Laporan Wartawan Tribun Jabar, Mega Nugraha Sukarna
TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG-Sejumlah penerima dana hibah Pemkab Tasikmalaya memberikan kesaksiannya di persidangan kasus dugaan korupsi dana hibah Pemkab Tasikmalaya 2017, di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Bandung, Senin (17/12). Delapan saksi dihadirkan.
Salah satunya adalah Kandi (29), pengurus Yayasan Al Munawaroh Cibogo yang merupakan yayasan penyelenggara pendidikan keagamaan yang didirikan almarhum orang tuanya.
"Saya meneruskan yayasan milik almarhum (orang tua). Ada pendidikan diniyah, majelis taklim. Sebelum ada kasus ini belum berbadan hukum, tapi diurus sama Setiawan (terdakwa) untuk mencairkan dana hibah," ujar Kandi menjawab sejumlah pertanyaan dari Andi Adika Wira selaku jaksa penuntut umum hingga M Razad selaku ketua majelis hakim.
Tempatnya ia mengurus yayasan, bangunannya sempat akan roboh. Hingga akhirnya, ia bertemu dengan Setiawan dan menjelaskan soal kondisi bangunan tempatnya mengajar.
Setiawan menawarkan bantuan hibah dari Pemkab Tasikmalaya syaratnya hanya menyerahkan KTP, tanda tangan dan buka rekening Bank BJB.
Selebihnya, soal pembuatan proposal hingga akta pendirian yayasan diurus oleh Setiawan. Seperti diketahui, penerima hibah harus berbentuk badan hukum.
"Saya awam sekali soal ini, kata Setiawan semuanya akan diurus, mulai dari pembuatan proposal hingga semua syarat lainnya untuk proses pencairan. Beberapa hari sebelum pencairan, Setiawan memberi kabar bahwa dana bisa dicairkan Rp 150 juta. Saya senang sekali karena bisa memperbaiki tempat saya yang mau roboh," ujar Kandi di persidangan.
Ia akhirnya mencairkan dana Rp 150 juta ke Bank BJB di Kabupaten Tasikmalaya. Ia pun menandatangani sejumlah berkas salah satunya tanda tangan pencairan. Namun, betapa kagetnya dia, uang Rp 150 juta itu hanya diterima dalam sekejap hitungan detik saja.
"Ternyata saya hanya menerima Rp 15 juta, sisaya dibawa Setiawan. Saya keberatan tapi hanya bisa protes dalam hati saja, uang Rp 15 juta hanya bisa pasang lantai keramik saja," ujar Kandi. Baru saat ia diperiksa oleh penyidik Ditreskrimsus Polda Jabar, ia menyampaikan keberatannya secara tertulis.
Hal senada dikatakan Komar (50), pemilik Yayasan dan Pesantren Al Munawaroh. Sebelum kasus ini yayasan miliknya belum berbadan hukum. Namun, Setiawan mengurus semua persyaratan penerima hibah.
Anehnya, Komar mendapat dana hibah dua kali, pertama pada Januari 2017 untuk yayasan dan akhir 2017 untuk pesantren. Padahal, aturan pemberian dana hibah hanya untuk sekali dalam satu tahun.
"Yayasan cair Rp 150 juta pada Januari 2017 dan pondok pesantren Rp 250 juta pada akhir 2017. Akta notaris dan SK Kemenkum HAM nya semua diurus oleh Setiawan. Yayasan dan pontren saya memang sudah berdiri lama tapi baru diurus legalitasnya sekarang. Proposal juga dia yang bikin, saya hanya tanda tangan saja dan buka rekening di Bank BJB," ujar Komar.
Beberapa hari sebelum pencairan, ia dikabari oleh Setiawan bahwa dana bisa dicairkan karena sudah ditransfer ke rekening yang ia buat. Namun, saat pencairan, ia hanya menerima uang ratusan juta dalam sekejap saja.
"Harusnya saya dapat Rp 400 juta, untuk yayasan Rp 150 juta tapi dipotong 90 persen dan saya hanya terima Rp 15 juta. Lalu untuk pesantren saya dapat Rp 250 juta, tapi dipotong juga, saya hanya terima Rp 25 juta," ujarnya.
Ia sempat menanyakan kenapa dana hibah itu dipotong namun tidak digubris oleh Setiawan. "Dia cuma bilang 'wayahna' saja. Saya sebenarya keberatan sekali," ujar dia.
Sementara itu, hakim memberi kesempatan pada Setiawan untuk menanggapi kesaksian para saksi. Menurut Setiawan, ia sudah memberi tahu pada penerima saksi soal pemotongan itu.
"Sudah komitmen dari awal ada potongan 90 persen. Tapi saya tidak tahu uang yang cairnya sebesar dimaksud itu," ujarnya. Dari delapan saksi penerima hibah, hanya dua penerima saja yang membenarkan keterangan Setiawan. Yakni Ucu dari Yayasan As Sifaa Padanaan dan Masud dari Yayasan Nurul Falaq.
"Iya, sebelum pencairan Setiawan memang sudah memberi tahu ada pemotongan 90 persen tapi tiak disebutkan 90 persen itu dari berapa," ujar Ucu, dan dibenarkan juga oleh Masud.
Hakim M Razad dan jaksa Andi Adika Wira menanyakan soal komitmen itu pada ena saksi lainnya. Namun, enam saksi lainnya menyatakan tidak pernah diberi tahu soal komitmen tersebut.
Sementara itu, dari delapan saksi, semuanya mengaku legalitas yayasan sebagai salah satu syarat penerima yayasan, seperti akta notaris hingga SK Menkum HAM dibuat oleh Setiawan.
"Tapi akah semua saksi mengetahui apakah akta dan SK itu sah?," ujar hakim. Semua saksi menjawab tidak mengetahui keabsahannya. (men)