TRIBUNNEWS.COM - Penghageng Keraton Yogyakarta, GBPH Prabukusumo memberikan tanggapan soal Keraton Agung Sejagat (KAS) di Purworejo, Jawa Tengah.
Adik dari Sultan Yogyakarta itu sangat menyayangkan muculnya Keraton Agung Sejagat di Purworejo.
"Jadi sangat disayangkan sekali bahwa hal-hal semacam ini harusnya tidak terjadi."
"Sehingga perlu disayangkan khususnya pada masyarakat yang senangnya bikin keraton-keraton ini," katanya, dikutip Tribunnews.com dari kanal YouTube metrotvnews yang diunggah pada 15 Januari 2020.
Mantan Ketua KONI DIY tersebut berharap soal Keraton Agung Sejagat harus diusut hingga tuntas.
"Jadi harapan kami masalah ini harus dituntaskan, harus diusut sampai tuntas, siapa yang mendukung, apa saja yang terkait harus dituntaskan," katanya.
Prabukusumo mengusulkan pemerintah melalui kementerian dalam negeri (kemendagri) harus membuat 3 kriteria untuk keraton.
"Jadi keraton-keraton itu dibuat 3 kriteria, yang pertama keraton atau kadipaten sebutannya ada sultan, ada sunan, ada adipati dan sebagainya."
"Yang kedua kepala suku yang ada di luar Jawa."
"Kemudian kriteria ketiga adalah trah, trah ini diisii oleh orang-orang yang dari trahnya, misalnya dari Majapahit dari mana saja, ada pengageng-ageng trah yang istilahnya belum terwakili dalam kesultanan itu, dalam kriteria pertama," tambahnya.
Dengan adanya kriteria tersebut diharapkan bisa menjadi tertib dan tidak ada lagi oknum yang mencoba mendirikan keraton.
"Sehingga semua akan tertib, tidak ada orang-orang, tidak ada lagi orang yang coba mendirikan keraton-keraton baru seperti yang di Purworejo," ucapnya.
Prabukusumo mengatakan pihak kepolisian daerah harus mengusut hingga tuntas soal Keraton Agung Sejagat.
"Saya yakin ada beberapa, yang harus kita teliti ulang oleh Mendagri dan pihak kepolisian daerah harus mengusut hingga tuntas," tambahnya.
Prabukusumo juga memberi tanggapan soal para pengikut Keraton Agung Sejagat yang dikabarkan berasal dari beberapa daerah di Yogyakarta seperti Bantul dan Imogiri.
Prabukusumo mengatakan, kedepan masyarakat harus lebih paham adanya kebohongan.
"Kebohongan-kebohongan semacam ini sebetulnya masyarakat seharusnya paham."
"Kita harapkan dengan kejadian semacam ini masyarakat akan semakin cerdas," tambahnya.
Seperti yang diketahui, pasangan Sinuhun Totok Santoso Hadiningrat (42) dan Kanjeng Ratu Dyah Gitarja atau Fanni Aminadia (41) mengaku sebagai pimpinan dari Keraton Agung Sejagat (KAS) di Purworejo.
Punggawa Keraton Agung Sejagat bukan merupakan orang sekitar lokasi.
Mereka dikabarkan datang dari beberapa daerah di Yogyakarta seperti Bantul dan Imogiri.
Orang-orang tersebut mulai datang ke lokasi sekitar pertengahan Agustus 2019.
Pengikut Keraton Agung Sejagat disebut mencapai 425 orang.
Totok Santoso Hadiningrat menyebut, keraton pimpinannya merupakan induk dari seluruh kerajaan hingga republik di dunia.
Kehadiran Keraton Agung Sejagat, menurut Totok, bertujuan untuk membawa masyarat dunia menuju kemajuan.
Totok juga mengklaim akan melakukan perbaikan-perbaikan di berbagai bidang.
"Dengan memperbaiki sistem kedaulatan, sistem ekonomi, dan moneter secara global," katanya, dikutip dari tayangan YouTube Kompas TV, Senin (13/1/2020).
Saat ditanya apakah kerajaan tersebut bagian dari NKRI, Totok menyebut, Keraton Agung Segajat bagian dari keseluruhan.
"Kita bagian dari semuanya," tambahnya.
Dilansir Kompas.com, Kapolda Jawa Tengah, Irjen Pol Rycko Amelda Daniel mengatakan, Totok Santoso dan Fanni Aminadia telah ditetapkan menjadi tersangka.
Status tersangka itu setelah adanya motif penarikan dana dari masyarakat dengan cara tipu daya dan simbol-simbol kerajaan.
"Kami akan mendalami berapa banyak korban yang sudah mengumpulkan iuran dan motif lain yang akan kami ungkap," ujar Rycko saat pengungkapan kasus di Mapolda Jateng, Rabu (15/1/2020).
Totok Santoso Hadiningrat dan Ratu Dyah Gitarja ditangkap polisi pada Selasa (14/1/2020) malam.
Keduanya diancam pasal 378 KUHP tentang penipuan.
Pimpinan Keraton Agung Sejagat ini membuat aturan bahwa masing-masing anggota yang ingin menjadi bagian dari Keraton Agung Sejagad akan harus membayar senilai Rp 3 Juta hingga Rp 30 Juta.
Hal itu diungkapkan Kabid Humas Polda Jateng, Kombes Pol Iskandar Fitriana saat dikonfirmasi Tribunjateng.com, Selasa (14/1/2020).
Bukan itu saja, Iskandar menyampaikan, kedua pelaku juga diduga melanggar pasal 14 UU RI No 1 tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana.
"Dalam pasal 14 tersebut, disebutkan barang siapa menyiarkan berita atau pemberitaan bohong dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, maka dihukum maksimal 10 tahun penjara," jelas Kombes Pol Iskandar kepada Tribunjateng.com.
(Tribunnews.com/Wulan KP) (Tribunnews.com/Widyadewi Metta) (TribunJateng.com/Akhtur Gumilang) (Kompas.com/Kontributor Semarang, Riska Farasonalia)