TRIBUNNEWS.COM - Pada hari ini, Kamis (26/12/2019), tepatnya lima belas tahun yang lalu, tsunami dahsyat melanda Aceh.
Peristiwa itu terjadi pada 26 Desember 2004, sekira pukul 07.58 WIB.
Saat itu, ada sekitar 170.000 orang meninggal dunia akibat terjangan gelombang tsunami.
Tak hanya itu saja, gelombang tersebut juga melululantahkan ratusan ribu rumah, bangunan, dan fasilitas umum.
Tsunami Aceh berasal dari gempa bumi bermagnitudo 9 di dasar laut.
Gempa itu terjadi di kedalaman 10 kilometer yang lokasinya berjarak 149 kilometer dari Meulaboh.
Ternyata tidak hanya Aceh saja yang terkena dampak bencananya.
Ada sejumlah wilayah di 13 negara lain yang ikut terdampak.
Di antaranya adalah Andaman, Thailand, India, Sri Lanka dan sebagian Afrika.
Akibatnya, jika ditotal, tsunami dahsyat itu menewaskan kurang lebih 230.000 orang.
Namun wilayah yang terdampak paling besar adalah di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
Warga yang terkena dampak pun masih mengalami kepedihan dan trauma yang besar.
Meski banyak yang merasa kehilangan, namun saat ini Aceh sudah bangkit kembali.
Salah seorang warga Aceh bernama Maisara (48) ikut membagikan ceritanya.
Maisara adalah satu di antara korban yang selamat dari terjangan ganasnya tsunami.
Ia menuturkan saat peristiwa tsunami terjadi, ia terjebak dalam air laut bewarna hitam menggulung.
Saat itu posisinya terjepit di plafon rumahnya.
Air yang ada hanya menyisakan kepalanya yang terdesak di plafon.
Maisara pun selamat dari terjangan dahsyat gelombang tsunami.
Namun suaminya bernama Muharam dan ketiga anak perempuannya tidak selamat.
Pastinya, tsunami Aceh menyisakan berbagai cerita pelik di hidup Maisara.
“Mana mungkin bisa lupa, sebagai orang Aceh, kejadian itu tak mungkin terhapus dari ingatan,” ujar Maisara sambil terus berkemas, di rumahnya di Kajhu, Aceh Besar saat diwawancara Kompas.com.
Di hari peringatan 15 tahun tsunami Aceh, Kamis (26/12/2019) Maisara berziarah di makam massal di kawasan Blang Kureng, Aceh Besar.
Seperti tahun sebelumnya, ia tak pernah absen berziarah setiap tanggal 26 Desember.
Rencananya usai berziarah Maisara dan suaminya kini, Samsuir akan melakukan perjalanan mengisi liburan akhir tahun.
“Rencana mau liburan ke rumah abang di Aceh Singkil, lalu ke Berastagi dan kembali ke Aceh," ujarnya sambil tersenyum.
Bersama suaminya, kini ia menjalani hidup baru sebagai ibu rumah tangga.
Meski sudah 15 tahun berlalu, Maisara mengaku tidak pernah bisa melupakan tragedi pilu itu.
"Mungkin sampai saya menghembuskan napas terakhir nanti tidak akan lupa," ujar Maisara.
Saat ini Maisara menjalani hidup sebagai ibu rumah tangga bersama suaminya sekarang.
"Kini saya menjalani hidup seiring takdir Tuhan saja. Ajaran agama mengajarkan kalau kita harus semangat dan ikhlas,"
"Kini saya menjalani aktivitas dengan keluarga yang baru bersama suami. Saya ikhlas, tapi saya tidak pernah lupa,” ucap Maisara.
Kepala BNPB Sebut Tsunami Bukan Hukuman
Bagi warga Aceh, tsunami 2004 selalu dikenang dan diperingati, tak terkecuali di tahun ini.
Bahkan, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo berkunjung ke Aceh untuk menghadiri peringatan 15 tahun tsunami Aceh, Rabu (25/12/2019) kemarin.
Dalam kesempatan itu, Doni mengatakan bencana alam bukanlah hukuman tuhan, tetapi adalah kejadian alam yang berulang.
"Ini bukan hukuman apalagi kuntukan tetapi adalah bencana alam yang perlu disikapi dengan sikap siaga untuk tidak jatuh korban,"
“Kita harus jaga alam, dan alam akan jaga kita," katanya sebagaimana dikutip dari laman resmi BNPB, bnpb.go.id, Kamis (26/12/2019).
Agaknya memang benar jika peristiwa tsunami Aceh bukanlah sebuah hukuman dari Tuhan.
Dari cerita Maisara, kita bisa ikut belajar untuk menerima keadaan dan mensyukuri hidup.
(Tribunnews.com/Maliana, Kompas.com/Daspriani)