News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Ranitidin, Obat Asam Lambung Mengandung Zat Pemicu Kanker Telah Lama Beredar ke Pelosok Desa

Editor: Sugiyarto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ILUSTRASI OBAT - BPOM Tarik Peredaran Obat Lambung Ranitidin karena Berpotensi Memicu Kanker

TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG - Ranitidine produk dua perusahaan obat asal Jawa Tengah ditarik dari pasaran.

Penarikan dilakukan karena obat tersebut mengandung N-Nitrosodimethylamine (NDMA) di atas ambang yang diperbolehkan sesuai edaran Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Dua obat yang ditarik yaitu Ranitidine Cairan Injeksi dari PT Phapros Tbk dan Rinadin Sirup dari PT Global Multi Pharmalab.

Penarikan dilakukan sejak 4 Oktober 2019 lalu.

Penarikan juga untuk obat serupa yang diproduksi di luar Jateng yaitu Zantac Cairan Injeksi dari PT Glaxo Wellcome Indonesia, serta Indoran Cairan Injeksi dan Ranitidine Cairan Injeksi dari PT Indofarma.

"Sesuai penjelasan badan pom tanggal 4 Oktober terkait ranitidin, memang dilakukan penarikan terhadap produk ranitidin yang telah teridintifikasi mengandung NDMA melebihi batas yang dapat ditoleransi," ujar Kepala Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) Semarang, Safriansyah, di kantornya, Rabu (9/10/2019).

Baca: Tak Hanya Ranitidin, Ini Daftar Lengkap Obat Lambung Bisa Picu Kanker, Ada yang Sering Dikonsumsi!


Ia mengatakan, penarikan dikawal oleh Balai POM di daerah bersama-sama dengan Dinas Kesehatan dan organisasi profesi Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).

Kandungan NDMA yang melebihi ambang batas disinyalir menyebabkan kanker.

Baca: Daftar Obat Asam Lambung yang Mengandung Zat Pemicu Kanker, Ranitidin Paling Sering Dikonsumsi

"Kita telah berkoordinasi dengan perusahaan-perusahaan yang ada di wilayah Jawa Tengah untuk meminta keterangan, penjelasan, sejauh mana mereka sudah melakukan upaya penarikan produk-produk itu di pasaran," ucapnya.

Menurutnya, batas kandungan NDMA yang diperbolehkan adalah 96 nanogram yang dikonsumsi dalam sehari.

Sementara, setelah dilakukan penelitian, kandungan NDMA dalam obat-obat tersebut melebihi ambang batas.

BBPOM memberi tengat waktu selama 80 hari kerja kepada produsen dan pemilik izin edar untuk menarik Ranitidin yang mengandung NDMA di atas ambang batas.

Syafri mengakui, peredaran Ranitidin saat ini telah sampai ke pelosok desa.

Hal tersebut lantaran Ranitidin telah memiliki izin edar di Indonesia sejak 1989.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini