TRIBUNNEWS.COM, BANDA ACEH - Kapal Induk USS Abraham Lincoln, Amerika Serikat punya kisah tersendiri yang tidak dapat dipisahkan dengan bencana gempa dan tsunami yang menerjang Aceh pada 26 Desember 2004, tepat 15 tahun silam.
Tentara angkatan laut yang bermarkas di kapal induk kelima kelas Nimitz di Angkatan Laut Amerika Serikat ini termasuk penyuplai bantuan pertama kepada para korban tsunami di Aceh.
Melalui USS Abraham Lincoln, tentara Amerika Serikat dengan mudah dapat menjangkau wilayah yang terdampak bencana tsunami.
Seperti diketahui saat bencana tsunami terjadi, Kapal Induk USS Abraham Lincoln melakukan lego jangkar di wilayah perairan Aceh dalam sebuah misi.
Peristiwa bencana tsunami dengan cepat terdengar oleh awak kapal.
Beberapa heli dari US Navy yang berpangkalan di kapal induk USS Abraham Lincoln segera melakukan misi kemanusiaan menyuplai bantuan kepada para korban.
Pesawat asing ketika itu dapat dengan bebas memasuki wilayah udara Aceh setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat itu menetapkan bencana gempa dan tsunami Aceh sebagai bencana nasional.
TNI mengeluarkan Notice to Airman (Notam) yang mengisyaratkan ruang udara Aceh terbuka bagi pesawat-pesawat asing serta masyarakat internasional.
Mereka dapat langsung terbang dari negaranya menuju Aceh dalam misi kemanusiaan, tanpa harus memenuhi syarat keimigrasian normal.
Kurang dari 24 jam setelah Notice to Airman (Notam) tersebut diberlakukan, pesawat terbang asing dari berbagai negara segera mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Aceh melalui bandara Sultan Iskandar Muda.
Saat itu, karena tsunami, ruang udara Aceh terbuka lebar bagi seluruh negara yang menjalankan misi kemanusiaan.
Terlihatlah kesibukan para petugas bandara dalam mengatur hiruk-pikuk pesawat asing dan domestik yang menggunakan fasilitas bandara.
Sebelumnya pemerintah mengeluarkan Notice to Airman A-0764 berkaitan dengan situasi Aceh yang dalam status darurat militer dan darurat sipil.
Melalui Notam itu Pemerintah RI melarang terbang bagi semua pesawat asing di ruang udara Aceh.
Menurut Buku Tsunami dan Kisah Mereka yang diterbitkan Badan Arsip dan Perpustakaan Aceh, awak radar bandara SIM mencatat hampir 150 pergerakan per hari, termasuk beberapa heli dari US Navy yang berpangkalan di kapal induk USS Abraham Lincoln.
Baca: Sandiaga Uno Tak Sengaja Ketemu Agus Harimurti Yudhoyono di Amerika Serikat, AHY: Surprised Banget
Baca: Pria Berjanggut Putih Rampok Bank dan Sebar Uang, Sempat Teriak Selamat Natal
Dalam kondisi normal, pergerakan yang terjadi di Bandara Sultan Iskandar Muda berkisar antara 10 sampai 12 pergerakan per hari.
Yang lebih unik, baru kini terjadi dalam satu ruang udara, lebih banyak pesawat asing yang beroperasi dibandingkan pesawat milik negara sendiri.
Semuanya secara tertib mengikuti aturan dan petunjuk dari menara pengatur lalu lintas udara demi keselamatan terbang bersama.
Kalaupun terjadi hambatan, itu adalah masalah parkir atau kecepatan bongkar muat gara-gara banyaknya kargo yang harus unloading secara manual.
Namun, secara umum ruang udara di Aceh tetap dapat dikontrol dengan baik dan aman.
Bukan cuma pesawat asing, pesawat domestik pun menggunakan ruang udara Aceh dalam menjalankan misi kemanusiaan di Aceh.
Para relawan penerbangan swasta turut pula aktif membantu melakukan evakuasi dan membuka isolasi di Aceh meski mengandalkan pesawat berkemampuan angkut terbatas.
Minggu pertama pasca tsunami, misalnya, dua maskapai yakni Transwisata Air dan Susi Air, mengerahkan armada pesawat mereka untuk membawa logistik dan mengevakuasi pengungsi terluka.
Dengan Fokker 28 Mk 50, Transwisata Air berhasil menembus isolasi Pulau Nias dan meneruskan misi Medan-Banda Aceh setiap hari dengan beberapa kali penerbangan.
Susi Air dengan pesawat jenis Cessna Caravan menembus isolasi Meulaboh dengan mendarat di landasan udara Asikin yang rusak parah.
Bantuan mereka sungguh terasa bagi para korban yang memang sudah tak berdaya.
Berkat relawan udara inilah beberapa korban berhasil dievakuasi dalam keadaan luka membusuk di sekujur badan.
Para korban yang diangkut ini umumnya dalam keadaan mengenaskan.
Ada seorang pria, misalnya, diungsikan dalan keadaan sejumlah rusuk terluka dan menyisakan lubang menganga di dada dekat paru-parunya.
Luka tersebut meninggalkan bau busuk di kabin pesawat.
Ritme kerja para relawan air lift sangat melelahkan, tanpa kepastian waktu take off ataupun landing.
Sepanjang hari mereka mengangkut obat-obatan, pasokan logistik, dan para relawan yang ke Aceh; pulangnya mengangkut pengungsi terluka, para warga lanjut usia, dan anak-anak.
Dua bulan pascatsunami kondisi Aceh sudah jauh lebih baik.
Maklum, banyak relawan asing ikut bekerja keras mengevakuasi dan menolong korban yang masih bisa diselamatkan.
Baca: Kenapa Facebook dan Twitter Hapus Jutaan Akun Pendukung Presiden Donald Trump?
Baca: Deretan Foto Salmafina Sunan Rayakan Natal Pertamanya, Kunjungi Amerika Hingga Ditemani Pria Bule
Relawan asing ini berasal dari LSM, badan dunia, militer, dan individu.
Mereka sangat membantu meringankan penderitaan warga.
Amerika Serikat bahkan mengerahkan kapal induk USS Abraham Lincoln beserta belasan pesawat terbangnya untuk mengirim bantuan yang tidak bisa dijangkau melalui jalan darat.
Kehadiran personel militer itu benar-benar menyejukkan suasana, jauh dari kesan angker.
Mereka berbaur dengan relawan lainnya yang berada di tengah-tengah korban tsunami.
Hal serupa juga dilakukan relawan militer Jepang, Singapura, Malaysia, Spanyol, Australia, Jerman, Inggris, dan berbagai negara
lain.
Beragam peralatan medis dan obat-obatan, makanan, minuman, pakaian, selimut, dan kebutuhan lain dibagikan kepada mereka yang selamat dari amukan tsunami. Bantuan dari dalam negeri pun terus berdatangan.
Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul Kisah Kapal Induk Amerika USS Abraham Lincoln ketika Tsunami Menerjang Aceh