News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Penangkapan Mafia Lahan Tol Medan-Binjai, Pakar Hukum: Tak Ada Grant Sultan di Tanah Konsesi

Editor: Hendra Gunawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pekerja menyelesaikan proyek pembangunan jalan tol di kawasan Tanjungmulia, Medan, belum lama ini. Konstruksi seksi tol belum rampung, fokus menggenjot tuntasnya pembebasan lahan.

TRIBUNNEWS.COM, MEDAN -- Soal Pembebasan lahan di Binjai, Sumatera Utara,  Ahli Hukum Tanah Adat dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Edy Ikhsan memberikan pernyataan.

Tidak satu pun pelepasan tanah yang berada pada proyek pembangunan Tol Binjai hingga Helvetia berdasar grant sultan.

Jika ada tanah berdasar grant sultan di daerah tersebut, maka dapat dipastikan palsu.

"Pelepasan tanah dari Binjai-Helvetia berdasar pengetahuan hukum dan data-data yang saya miliki, hampir tidak boleh di daerah itu memiliki grant sultan. Pada zaman kolonial, tidak ada grant, karena di daerah itu tanah konsesi perkebunan tembakau," kata Edy saat dihubungi melalui sambungan teleponkepada Tribun Medan, Rabu (26/12/2018)..

Tanah konsesi merupakan perjanjian jangka panjang selama 75 tahun, yang dibuat Sultan Deli dengan pengusaha-pengusaha asing zaman dahulu. Karena itu, Edy yakin, sudah dapat dipastikan grant sultan diberikan kepada perseorangan. Sementara, konsesi diberikan kepada perusahaan.

Baca: Mafia Lahan Tol Medan-Binjai Diduga Palsukan Grant Sultan Minta Rp 321 M untuk Pelepasan Tanah

"Di atas tanah konsesi yang sudah diberikan hak konsensi, tidak akan ada yang namanya grand sultan. Saya bersedia dipanggil ke pengadilan untuk menjelaskan hal ini menjelaskan berdasarkan data. Saya bisa kasih tunjuk di daerah-daerah mana saja yang boleh ada grant sultan," ujarnya.

Terungkapnya mafia tanah pada proyek Tol Medan-Binjai berdasar penyelidikan Ditreskrimum Polda Sumut, yang menetapkan empat tersangka, yakni Afrizon yang berprofesi sebagai pengacara, Tengku Awaluddin, Tengku Azan Khan, dan Tengku Isywari yang berperan sebagai ahli waris.

Modusnya, Afrizon nekat memalsukan grant sultan dan seolah-olah surat tersebut dikeluarkan BPN Sumut.

"Fungsi BPN sudah betul melakukan verifikasi benar tidaknya sebuah dokumen hak atas tanah. Termasuk grant sultan yang merupakan salah satu surat tanah yang diberikan Sultan Deli pada masa kolonial," ujarnya.

Edy menjelaskan, setelah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Undang-Undang Pokok Agraria dikeluarkan, ada kewajiban agar seluruh pemegang hak termasuk grant sultan dikonversi menjadi sertifikat hak milik (SHM).

"Tapi, ada peraturan BPN yang mengatakan bahwa tidak ada batas waktu untuk mengonversi. Jadi, ketika terlambat memasukkan konversi masih bisa diterima," katanya.

Seluruh pencatatan berkaitan grand sultan, imbuh Edy, di dalam buku besar milik BPN secara jelas tertera seluruh data-data grant sultan mulai nomor pertama dan terakhir.

"Jadi kalau ada oknum yang melakukan pemalsuan dokumen, sudah jelas mengandung unsur pidana. Walaupun nantinya harus ada pembuktian di pengadilan," katanya.

Ganti Rugi Harus Jelas

Guru Besar Ilmu Hukum dari Fakultas Hukum USU OK Saidin pernah terbang ke Belanda untuk melakukan penelitian tanah Kesultanan Deli bersama Edy pada 2005 lalu.

"Yang pergi ke Belanda mengambil peta pertanahan Sultan Seli itu, saya bersama Dr Edy Ikhsan. Waktu itu, kami ingin melihat bagaimana sebenarnya posisi hak-hak tanah Kesultanan Deli. Jawabannya sangat sederhana. Kalau dia tidak termasuk dalam grant sultan, artinya tidak ada hak perseorangan, maka tanah milik kesultanan," kata Saidin.

Meski demikian, Saidin menyebut, hal yang perlu dipertanyakan adalah proses ganti rugi yang harus dibayar kepada pihak kesultanan, karena lahan tersebut merupakan tanah konsesi.

"Tapi, BPN mengambil sikap mendua. Menduanya begini, kalau memang tanah konsesi mengapa tak diambil raja? Lalu, kalau orang sudah menguasai lebih dari 30 tahun memeroleh hak secara kedaluwarsa. Tapi, dalam hukum adat tidak mengenal hukum kedaluwarsa. Hukum agraria kan tunduk pada hukum adat. Masa penggarap sekarang yang dibayar (ganti rugi) oleh pemerintah, bukan pemilik (tanah konsesi). Kan aneh," kata Saidin.

Ia mengatakan, seyogianya ketika tanah tidak lagi dipergunakan perkebunan, seharusnya dikembalikan ke pihak kesultanan. Bukan justru dinasionalisasi menjadi milik negara.

"Kenapa tidak bisa dinasionalisasi? Karena nasionalisasi pemaknaannya mengambil alih milik asing menjadi milik negara. Tanah kan bukan milik asing," katanya.

Berdasar penelitian mereka, tanah yang bersengketa di Tanjungmulia Hilir merupakan tanah konsesi, pemerintah seharusnya tidak salah orang dalam proses ganti rugi.

"Tanah konsesi bayarnya harus ke sultan, bukan ke penggarap. Artinya, penggarap dan pemalsu grant sultan sama-sama melanggar hukum. Yang satu memalsukan surat, yang satu lagi menduduki tanah orang lain. Boleh sekarang kerabat ahli waris Sultan Deli ditangkapi, karena memalsukan surat, tapi tidak boleh ganti rugi tidak dibayar ke Kesultanan Deli," ujarnya.

Lantas kenapa tanah konsesi tersebut kini diduduki penggarap?

Saidin menjelaskan, di dalam konsep tanah harus tunduk pada hukum adat.

"Untuk mendapatkan hak secara kedaluwarsa merupakan konsep hukum barat, bukan konsep hukum adat. Sementara Pasal 3 dan 5 UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Ketentuan Pokok-pokok Agraria mengatakan, hak-hak tanah harus tunduk pada hukum adat. Karena itu, selamanya tanah konsesi milik kesultanan. Kalau ganti rugi dibayarkan kepada penggarap, maka pemerintah sudah keliru," katanya. (ase)

Artikel ini telah tayang di tribun-medan.com dengan judul Mafia Lahan Tol Medan-Binjai Ditangkap, Pakar Hukum: Tak Ada Grant Sultan di Tanah Konsesi

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini