionya.
Saat ditemui reporter Tribunjogja.com di studionya, Jumat (31/8/2018), Kika mengerjakan sendiri produksi keramiknya karena tak punya modal.
"Gagal bakar lima kali lah awal-awal," akunya.
Produk cangkir produksi Kaloka Pottery. (Tribun Jogja/ Fatimah Artayu Fitrazana)
Hanya dalam dua tahun sejak berdiri, cangkir dan produk keramik Kaloka kini sudah tersebar, mulai dari digunakan pribadi, kedai kopi, sampai hotel menjadi kliennya.
Lalu, bagaimana cara Kika memasarkan produknya dengan modal terbatas?
Pre-order (PO) menjadi kuncinya, menurut Kika.
Dia juga menawarkan produknya ke hotel-hotel dan media sosial.
"Mau bikin website tapi ora duwe duit, jadi pakai Instagram saja," ungkapnya.
Penggunaan Istagram dan memaksimalkan tagar, menjadi pintu para pelanggan mulai melirik Kaloka.
Lama-kelamaan mulai banyak pemesan dan mereka juga mengunggah produk-produk Kaloka ke media sosial.
Setelah itu, Kika menghadapi masalah baru, yaitu sulitnya menemukan pengrajin yang mau bergabung dengan Kaloka.
"Karena saat itu Kaloka merek baru, pengrajin sulit diajak ikut. Kami memiliki standar ukuran yang berbeda, sedangkan perajin punya pandangan yang berbeda soal karya," katanya.
Kini, Kaloka Pottery telah memiliki sembilan orang yang berada di studio dan 10 perajin.
Semua produk keramik di sini dibuat menggunakan tangan atau handmade.
Kaloka memiliki beberpa tema produk yang unik, misalnya edisi anomali dan petal.
"Anomali tercipta karena gagal bakar lima kali, di mana hasilnya agak keriting. Jadi tidak sengaja," aku Kika, sang pemilik saat menemukan edisi anomali.
Sedangkan edisi petal merupakan perpaduan keramik dan goresan kuas.
"Kami melakukan cukup banyak uji coba dan akhirnya menemukan goresan dan warna yang sesuai," ungkapnya.
Dengan harga produk mulai dari Rp70 ribu hingga Rp135 ribu, Kika mengaku pembeli Kaloka Pottery tak hanya datang dari Indonesia saja.
"Pembelinya pernah ada dari Eropa, Australia, kami juga pernah mengirim ke Timur Tengah," jelasnya.
Kika menyampaikan, untuk proses penemuan ide desain produk Kaloka biasanya mengamati tren yang telah disesuaikan dengan kekhasan Kaloka Pottery.
"Desain dari saya, tapi perkembangannya kita diskusikan dengan tim," ujarnya. (Tribun Jogja/ Fatimah Artayu Fitrazana)