TRIBUNNEWS.COM - Aksi pamer alat vital atau dikenal perilaku eksibisionis, marak terjadi di lingkungan sekitar.
Dalam lini masa pemberitaan, sering kali aksi tersebut viral di jagat maya.
Seperti aksi pamer alat vital yang terjadi di Perumahan Bekasi pada April 2020 lalu.
Pelaku pun tertangkap kamera CCTV saat sedang beraksi.
Hingga video dan foto pelaku tersebar di jagat maya.
Selain itu, pada minggu lalu, korban pelecehan dari pelaku aksi pamer alat vital menjadi perbincangan.
Pasalnya, korban mengunggah kejadian yang ia alami di Twitter pada Senin (13/7/2020) lalu hingga menjadi viral.
Kala itu, korban berani melawan dan menyebut alat vital milik pelaku kecil.
Akibatnya, pelaku pun kabur dan membuat korban merasa trauma atas kejadian tersebut.
Lantas apakah cara tersebut bisa efektif dan benar bisa membuat pelaku jera?
Psikolog klinis dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Uun Zulfiana SPsi MPsi Psikolog, memberi tanggapan terkait keberanian korban melawan pelecehan seksual.
Menurut Uun, sapaannya, ia sangat mengapresiasi tindakan korban yang berani melawan pelaku pelecehan seksual.
Pasalnya, sangat jarang menemui korban pelecehan yang berani melawan.
Bila dibandingkan, Uun mengatakan keberanian korban melawan pelecehan seperti 1 banding 1000.
"Respons korbannya berani melawan itu jarang sekali."
"Kalau korban yang berani melawan ini tidak banyak bisa dibilang dari seribu hanya satu, itu luar biasa," ujar Uun kepada Tribunnews, Kamis (16/7/2020).
Baca: Viral Curhat Korban Pelecehan yang Berani Melawan: Pelaku Pamer Alat Vital & Tanya Bab Reproduksi
Baca: Psikolog Soroti Korban Pelecehan Berani Melawan saat Dipameri Alat Vital, Sebut Milik Pelaku Kecil
Efektifkah menegur pelaku eksibisionis?
Adapun, Uun menjelaskan, cara yang dilakukan korban benar atau tidak, bergantung dari bagaimana pelaku meresponsnya.
Apabila pelaku membentak dan meninggalkan, maka bisa dibilang itu cara yang sudah benar.
"Ketika dia tegur keras, kemudian dia tinggal, artinya ada pembiaran dari pelaku."
"Saya rasa itu cara yang tepat dan efektif," tutur Uun.
Namun, yang menjadi catatan, apabila korban menegurnya kurang benar, seperti takut kemudian lari, maka pelaku semakin mendapat penguatan.
Artinya, semakin panik dan takutnya korban, Uun mengatakan, pelaku akan semakin senang.
Cara menghadapi pelaku eksibisionis
Lebih lanjut, Uun memberikan solusi lain yang bisa membuat pelaku jera.
Pertama, bila melihat pelaku pelecehan yang memamerkan alat vitalnya, maka jangan sampai terlihat panik.
"Jangan terlihat panik oleh pelaku, walaupun pada dasarnya dalam hati takut."
"Lalu kedua, ketika kita sudah merasa panik, cuek saja, lakukan pembiaran, anggap tidak melihat apa-apa," tutur dosen di Fakultas Psikologi UMM ini.
Baca: Mengenal Perilaku Ekshibisionis, Pamer Kelamin kepada Orang Asing, Makin Direkam Makin Senang?
Adapun yang ketiga, Uun menyarankan, menegur itu penting.
Tetapi harus dipahami, menegur boleh saja namun dengan catatan korban sudah merasa siap.
Pasalnya, bila yang keluar ekspresi marah yang berlebihan, justru membuat pelaku lebih senang dan bergairah.
Penyebab orang mengidap eksibisionis
Menurutnya, ada berbagai penyebab yang bisa membuat orang memiliki perilaku eksibisionis.
Misalnya, pertama faktor psikologis, dalam masa anak-anak atau di fase genitalnya tidak berkembang dengan sempurna.
"Dia biasanya akan menunjukan aku laki-laki dan aku kuat, itu salah satu penyebabnya," ungkapnya.
Kedua, faktor biologis, yang mungkin bisa dipengaruhi oleh hormonal dan genetik.
Adapun, ketiga faktor lingkungannya mendukung dia melakukan hal seperti itu.
Uun menuturkan, dirinya pernah mewawancarai pelaku eksibisionis.
Baca: Pria Suka Pamer Alat Vital Kepada Wanita di Semarang, Dikira Begal Keluarkan Senjata, Ternyata?
Saat ditanya mengapa melakukan hal tersebut, pelaku menjawab karena ingin berfantasi.
"Artinya setiap pelaku bisa berbeda, bisa juga menunjukan dia laki-laki yang kurang dihargai di lingkungannya," terangnya.
Menurut Uun, perilaku eksibisionis merupakan satu diantara gangguan seksual yang paling sering dijumpai di sekitar masyarakat.
"Memang sangat banyak, hampir di semua daerah ada orang seperti ini," ungkap Uun.
Kendati demikian, pelaku tidak bisa langsung diberi label memiliki gangguan eksibisionis.
"Bila dia melakukan perilaku itu konsisten, minimal enam bulan, itu baru kita katakan eksibisionis," pungkasnya.
(Tribunnews.com/Maliana)