News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Aparat TNI/Polri Kawal Pekerja Swasta Tanami Lahan Masyarakat Adat, Warga: Gaji Bapak Uang Rakyat

Editor: Eko Sutriyanto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Anggota TNI/Polri mengawal pihak PT TPL menanami lahan yang diklaim masyarakat adat Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabaputen Simalungun, Selasa (14/5/2019) siang.

Warga masyarakat adat bersama NGO serperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengecam aparat TNI/Polri kawal pekerja TPL menanam eucalyptus di areal sengketa.

Laporan Wartawan Tribun Medan, Arjuna Bakkara

TRIBUNNEWS.COM,  SIMALUNGUN - Tumbuhan eucalyptus (kayu putih) terselip di lahan pertanian warga milik Lembaga Adat Masyarakat Sihaporas (Lamtoras) di Desa Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Kamis (16/9/2019).

Wakil Ketua Lamtoras Ompu Morris Ambarita mengatakan majamen PT Toba Pulp Lestari turut mengerahkan TNI/Polri berpakaian dinas mendampingi pekerja menanami eucalpytus untuk bahan baku bubur kerta.

"Semalam ini ditanami TPL. Ada Tentara dan Polisi yang mengawal mereka dan kami tak berdaya," ujar Ompu Morris, anak dari Yahya Ambarita, pejuang kemerdekaan Indonesia peraih piagam Veteran RI.

Ompu Morris mengatakan, wilayah adat Sihaporas seluas 2049 ha merupakan titipan leluhur Ompu Mamontang Laut Ambarita.

Secara turun-temurun dimiliki dan dikelola secara lestari hingga generasi sekarang.

Ompu Morris menjelaskan, sejak tahun 1986 PT Inti Indorayon Utama (sekarang PT TPL) sudah mulai mengusik warga.

Hutan adat dan pemukiman serta perladangan diluluhlantakkan.

Jonny Ambarita, pengurus Lamtoras mengatakan, menyaksikan sendiri puluhan anggota TNI/Polri mengawal pekerja TPL saat menanam kayu di hutan adat yang telah ditanami warga beberapa ejnis tumbuhan seperti pisang, alpukat, durian, dan kemenyan.

“Kami mendapati puluhan anggota TNI di lokasi, pada hari Selasa lalu (14/5/2019). Sebagian ada menggunakan pakaian seragam TNI dan Polisi dari Polres Simalungun, TNI ada Babinsa dan ada memakai baju bertulis Korem. Kami keberatan, anggota TNI/Polri yang digaji dari uang rakyat, kok mengawal perusahaan swasta. TNI dan Polri berasal dari rakyat, jangan takut-takuti rakyat. Gaji bapak dari uang rakyat,” kata Jonny.

Baca: Khawatir Dugaan Praktik Meracuni Sungai dan Umbul Air, Petani Demo PT TPL Pagi Ini Lanjut Dialog

Baca: Pemerhati Pariwisata Minta Evaluasi Produk dan Promosi Kawasan Danau Toba

Baca: Dukung Pariwisata Danau Toba, Pemerintah Luncurkan Kapal Mewah Ihan Batak

Menanggapi keberadaan anggota TNI/Polri Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, Roganda Simanjuntak menuturkan kejadian masa lampau nyaris terjadi kepada warga.

Kejadian serupa, berlangsung Selasa 14 Mei 2019 semalam, aparat bersenjata berhasil membungkam warga.

Uniknya, kata Roganda di penanaman eucalyptus oleh pekerja TPL di lahan pertanian warga, pihak TPL dikawal Brimob berlaras panjang.

"Hingga saat ini masih saja terjadi intimidasi dan pembungkaman.Tentu sekali bahwa kehadiran aparat berseragam tersebut bentuk intimidasi terhadap warga," ujar Roganda.

Bahkan, disebut Roganda sampai saat ini aktifitas penghancuran wilayah adat tersebut masih berlangsung sehingga berdampak terhadap kehidupan sehari-hari warga seperti pencemaran sumber air bersih karena penggunaan pestisida oleh pihak TPL.

Roganda mendesak pemerintah mencabut Izin PT TPL Di Wilayah Adat dan tidak melibatkan TNI/Polri membuat warga takut.

"Hentikan Intimidasi Aparat TNI-POLRI Kepada Masyarakat Adat 14 Mei 2019. PT Toba Pulp Lestari (TPL) kembali menunjukkan tindakan arogan kepada Masyarakat Adat Sihaporas, di Desa Sihaporas," tambahnya.

Roganda berpendapat, aktivitas pihak PT TPL yang menanami bibit eucalyptus disela-sela tanaman pertanian warga merupakan bentuk perampasan ruang hidup Masyarakat Adat Sihaporas.

Puluhan aparat berseragam tentara, Brimob dilengkapi dengan senjata laras panjang turut mengamankan aktifitas TPL di wilayah adat.

Warga lain, P Ambarita beserta masyarakat lainnya ketika melihat kehadiran pihak TPL dan aparat, mempertanyakan dan menolak kehadiran mereka.

Namun warga tidak dapat berbuat apa-apa karena pihak aparat dilengkapi senjata laras panjang terus berjaga melindungi pihak TPL yang sedang menanami eucalyptus.

Kata Roganda, pada tahun 2000 ketika warga menolak aktifitas TPL, berujung pada kriminalisasi warga.

Di tempat yang berbeda, Masyarakat Adat di Huta Tor Nauli, Desa Manalu Dolok, Kecamatan Parmonangan, Kabupaten Tapanuli Utara juga menolak aktifitas TPL yang menyerobot tanaman pertanian mereka.

Sejak 10-13 Mei ratusan warga adat Tor Nauli mencoba menghentikan aktivitas TPL untuk menanami eucalyptus.

"Tetapi ketika warga sedang beribadah, pihak TPL sudah merusak tanaman pertanian menggunakan alat berat. Dengan pengawalan aparat berseragam tentara dan polisi mengamankan aktifitas perusakan dan penanaman eucalyptus. Oleh pihak TPL juga mengancam akan membunuh warga dan membunuh anak-anak mereka yang bersekolah diluar Huta Tor Nauli," jelasnya.

Atas persoalan itu, Roganda mengecam keras tindakan pihak PT TPL yang mengancam membunuh warga dan perampasan wilayah adat, serta intimidasi aparat berseragam dilengkapi senjata laras panjang.

Kemudian mendesak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk segera mencabut ijin PT TPL di wilayah adat sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo pada Rapat Terbatas di Kantor Presiden.

Lalu, mendesak Panglima TNI dan Kapolri untuk memerintahkan jajarannya untuk tidak terlibat dalam pengamanan aktivitas TPL dan intimidasi warga.

Manajemen TPL: Kami Tunduk Pada Regulasi

Direktur PT TPL, Mulia Nauli maupun Corpcom PT TPL Norma Hutajulu, tidak banyak berkomentar ketika dikonfirmasi.

"Terima kasih infonya. Mohon info, kejadiannya,"kata Norma Hutajulu sembari melewatkan poin-poin pertanyaan yang diajukan.

Norma mengatakan, pihak PT TPL akan mencek secara internal.

"Maaf. Baik, minta waktu untuk cek internal,"jelasnya.

Norma menyebut PT TPL berkomitmen mengedepankan dialog damai bersama masyarakat, juga pemerintah terkait, dan tunduk penuh pada regulasi yang ada dalam penyelesaian setiap konflik.

Untuk Sihaporas, katanya proses dialog telah dilakukan dengan beberapa hasil pelaksanaan dukungan TPL atas permintaan masyarakat.

"Zona lindung, pipa pengairan, jalur pertanian, program Pemberdayaan Masyarakat,"tuturnya.

Pada berjalannya proses, disebutnya ada perubahan sikap masyarakat dengan penanaman lahan. PT TPL sendiri pemegang ijin konsesi dari negara katanya mempunyai kewajiban-keeajiban di lahan konsesi, salah satunya untuk menanam kembali lahan konsesi yg telah dipanen.

"Untuk ini, TPL melakukan pelaporan kondisi areal dan uuntuk alasan keamanan, dilayangkanlah surat," sebutnya menjelaskan kehadiran pengawalan TNI/Polri mendampingi mereka.

Menyikapi pernyataan manajemen PT TPL, Tribun kembali mengkonfirmasi warga Sihaporas. Ketua Lamtoras Judin Ambarita (Ompu Sampe) dan Wakil Ketua Lamtoras Mangitua Ambarita (Ompu Morris) membantah keras pernyataan Norma, Copcorn PT TPL, Norma Hutajulu yang dianggap tidak sesuai kenyataan di lapangan.

Ompu Morris menjelaskan, Masyarakat adat Sihaporas, sudah mendiami wilayah aejak tahun 1800-an, sejak generasi pertama, Ompu Mamontang Laut. Warga bukan pendatang baru, melainkan sejak sudah lebih dari 300 tahun.

"Dan tanah warga ini diakui bahkan oleh penjajah Belanda, terbukti adanya peta inclave Sihaporas yang terbit tahun 1906," jelasnya.

Mengenai perubahan sikap masyarakat terkait proses komunikasi dan dialog yang sedang berlangsung, kata Ompu Morris dipicu oleh ulah pekerja PT TPL sendiri. Perbuatan pekerja PT TPL dianggap mengancam keselamatan kesehatan dan membahayakan jiwa warga.

Pekerja TPL Racuni Sungai Kami

Ketua Lamtoras Judin Ambarita (Ompu Sampe Ambarita) menuturkan, rentetan ancaman dan pengrusakan pihak PT TPL di Sihaporas. Pertama, prusakan dan perambahan hutan yang melanggar Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 50 Ayat 3 butir c, mengenai sempadan sungai. Undang-undang ini mengatakan setiap orang dilarang menebang hutan di kawasan anak sungai, sungai dan mata air atau umbul.

"Tentu pihak TPL masih ingat pada tanggal 25 dan 26 Oktober 2018, warga menemukan ratusan ekor ikan khas Batak yaitu ihan, ikan pora-pora, kemudian kepiting, bahkan katak mati mengapung di sungai serta kolam warga. Apakah manajen TPL mudah lupa terhadap perbuatan karyawannya yang mengamcam keselamatan jiwa masyarakat kawasan sekitar lokasinya?" sebutnya.

Saat itu, tujuh bulan lalu, warga memergoki di camp/barak pekerja TPL di kawasan hulu sungai (Aek Meranti) terdapat racun/pestisida diduga meracun ikan di sungai. Botol pestisida juga nerceceran di dekat umbul. "Apakah pekerja TPL ingin membunuh kami pakai racun?" timpal Ompu Morris.

Belum selesai proses mediasi, pekera TPL mengulangi aksinya. Pertengajan Februari 2019, pekerka kembali mendirikan kemah di hulu sungai yang mencemari aumber air minum masyarakat Sihaporas.

"Kami mendesak manajemen TPL jangan memutarbalikkan fakta, menyebut masyarakat adat mengubah sikap. Justru teguh sikap dan pendirian tetap menjaga kelestarian lingkungan sekitar dan kawasan Danau Toba secara umum agar jauh dari penebangan tak bertanggung jawab, perambahan yang hanya mau untung dari kayu tapi tak peduli alam,"tambah Judin.

"Kami mempertahankan tanah nenek moyang kami untuk anak-cucu sekaligus kelestarian lingkungan. Sedangkan mereka (TPL) tentu pemiliknya bukan orang Batak, tidak peduli kelestarian alam Tanah Batak",sebut Thompson Ambarita, warga Sihaporas yang menjabar Bendahara Umum Lamtoras.

Karenanya, kata Thompson mereka akan teguh pada prinsipnya mempertahankan nyawa dan kesehatan sampai tetes darah terakahir. Setidaknya lima orang warga Sihaporas merupakan pejuang kemerdekaan RI yang mendapat piagam penghargaan Legiun Veteran RI dari Pemerintah RI.

"Ompung dan orangtua kami adalah pejuang. Kami pun akan memperjuangkan tanah adat warisan leluhur sampai tetes darah terakhir. Kami takkan mundur",tegas Thompson.

Baca: Minta Dipisah KLHK, Walhi Sarankan Pemerintah Bentuk KPK Lingkungan

Walhi: Aparat Jangan Berpihak pada TPL

Sementara itu, Dana Prima Tarigan, Direktur Wahana lingkungan hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Utara meminta TNI/Polri bersikap netral.

Konflik agraria yang berkepanjangan menurutnya, harus mendapatkan perhatian khusus oleh pemerintahan pusat dan Khususnya Pemerintah Sumatera Utara, baik Permasalahan dasar Izin IUPHHK yang dimiliki oleh PT Toba TPL.

IUPHHK PT TPL dinilainya telah mencederai hak Masyarakat adat dan masyarakat local yang mempunyai Kehidupan atas Wilayah Kelola Rakyat atas Tanaman Pisang, Durian, Alpokat dan Haminjon. Apalagi, tanaman tersebut merupakan sumber penghasilan bagi masyarakat Desa Sihaporas yang berladang disekitar lokasi PT TPL.

Dia menyampaikan, pihak aparat keamanan unsur TNI dan POLRI selaku pengayom masyarakat seharusnya tidak bersikap reaktif dan menunjukkan keterpihakan terhadap Perusahan.

Izin IUPHHK–HTI yang dimiliki oleh PT TPL telah merampas Hak Kelola bagi Masyarakat Adat di Desa Sihaporas, di samping itu dalam pemberian izin telah mencederai UUD 1945 yaitu Pasal 33 ayat 2 yang berbunyi “ Bumi, Air dan Kekayaan ALam yang terkandung didalamnya dikuasi oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran Rakyat”.

"Bagaimana masyarakat yang seharusnya mempunyai sumber kehidupan dari kegiatan berladang tidak diberikan hak atas pemanfaatan lokasi, namun pemerintah memberikan Hak Kelola terhadap perusahaan, dimana kemakmuran rakyat yang tertuang dalam konstitusi UUD 1945 jika Hak Kelola masyarakat ternyata dirampas oleh Konstitusi atas Terbitnya Izin IUPHHK- HTI," tuturnya.

Dana menyampaikan, perusahaan itu seharusnya tidak Mengambil Hak Hidup Masyarakat Adat Sihaporas, dan Meminta kepada Pemerintah Agar Mencabut Izin tersebut karena Menilai Izin tersebut sangat tidak berpihak terhadap Masyarakat Adat Sihaporas.

Di sisi lali, PT TPL kata Dana, memiliki sejarah atas Kasus Agraria di sumatera Utara terhadap Perampasan Hak atas wilayah tanah Masyarakat adat, yang masuk dalam Areal Izin konsesi yang diberikan Pemerintah Kepada PT TPL.

Apalagi, ditambahkan Dana, masyarakat adat di wilayah adatnya masih menganut Kearifan Lokal untuk dapat menjaga Kelestarian hutan dan lingkungan. Walhi menyesalkan tindakan perusahaan yang melibatkan ASN untuk dapat membuat tekanan psikologis kepada masyarakat adat. Padahal di lokasi konsesi tersebut sudah tinggal masyarakat Adat secara turuntemurun jauh sebelum PT TPL diberi konsesi oleh pemerintah.

"Walhi akan Hadir dan jika Masyarakat adat Sihaporas harus kehilangan sumber kehidipuannya maka sebagai Rakyat saya mengatakan akan Mengangkatkan tangan Kkri saya untuk melawan Penindasan Terhadap Masyarakat Adat", “tuturnya.

Hingga berita ini diturunkan, Tribun masih berupaya mengkonfirmasi Kapolsek Sidamanik Akp Abidin terkait keterlibatan TNI/Polri dalam penanaman eucalyptus oleh pihak PT TPL di lahan warga tersebut. (Jun-tribun-medan.com)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini