Laporan Wartawan Tribun Jabar, Mega Nugraha Sukarna
TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG-Satu terdakwa kasus suap perizinan proyek Meikarta, Fitradjaja Purnama membantah terlibat dalam pemberian uang suap Rp 10,5 miliar ke Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin.
Dalam dakwaan untuk Fitradjaja, ia didakwa melakukan tindak pidana suap senilai Rp 16,8 miliar ke Neneng dan sejumlah ASN Pemkab Bekasi.
Baca: Pendukung Jokowi-Maruf Berencana Menambah Lokasi Nobar Debat Kedua Pilpres di Solo
"Dari dakwaan itu tidak sepenuhnya saya terlibat, saya tidak tahu menahu soal uang suap Rp 10 miliar. Saya berharap putusan yang akan dijatuhkan pada saya, pada posisi saya bersalah itulah saya dijatuhi hukuman," ujar Fitra di persidangan pada Kamis (14/2/2019) malam.
Catatan Tribun selama persidangan Meikarta digelar, uang suap itu diberikan oleh Edy Dwi Soesianto dan Satriyadi dari Meikarta, dengan sumber uang dari Toto Bartholomeus sebagaimana dalam dakwaan jaksa. Lantas, apakah itu harus dipertanggung jawabkan?
"Saya tidak bicara itu, setidaknya saya tidak bicara orang lain dan saya tidak mau ikut-ikutan pada idiom tebang pilih. Kalau pertanyaannya itu, (apakah pemberi uang suap Rp 10 miliar harus dipertangung jawabkan), saya enggak mau urus orang lain, saya tidak mau dituntut dan dihukum lebih atau kurang dari apa yang saya perbuat. Tapi tentu saja saya berharap dituntut dan dihukum seringan-ringannya," ujar Fitradjaja.
Baca: Pertamina Perlu Tingkatkan Pengawasan Penyaluran LPG 3 kg
Pada persidangan 14 Januari, Edy Dwi Soesianto mengakui memberikan uang suap Rp 10,5 miliar itu ke Neneng bersama Satriyadi. Uang suap diberikan secara bertahap dari Juni hingga Januari. Uang-uang itu diberikan ke Neneng via EY Taufik, staf ASN Setda Pemkab Bekasi.
Bartholomeus Toto di sidang 14 Januari itu mengakui uang Rp 10 miliar berasal darinya, bahkan dari kas perusahaan pengembang Meikarta, PT Lipo Cikarang dimana Toto menjabat Presiden Direktur dan Edi Dwi serta Satriadi adalah anak buahnya.
"Setiap pengeluaran uang selalu dibukukan, tercatat di kas perusahaan, termasuk uang Rp 10 miliar untuk pak Edi Dwi. Tapi saya tidak tahu kalau uang itu untuk suap perizinan karena kami sudah membangun proyek properti di Bekasi sejak lama dan semua perizinan tidak bermasalah. Termasuk juga untuk Meikarta, saat itu kami yakini tidak ada masalah," kata Toto.
Jaksa penuntut umum KPK, I Wayan Riana menegaskan bahwa peran Edy Dwi Soesianto dan Bartholomeus Toto adalah pemberi suap Rp 10 miliar untuk Bupati Bekasi non aktif, Neneng Hasanah Yasin.
"Sejauh ini (di fakta persidangan) sudah jelas, penyerahan uang Rp 10 m (untuk bupati) dari dia (Edy dan Toto)," ujar I Wayan usai persidangan kasus suap perizinan Meikarta di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Bandung, Rabu (23/1).
Pernyataan I Wayan itu saat Tribun menanyakan soal apakah KPK sudah punya dua alat bukti untuk menjerat Edi dan Toto terkait penyerahan uang Rp 10 M. Edy dan Toto dihadirkan di persidangan pada 14 Januari. Saat itu, hadir pula Neneng Hasanah Yasin sebagai saksi dan EY Taufik, ASN Setda Pemkab Tasikmalaya.
Baca: Seperti di Bandara dan Stasiun, Pelabuhan Terapkan Tiket Digital
Saat ditanya apakah KPK akan mengembangkan kasus ini dengan menjerat Edy dan Toto sebagai tersangka mengingat fakta persidangan 14 Januari, keduanya menyerahkan uang Rp 10 M, I Wayan mengatakan itu tergantung dari penyidik.
"Perkembangan penyidikan belum karena tergantung penyidik. Tapi di dakwaan, sudah disebutkan bahwa (Edy dan Toto) satu kesatuan dalam tindak pidana turut serta," katanya.
Ia menegaskan, peran keduanya terkait pemberian uang Rp 10 m dalam pengurusan IPPT. "Peran keduanya dalam pengurusan IPPT saja," kata I Wayan. (men)