News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Ahli: Akibat Pengambilan Air Tanah Berlebihan, Tahun 2035 Wilayah Pekalongan Bisa Tenggelam

Penulis: Rica Agustina
Editor: Tiara Shelavie
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Dosen geodesi Institut Teknologi Bandung Heri Andreas mengatakan, pada tahun 2035, 80 persen wilayah Pekalongan, Jawa Tengah, kemungkinan bisa tenggelam.

TRIBUNNEWS.COM - Dosen geodesi Institut Teknologi Bandung Heri Andreas mengatakan, pada tahun 2035, 80 persen wilayah Pekalongan, Jawa Tengah, kemungkinan tenggelam.

Bahkan, beberapa tempat di wilayah 'kota batik' ini diperkirakan akan berada di antara 2,5 meter hingga 3 meter di bawah permukaan laut.

"Pada tahun 2035, tempat-tempat ini akan berada di antara 2,5m hingga 3m di bawah permukaan laut."

"Menurut simulasi (komputer) kami, 80 persen Pekalongan bisa berada di bawah permukaan laut pada tahun 2035," kata Andreas dikutip dari Channel News Asia.

Adapun penurunan tanah atau land subsidence di Pekalongan disebebkan oleh beberapa faktor, di antaranya penggunaan air tanah secara berlebihan.

Hal itu dapat menyebabkan endapan aluvial lunak memadat sehingga permukaan tanah turun.

"90 persen kebutuhan air Pekalongan dipasok dari pengambilan air tanah. Hal ini menyebabkan endapan aluvial lunak Pekalongan memadat dan akibatnya permukaannya tenggelam," jelas Andreas.

Baca juga: Petani Pekalongan Diimbau Ikut AUTP Sebelum Tanam untuk Antisipasi Cuaca Ekstrem

Diketahui, pemerintah setempat memang mendukung penggunaan air tanah.

Dukungan itu terlihat dari pembangunan lubang bor di seluruh wilayah Pekalongan untuk mengekstraksi air tanah dalam skala besar.

Air tanah tersebut digunakan untuk kebutuhan minum, industri natik, pertanian dan budidaya ikan serta hotel dan industri lainnya.

Sementara itu, penurunan tanah telah menyebabkan hilangnya garis pantai, ribuan hektar lahan pertanian dan pemukiman warga terendam air laut.

Menurut keteragan warga Pekalongan, Darwanto, ratusan rumah di Kecamatan Bandengan telah hancur akibat laut yang dulunya terletak 1,5 kilometer dari garis pantai.

"Dulu ada peternakan ikan dan sawah di daerah ini. Sekarang mereka telah menjadi terendam air. Ratusan rumah juga terkena dampaknya."

"Ketika banjir pasang datang, jalan dan rumah bisa tergenang air laut dengan kedalaman antara 30 sentimeter dan 1 meter," papar Darwanto.

Beberapa tempat di wilayah Pekalongan diperkirakan akan berada di antara 2,5 meter hingga 3 meter di bawah permukaan laut.

Darwanto mengatakan, banyak orang di lingkungannya telah pindah ke tempat lain dan meninggalkan rumah mereka.

Sedangkan sisanya tetap tinggal karena rumah yang masih layah huni atau karena tidak punya uang untuk membeli rumah baru.

"Orang-orang di sini mencoba pindah dan menjual rumahnya dengan harga murah, tapi tidak ada yang menginginkannya," ucap Darwanto.

Sementara di Dukuh Semonet, Desa Semut, Kecamatan Wonokerto, penurunan tanah menyebabkan desa tergenang air setinggi 1 meter.

Saat ini, satu-satunya cara untuk keluar masuk desa adalah melalui perjalanan singkat dengan perahu.

Lebih lanjut, Kepala Bappeda Pekalongan mengatakan, pihaknya telah berupaya membuang air yang menggenangi sejumlah wilayah.

Namun saat air genangan dipompa dan dialirkan ke sungai atau laut, air tersebut akan mengalir kembali ke daerah pemukiman dan jalan-jalan.

"Sungai juga menyempit karena sedimentasi, sehingga dua jam hujan sudah cukup untuk menggenangi sebagian kota," jelas Anita Heru Kusumorini.

Baca juga: Banjir di Kabupaten Pekalongan Sudah 2 Minggu Belum Surut

Anita menambahkan, Pekalongan berencana membangun tanggul laut untuk melindungi sekitar 290.000 penduduk.

Sistem pertahanan itu akan mencakup pembangunan stasiun pompa di muara aliran air terbesar dan paling rawan banjir di Pekalongan, Sungai Loji.

Untuk menghentikan orang-orang mengambil air tanah, kota ini juga berencana membangun waduk dan membuat jaringan perpipaan yang rumit untuk mendistribusikan air bersih.

Pihaknya juga berencana merelokasi masyarakat yang tinggal di bantaran sungai yang rawan banjir, membangun tanggul dan memperbaiki sistem drainase yang sudah tidak memadai lagi untuk mengatasi curah hujan yang ekstrim akibat perubahan iklim.

"Kami hanya dapat mengalokasikan 250 miliar rupiah setiap tahun untuk proyek infrastruktur. Ini tidak banyak. Makanya kami mengandalkan bantuan dari pemerintah pusat dan provinsi," papar Anita.

Pada 2019, lanjut Anita, pemerintah pusat menggelontorkan dana Rp 500 miliar untuk pembangunan tanggul laut sepanjang 2,3 kilometer.

Untuk sepenuhnya menghentikan air laut agar tidak merembes dan menenggelamkan kota, Pekalongan masih perlu membangun tanggul laut sepanjang 4 kilometer lagi.

"Kami ingin proyek-proyek ini segera dilaksanakan. Tetapi pemerintah pusat dan provinsi belum dapat memberi kami dana karena negara ini berfokus pada mitigasi Covid-19," ucap dia.

(Tribunnews.com/Rica Agustina)

Simak berita seputar Pekalongan lainnya di sini

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini