Laporan Wartawan Surya Pipit Maulidiya
TRIBNNEWS.COM, JEMBER - Sumari (57), ayah seorang korban Surabaya Membara di Viaduk Pahlawan Surabaya, Bagus Ananda (17) mengaku bermimpi sebelum anaknya meninggal dunia.
Sebelumnya dia tidak memikirkan mimpi tersebut namun setelah apa yang terjadi sang anak, akhirnya Sumari menyebut mimpinya itu sebagai firasat.
"Lima hari lalu saya mimpi. Ada yang nyuri celana dalam saya, dan saya melihatnya. Ketika saya teriaki, dia menoleh dan malah tersenyum. Ternyata itu firasat," kata Sumari usai pemakaman Bagus Ananda di Desa Pondokjoyo Kecamatan Semboro, Jember, Sabtu (10/11/2018).
Bagus Ananda, satu dari tiga korban meninggal dunia dalam insiden Viaduk Pahlawan Surabaya saat drama kolosal Surabaya Membara digelar, Jumat (9/11/2018) malam.
Bagus dan orangtuanya, Sumari dan Suin tinggal di rumah kontrakan di Jl Gurami 6/27 Surabaya.
Mereka berasal dari Pondokrampal, Pondokjoyo, Semboro, Jember. Sudah empat tahun keluarga itu merantau di Surabaya.
Sumari menceritakan kepergian anaknya bersama temannya untuk menonton drama kolosal itu.
Baca: Jenazah Bagus Ananda Korban Insiden Surabaya Membawa Dimakamkan di Jember
Bagus pergi meninggalkan rumah sekitar pukul 18.30 Wib.
Sumari sudah melarang Bagus untuk tidak berangkat. "Karena pasti akan banyak orang di sana," lanjut Sumari.
Sumari mengakui Bagus merupakan bungsu kesayangan di keluarga itu. '
Meskipun dilarang, Bagus berangkat dengan alasan hanya pergi sebentar.
Ternyata Sumari mendapat kabar kalau anaknya terseret kereta api.
Dia pun panik dan mencari sang anak.
Akhirnya Sumari mendapati anaknya sudah meninggal dunia di RSUD dr Suwandhi, yang kemudian dipindahkan ke RS dr Soetomo.
"Ternyata anak saya terjatuh saat gandolan di viaduk. Yang gandolan banyak saat kereta lewat. Anak saya bareng sama anak kecil yang juga jatuh itu (Erikawati)," imbuhnya.
Bagus dan temannya memilih tempat nonton di viaduk karena area bawah di sekitar Jl Pahlawan sudah penuh orang.
Drama kolosal itu merupakan drama yang baru kali pertama ditonton Bagus selama di Surabaya.
Sang ayah sendiri tidak pernah menontonnya karena memilih di rumah setelah lelah bekerja di Pelabuhan Tanjung Perak.
Keinginan Bagus menonton pertama kali drama kolosal itu sekaligus menjadi akhir baginya.