TRIBUNNEWS.COM – Meski dunia semakin modern dengan segala kecanggihan tehnologi, namun masih saja ditemukan etnis yang memakan otak manusia.
Mengutip Intisari-online.com, etnis yang yang dimaksud adalah salah suku di Papua. Kebiasaan suku di Papua Nugini yang gemar memakan otak manusia ternyata bak pisau bermata dua.
Namun disamping itu, mereka juga menjadi kebal terhadap beberapa penyakit lainnya.
Penyakit sapi gila ini pertama kali dikenal di dunia yang lebih luas setelah seorang petugas medis distrik yang bekerja di Nugini memperhatikan bahwa beberapa orang dari suku Fore, yang tinggal di dataran tinggi Papua Nugini, terserang penyakit mematikan.
Para korban akan kehilangan kemampuan berjalan, menelan dan mengunyah.
Pada gilirannya, ini menyebabkan penurunan berat badan dan kematian.
Pada puncaknya, penyakit ini menyebabkan kematian sekitar 2 persen dari suku per tahun.
Suku Fore melakukan ritual pemakaman yang termasuk pesta-pesta mayat di mana para pria memakan daging dari sanak keluarga mereka yang sudah meninggal sementara para wanita memakan otak mereka.
Namun mereka tidak tahu betapa bahaya itu, karena molekul mematikan hidup di otak manusia yang menyebabkan kematian jika dimakan.
Sedangkan ritual itu dijalankan dengan maksud sebagai tanda hormat untuk orang yang mereka cintai.
Setelah ritual makan otak manusia dilarang di Papua Nugini pada 1950-an, penyakit itu pun kemudian mulai menghilang.
Namun, para ilmuwan yang menyelidiki suku itu kini telah menemukan bahwa kebiasaan makan otak suku Fore telah menghasilkan perkembangan resistensi genetik terhadap penyakit.
“Ini adalah contoh yang mencolok dari evolusi Darwin pada manusia," ucap John Collinge dari unit prion Institute of Neurology di University College London.
Epidemi penyakit yang memilih perubahan genetik tunggal justru akan memberi perlindungan lengkap terhadap demensia.