TRIBUNNEWS.COM, YOGYAKARTA - Simposium Wastra ASEAN Ke-7 atau 7th ASEAN Traditional Textile Symposium diadakan di Yogyakarta, Selasa (5/11/2019) ini.
Setiap dua tahun, simposium ini digelar di salah satu negara anggota ASEAN mulai 5-8 November 2019.
Tahun 2005, ASEANTTAC sebagai pemrakarsa, yang pada saat itu berinduk pada Himpunan Wastraprema - pecinta wastra adati Indonesia, menggelar simposium yang pertama didukung oleh ASEAN Sekretariat.
Tahun ini, untuk kedua kalinya TTASSEA (Masyarakat Wastra Asia Tenggara) mendapat kehormatan untuk menyelenggarakan ajang yang mendapat dukungan penuh dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI serta mengambil tema Merangkul Perubahan, Menghormati Tradisi (Embracing Change, Honoring Tradition).
Pembukaan ditandai dengan pemukulan kenong yang dilakukan bersama oleh Ketua Panitia GKR Hemas, Penjabat Sekretaris Daerah Provinsi Yogyakarta, Arofa Noor Indriyani dan Ketua Wastraprema, Adiati Arifin Siregar didampingi oleh Presiden TTASSEA, GKBRAA Paku Alam.
Turut hadir tamu kehormatan, Permaisuri Raja Malaysia, Permaisuri Agung Tunku Azizah Aminah Maimunah Iskandariah.
Ketua Panitia Penyelenggara 7th ASEAN Traditional Textile Symposium, Gusti Kanjeng Ratu Hemas mengatakan, sejak diprakarsai pada tahun 2009 hingga saat ini, TTASSEA atau Masyarakat Wastra Asia Tenggara telah mengalami berbagai perkembangan yang signifikan.
Perkembangan ini meliputi segi sumber daya manusia, segi komunikasi internasional, dan hubungan kerja sama internasional.
"AJang ATTS ke-7 yang dihelat oleh TTASSEA sebagai salah satu lembaga kemasyarakatan yang sudah diakreditasi oleh ASEAN Secretariat, sangat penting bagi masyarakat, terutama bagi mahasiswa desain dan tekstil, pelaku wastra, peneliti wastra di perguruan tinggi, pecinta wastra Asia Tenggara, dan pemerhati budaya, khususnya budaya material." katanya.
Event 7th ASEAN Symposium tidak saja menyediakan panggung untuk saling berbagi pengetahuan dan mengupayakan jalinan persahabatan wastra tetapi juga meningkatkan kolaborasi kalangan akademis, pelaku bisnis, dan pelaku wastra di lapangan.
Acara ini terbuka untuk umum dan kami mengundang masyarakat untuk turut hadir memeriahkannya.
Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Hilmar Farid menjelaskan bahwa wastra sejatinya merupakan cerminan identitas serta menjadi media penyalur pengetahuan, budaya, dan seni lintas generasi.
Sejalan dengan amanah UU no. 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, dalam upaya pelindungan, Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan & Kebudayaan hingga tahun 2019 ini telah menetapkan sebanyak 39 wastra Nusantara menjadi Warisan Budaya Takbenda Indonesia, diantaranya batik, ulos, tenun ikat dan songket.
Hilmar berharap kegiatan 7th ASEAN Traditional Textiles Symposium dapat mendorong akademisi, pengrajin, kolektor dan pelaku industri tekstil tradisional untuk secara aktif mencari solusi bagi isu-isu pelestarian, pengembangan dan pemanfaatan kain tradisional, serta menumbuhkan rasa saling menghormati dan membentuk kerjasama yang kuat diantara komunitas wastra di wilayah ASEAN dan dunia.