TERKINI Rusuh di Papua, Polri Tetapkan 62 Orang Jadi Tersangka, 4 WNA Dideportasi
TRIBUNNEWS.COM - Sebanyak total 62 orang ditetapkan menjadi tersangka oleh pihak kepolisian dalam kerusuhan yang terjadi Papua dan Papua Barat.
Secara keseluruhan para tersangka diduga melakukan perusakan, pembakaran, makar, penghasutan di muka umum, pencurian dengan kekerasan, dan kepemilikan senjata tajam.
Hal tersebut diungkapkan Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Dedi Prasetyo seperti dilaporkan Kompas.com.
Untuk kerusuhan di Jayapura, polisi menetapkan 38 tersangka dengan rincian 28 tersangka di kerusuhan di Jayapura dan 10 tersangka ditetapkan untuk kerusuhan di Timika.
"Sekarang 28 yang sudah ditetapkan (tersangka), yang di Jayapura. Kemudian di Timika 10," ungkap Dedi di Gedung Humas Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (2/9/2019).
Sementara untuk kerusuhan di Papua Barat, polisi menetapkan 24 orang sebabagai tersangka dengan rincian tersangka kerusuhan di Sorong berjumlah sebanyak tujuh orang.
Kemudian untuk di Fakfak sebanyak sembilan orang, dan delapan orang tersangka di Manokwari.
"Jadi 24 (tersangka di) Papua Barat," ujar Karopenmas Polri.
Baca: Jumlah Kerugian dari Kerusuhan Papua, Menteri PUPR Ungkap Capai Puluhan Miliar
Baca: Pemerintah Diminta Tegas Terhadap Keterlibatan Asing Dalam Insiden Kerusuhan di Papua
Sementara itu, diberitakan sebelumnya empat warga Australia yang diketahui mengikuti aksi demonstrasi menuntut kemerdekaan Papua, telah dideportasi pada Senin (2/9/2019).
Keempat warga negara Australia teridiri dari seorang pria dan tiga perempuan, mereka adalah Baxter Tom (37), Davidson Cheryl Melinda (36), Hellyer Danielle Joy (31), dan Cobbold Ruth Irene (25).
Diketahui, keempat WNA tersebut masuk Wilayah Indonesia tanggal 10 Agustus 2019 melalui TPI Pelabuhan Sorong dengan kapal yacht Valkyrie.
"Ketika dia mengikuti demo, ada pengibaran bendera (Bintang Kejora) maka itu ada pelanggaran pidana," ujar Dedi, di Mabes Polri, Jl Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (2/9/2019).
Menurutnya, keempat WNA itu melanggar UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang unjuk rasa, sebab peraturan tersebut hanya merujuk kepada warga negara Indonesia dan bukannya WNA.
"WNA kan bukan warga Indonesia. Di Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tertera WNI (yang diperbolehkan melakukan unjuk rasa)," kata dia.
Dedy juga menuturkan bahwa keempat WNA itu dapat ditindak atau diproses hukum lebih lanjut apabila ditemukan adanya pelanggaran berat.
Ia menyebut para WNA yang telah dideportasi, bisa saja kembali dipanggil untuk menjalani proses hukum di Indonesia.
"Maka nanti ada kerjasama dengan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu)," katanya.
Baca: Sebut Ada Keterlibatan Asing dalam Rusuh di Papua, Kapolri Diingatkan Jangan Seperti Politisi
Baca: 5 Pernyataan Wiranto Soal Kerusuhan di Papua, Aksi Massa Disusupi, Hingga Pembatasan Akses Internet
Aksi massa disusupi
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto menyayangkan kerusuhan yang terjadi di Deiyai, Papua Rabu (28/8/2019).
Wiranto menilai penyerangan kepada aparat keamanan oleh massa pendemo tidak dilakukan oleh pihak yang murni berniat melaksanakan aksi unjuk rasa.
Dalam aksi tersebut menyebabkan seorang anggota TNI tewas dan dua lainnya mengalami luka, empat anggota polisi terluka, dan satu warga meninggal terkena lemparan panah.
Wiranto telah mengimbau kepada petugas keamanan untuk tidak melakukan tindakan kekerasan dan mengedepanan unsur persuasif secara terukur.
“Kami sudah ke Papua dan sudah melakukan berbagai dialog dengan semua tokoh di sana, dan sebenarnya tuntutan-tuntutan dalam aksi unjuk rasa sudah terjawab."
"Sehingga jika ada demo lanjutan kami justri khawatir akan ditunggangi pihak-pihak yang juga akan merugikan masyarakat.” ungkap Wiranto ditemui di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (29/8/2019).
Dalam aksi unjuk rasa yang berujung kerusuhan di Deiyai, Papua pada Rabu (28/8/2019) massa sempat menuntut referendum.
Wiranto menilai bahwa konsep referendum adalah dalam konteks meminta rakyat menyatakan pilihannya apakah merdeka atau lepas dari negara penjajahnya.
Mengacu pada Perjanjian New York tahun 1962, menurut Wiranto hal tersebut seharusnya tidak disampaikan dan tidak pada tempatnya karena wilayah Papua merupakan wilayah sah Indonesia sebagai bekas jajahan Belanda sesuai Perjanjian New York tersebut.
“Saya kira tuntutan referendum sudah tidak pada tempatnya dan seharusnya tidak disampaikan. Karena apa, karena NKRI sudah harga mati."
"Perjanjian New York tahun 1962 lalu mengisyaratkan Papua bagian barat masuk NKRI, sehingga NKRI harga mati termasuk Papua dan Papua Barat,” ungkap Wiranto.
(Tribunnews.com/tio/Kompas.com)