Saat berlatih, kedua siswa ini menempati posisi anchor atau bertahan dan pembagi bola. Lolos seleksi, ikut latihan, dan dapat mewakili Indonesia dalam ajang kompetisi tingkat dunia, tidaklah terbesit sebelumnya oleh Eman.
Apalagi, pria yang akrab disapa Sule ini mendapat gelar Kiper Terbaik yang diakui sejumlah negara. Menurut dia, kejadian dua tahun lalu itu bagaikan mimpi dan sangat berkesan hingga hari ini.
Eman Sulaeman, warga Desa Tegal Sari, Kecamatan Maja, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, sedang melatih sejumlah siswa SD dan SMP bermain futsal di GOR Indorencana Maja, Minggu (12/9/2018).
Dia dianugerahi penghargaan sebagai Kiper Terbaik dalam ajang Homeless World Cup 2016 di Glasgow, Skotlandia, pada 2016 silam. Eman hanya memiliki satu kaki.
Satu-satunya difabel Peristiwa bersejarah itu dimulai saat Roni, seseorang yang pernah menjadi lawan bermain futsal meneleponnya pada April 2016.
Roni mengajak Eman ke Bandung untuk ikut seleksi tim nasional Street Soccer Homeless World Cup 2016.
Motivasinya, ingin mencoba, mencari pengalaman, menambah teman, dan juga sambil jalan-jalan main ke Bandung.
Eman mengikuti seleksi selama tiga hari, tes administrasi dan tes bermain yang bersaing ketat dengan lebih dari 100 orang dari berbagai provinsi di Indonesia. Eman asal Majalengka dan Wira Danu asal Bali terpilih dan dinyatakan lulus sebagai penjaga gawang dari total 12 orang yang dites menjadi kiper.
Seleksi dan tantangannya, lanjut Eman, sangat berat. Dia juga menyadari, hanya dirinya yang mengalami kekurangan fisik di antara lebih dari 100 pemain.
Namun Eman membuktikan, bahwa dirinya memiliki kemampuan sama dengan manusia berfisik normal.
Akhirnya 10 orang diberangkatkan untuk mewakili Indonesia ke Skotlandia dan menjalani latihan selama satu bulan.
Mereka terdiri dari dua kiper, 6 pemain, 1 manager dan 1 pelatih. Setelah pengumuman itu, Eman baru mengabarkan kepada bapak, ibu dan keluarganya bahwa dia akan berangkat ke Skotlandia untuk mewakili Indonesia dalam ajang HWC 2016.
“Mereka kaget, saat tahu saya lolos dan mau ke luar negeri. Kata ibu "mau ke luar neger, uangnya dari mana?". Saya menjelaskan dan ibu terharu dan nangis bangga,” kenang Eman.
Pertanyaan itu keluar dari ibunya karena menyadari kondisinya sebagai buruh tani yang berpenghasilan rendah dan tidak tetap.