"Enggak tahan lagi dengan ejekan-ejekan itu, terpaksa awak pergi menyendiri di pinggir hutan ini,"terang Oloandi.
Kini, Oloandi hidup di Pinggir Hutan Kecamatan Angkola Muaratais. Hidup di dalam gubuk berlantai tanah, dengan dinding yang gampang ditembus.
Bersama anak dan istrinya, buruh panjat kelapa setiap malamnya tidur dengan alas karpet seadanya.
Ancaman gigitan nyamuk hutan dan binatang buas lainnya tak lagi dia hiraukan.
Melewati malam tanpa lampu penerangan juga sering dialami keluarga tersebut.
Selain karena memang tidak ada listrik tersambung ke Gubuk pamannya tersebut, Oloandi tak punya cukup uang membeli lilin.
Saat ini Anak Oloandi yang paling sulung sudah duduk di bangku kelas satu SD.
Setiap hari, Oloandi menemani anaknya ke sekolah dan anaknya tersebut harus berjalan sejauh 5 Km agar bisa sampai ke sekolah.
Baca juga: Diremehkan Tetangga karena Miskin, Warga Tapanuli Selatan Boyong Istri Anak Asingkan Diri ke Hutan
Tidak ada jalan lain ntuk membeli beras dan keperluan dapur lainnya, termasuk menyambung sekolah anaknya selain menjadi buruh panjat kelapa.
Oloandi juga tidak punya lahan untuk bercocok tanam, dampaknya anaknya yang masih berusia satu tahun pun nyaris tak pernah minum susu.
Paling tinggi penghasilan Oloandi dalam sehari dari upah memanjat kelapa hanya 50 ribu rupiah saja.
Sulitnya lagi, dalam seminggu jasanya hanya 2 kali dipakai toke, artinya seminggu hanya bisa menghasilkan 100 ribu rupiah saja.
"Hanya 50 ribu rupiah per hari. Tertentu juga, itu pun kadang satu hari ini ada, besok kadang enggak ada. Kadang mau, dalam seminggu cuma dua kali,"terang Oloandi.
Selama ini, kata Oloandi pendataan memang sering dilakukan Pemerintah terhadap keluarga kurang mampu.