TRIBUNNEWS.COM - Mantan Kasubdit Pengamanan Tahanan (Pamtah) Dit Tahti Polda NTB Kompol Tuti Maryati yang diduga menerima suap dari gembong narkoba asal Prancis, Dorfin Felix (43), menjalani sidang perdana di Pengadilan Tipikor Mataram, Selasa (9/7/2019).
Tuti disidang atas kasus dugaan suap sejumlah tahanan di Rutan Polda NTB, termasuk dari Dorfin, yang sempat kabur dari ruang tahanan Polda NTB pada 20 Januari 2019 silam.
Tuti tiba di Pengadilan Tipikor Mataram, Selasa pukul 10.40 Wita, mengunakan kemeja putih dan jilbab hitam.
Tuti menutupi wajahnya saat melihat kamera wartawan, dan berusaha menghindar.
Suami Tuti, yang juga perwira Polda NTB, sempat meminta tak mengambil gambar istrinya, sambil menutup lensa kamera wartawan.
"Sudahlah, mengerti kan, ndak usah ambil gambar, mengertilah," kata dia.
Tuti menempati ruang tahanan wanita di Pengadilan Tipikor sambil menunggu jadwal sidang.
Dia memilih menutup wajahnya dan menempel di pojok ruang tahanan.
"Ibu memang lagi tidak nyaman, dia masih labil, tapi tetap bisa menjalani sidang hari ini, maklumlah masalah yang dia hadapi berat," kata Edi Kurniadi, Kuasa Hukum Tuti.
Saat menuju ruang sidang, Tuti kembali menutupi wajahnya sambil berlari kecil.
Wartawan hanya diperkenankan mengambil gambar sebelum sidang dimulai oleh Ketua Majelis Hakim, Sri Sulastri.
"Media silakan mengambil gambar sebelum sidang dimulai, setelah sidang dimulai tidak ada aktivitas mengambil gambar, agar persidangan berlangsung lancar," kata Sri.
Jadwal sidang kali ini adalah pembacaan dakwaan Jaksa Penuntut Umun (JPU) atas kasus suap yang diterima Tuti.
Dalam dakwaannya, JPU Marollah mengatakan, Tuti diduga kuat telah menerima suap dari sejumlah tahanan di Polda NTB, bukan hanya dari Dorfin Felix.
Rata-rata para tahanan menyuap Tuti mulai Rp 100.000 hingga Rp 1 juta.
Termasuk dari Dorfin Felix, tersangka kasus kepemilikan 2,4 kilogram narkoba jenis sabu.
"Bahwa pada tanggal 15 Desember 2018 terdakwa dimintai bantuan oleh saksi Dorfin Felix, untuk menerimakan kiriman uang Rp 7,9 juta rupiah yang dikirim melalui Western Union dan diminta membelanjakan uang tersebut," kata jaksa, dalam persidangan.
Warga Prancis Dorfin Felix terdakwa penyelundup narkoba yang divonis hukuman mati oleh PN Mataram NTB (dok)
Jaksa menyebutkan, sejumlah barang yang dibeli Tuti untuk Dorfin Felix seperti 1 unit HP android merek Vivo Y71 seharga Rp 2 juta, kartu perdana, televisi dan pemasangan TV berlangganan sebagai fasilitas di ruang tahanan.
"Sisa belanja untuk fasilitas tahanan itu sebesar Rp 1,5 juta, dan 12 Januari Tuti kembali dimintai tolong menerima lagi kiriman uang dari orangtua Dorfin sebesar Rp 7,6 juta melaui kantor pos.
Saat uang itu tiba, Dorfin diminta menghadap ke ruangan Tuti untuk menerima uang kiriman orangtuanya," kata jaksa.
Tuti diancam pidana dengan Pasal 11 juncto Pasal 12 Ayat 1 dan 2, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 atas perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Tuti didakwa dengan pasal dalam UU Tipikor karena telah menyalahgunakan kewenangannya sebagai Kasubdit Pengamanan Tahanan (Pamtah) Dittahti Polda NTB dengan memaksakan sejumlah tahanan memberikan sesuatu padanya, termasuk Dorfin Felix.
Usai pembacaan dakwaan, Tuti menyerahkan langkah selanjutnya pada kuasa hukumnya.
Kuasa hukum Tuti, Edy Kurniadi meminta majelis hakim agar Tuti menjalani tahanan kota, bukan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Mataram.
Tuti awalnya tidak ditahan. Setelah pelimpahan berkas, dia mulai ditahan Rabu (3/7/2019) atas perintah Hakim Pengadilan Tipikor Mataram.
Sidang lanjutan rencananya akan digelar Selasa pekan depan dengan agenda pembacaan tanggapan pengacara atas dakwaan Tuti. Sidang pekan depan akan menghadirkan sejumlah saksi.
Dorfin Felix Dihukum Mati
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Mataram menjatuhkan vonis hukuman mati terhadap Dorfin Felix (43), warga negara Prancis yang kedapatan membawa 2,4 kilogram narkotika jenis sabu.
"Narkotika dengan berat melebihi 5 gram, sesuai Pasal 113 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 35/2009 tentang Narkotika, menjatuhkan pidana pada Dorfin Felix dengan pidana mati, menyatakan terdakwa tetap dalam tahanan," kata Ketua Majelis Hakim, Isnurul Syamsul Arif, yang juga ketua Pengadilan Negeri Mataram, membacakan vonis, Senin (20/5/2019).
Vonis itu lebih berat dari tuntutan jaksa yang menuntut hukuman 20 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar.
Mendengar putusan majelis hakim, Dorfin nampak diam.
Keputusan hakim tersebut berdasarkan hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa.
Hal yang memberatkan di antaranya terdakwa sebagai warga negara asing tidak berhak mengekspor narkotika ke Indonesia.
Kemudian, terdakwa merupakan anggota sindikat peredaran narkotika internasional, perbuatan terdakwa berpotensi merusak generasi muda dan melemahkan ketahanan nasional, mengingat barang bukti narkoba yang dibawa terdakwa besar atau rekatif tinggi sebasar 2,47 kilogram.
Usai sidang, Dorfin menghindar dan menolak diwawancara.
Kuasa hukumnya, Deny Nur Indra mengatakan, Dorfin banding atas voni tersebut.
Deny mengklaim, Dorfin sebenarnya tidak mengetahui jika dua buah koper dan tas ransel yang dibawa berisi barang yang ternyata adalah ilegal.
"Dorfin adalah korban, dia sama sekali tidak tahu tas dan koper yang dibawanya berisi barang, dia memang tahu jika barang yang dibawanya ilegal, tetapi tidak tahu jenisnya apa di fakta persidangan," kata Deny.
Deny mengatakan, Dorfin hanyalah pengrajin batu perhiasan di negaranya.
Kliennya mengira, tasnya hanya berisi batu perhiasan yang dibawa secara ilegal. Tetapi ternyata berisi narkotika.
"Hukuman Dorfin terlalu berat dan jauh dari apa yang dia harapkan atau hukuman lebih ringan biar ada kesempatan Dorfin hidup lebih lama," kata Deny.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Polwan yang Diduga Bantu Gembong Narkoba Kabur Jalani Sidang Perdana"
Penulis : Kontributor Kompas TV Mataram, Fitri Rachmawati