TRIBBUNNEWS.COM, KOTA BATU - Wajah Febrina Fransisca (26) perempuan asal Desa Bulukerto, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu sedikit terlihat senang.
Sesekali ia bercanda dengan temannya, dan terlihat seolah ia tidak memiliki beban.
Di balik itu, ia menyimpan rasa sedih yang luar biasa, namun ia pandai tidak menampakkan di hadapan teman-temannya.
Siapa sangka Siska, begitu ia akrab dipanggil, pernah mengalami human trafficking (perdagangan orang) selama ia kerja di Hongkong.
Ia merasakan bagaimana sakitnya tidak digaji selama sembilan bulan, dan tidak memiliki tempat tinggal di Hongkong.
Perlahan-lahan Siska bercerita kepada Surya.co.id, bagaimana ia mengalami pengalaman pahit tersebut.
Siska berangkat ke Hongkong untuk jadi Buruh Migran Indonesia (BMI) pada 2016. Awal kerja di sana pada majikan pertama tidak ada masalah.
Semua baik-baik saja, Siska pun mendapatkan gaji setiap bulannya.
"Namun, setelah saya pindah majikan kedua karena kontrak pada majikan pertama selesai, saya mendapatkan masalah bertubi-tubi," kata dia sambil menahan air mata, Minggu (21/10/2018).
Selama bekerja dimajikan yang kedua ini, ia mengaku diperjualbelikan ke beberapa orang. Selama ia bekerja di beberapa perusahaan, ia tidak pernah digaji.
Kalaupun menagih gaji alasannya gajinya diberikan kemajikan kedua. Dimana majikannya yang kedua inilah yang memperjual belikan Siska.
"Kata tempat saya bekerja ini, gaji saya diberikan ke majikan saya yang kedua. Lalu saya tagih tidak diberikan alasannya nanti dirapel. Saya pun menuruti, siapa tahu pas gajian langsung dapat gaji banyak," ungkapnya.
Namun, hal itu tidak pernah terjadi, gajinya yang harusnya ia terima tidak sampai ke tangannya. Dan itu terjadi berulang-ulang.
Padahal ia menjadi tulang punggung keluarganya, di samping ibunya yang sakit, Siska harus membiayai perawatan ibunya. Siska tidak tinggal diam, ia terus menagih gaji yang menjadi haknya.
"Majikan saya terus berdalih kalau saya masih punya hutang ke dia. Katanya hutang surat-surat ini, itu," imbuhnya.
Namun, Siska beranggapan bahwa dirinya di sana hanya warga asing, tidak memiliki kekuatan melawan dia.
"Dia orang kaya yang memiliki uang dan bisa semena-mena dengan saya. Padahal saya sudah dijual ke sana sini, untuk menghasilkan uang, tapi saya tidak mendapatkan uang dari hasil kerja saya," papar anak kedua dari tiga bersaudara itu.
Menurutnya Jika ditotal uang yang harusnya diterima ialah Rp 17 juta karena dia dipekerjakan untuk beberapa majikan.
Siska mengaku selama bekerja untuk beberap majikan itu dirinya berkerja serabutan, seperti, mengangkat tepung, menjaga orang lanjut usia (lansia), bekerja di restoran. Berangkat jam 11 malam dan pulang jam 3 pagi ia lakukan.
Sampai akhirnya Siska jadi seorang tahanan di Hongkong. Siska merasakan dua hari tinggal dipenjara, dan sekarang ia menjadi tahanan luar wajib lapor selama sembilan bulan. Walaupun Siska menjadi tahanan wajib lapor, ia diperbolehkan pulang ke Indonesia.
Tetapi, ia merasa tidak tenang karena kasusnya masih belum selesai walaupun sudah menjalani beberapa sidang.
Kini Siska berharap kasusnya selesai, sekalipun ia harus di-blacklist dari daftar buruh imigran.
Selama jadi tahanan luar, ia tidak bekerja dan ia tinggal di Shelter Islamic Union di Wan Chai.
Ia bisa jadi tahanan luar karena ada jaminan, namun ia tidak menjelaskan rinci jaminannya.
Ia tidak bekerja, tetapi di sana ia dibantu oleh beberapa komunitas dan orang yang peduli dengan kasusnya.
Siska mengaku beruntung selama di Shelter Islamic Union bisa makan dan tidur.
Namun, tidur pun tidak tenang, karena ia memikirkan bagaimana harus mendapatkan uang dan dikirim ke orangtuanya.
"Di keluarga hanya saya yang diandalkan. Melihat kondisi ekonomi keluarga, orangtua saya terutama ibu yang sakit, harus ke rumah sakit."
"Ketika ada masalah, dan ibu saya meminta uang, saya bilang iya akan saya kirim. Saya tidak perlu menceritakan keadaan saya di sana bagaimana," paparnya.
Siska pulang ke Indonesia, ke Kota Batu pada 28 Ag
ustus 2018 lalu. Berada di tanah kelahirannya saja sudah membuatnya sangat lega. Ia berharap bisa bertemu dengan Wali Kota Batu dan menceritakan apa yang ia alami.
"Jangan sampai yang saya alami ini dirasakan oleh orang lain. Cukup saya saja," pungkasnya.