TRIBUNNEWS.COM ,SEMARANG - Masih ada beberapa warga yang belum bersedia melepas tanah miliknya untuk proyek Tol Semarang-Demak di Wonosalam karena belum cocok harga. Meski sudah beberapa kali dimediasi oleh Dewan.
Tribunjateng.com telah menemui pemilik lahan dan menggali alasan mendasar terkait keberatannya. Terutama masalah harga yang belum ada titik temu. Tim Appraisal menilai tanah tersebut seharga Rp 140 ribu per meter. Sedangkan warga minta harga Rp 250 ribu per meter. Sehingga belum sepakat.
Appraisal merupakan sebuah proses pemberian nilai berupa angka dan penaksiran atas benda nyata yang dilakukan melalui analisa oleh profesional. Satu di antara appraisal yang banyak menangani proyek di Jawa Tengah yakni, Toni dari PT Savero Artistica Utama.
Toni mengatakan seorang appraisal sudah memiliki standar penilaian Indonesia berdasarkan edisi 7 tahun 2018. Di dalamnya mencakup kodefikasi pengadaan tanah untuk kepentingan umum, salah satunya jalan tol.
"Jadi di buku itu, terdapat nomor kodefikasi 204 yang menilai tanah sesuai dengan pemanfaatannya. Tim appraisal biasanya akan melakukan penilaian berdasarkan kerugian fisik terlebih dahulu. Mencakup bentuk tanah, bangunan, lingkungan, dan lainnya. Baru kemudian menilai kerugian non fisiknya," ujarnya.
Apabila tanah tersebut berdiri sebuah bangunan berupa rumah tinggal, maka tim appraisal wajib menilai masa tinggal penghuninya. Hal itu didasarkan pada berita acara atau surat keterangan yang dikeluarkan oleh pihak kantor kelurahan setempat.
"Kalau misal tanah ada rumahnya itu sudah jelas dihitung kerugian fisiknya. Tapi masa tinggal penghuninya juga akan kami hitung. Nanti akan ada tambahan 30 persen. Apalagi di rumah itu ada tokonya, itu kami hitung juga berapa kerugian non fisiknya," terangnya.
Apabila kondisi tanah tanpa bangunan, tim appraisal juga akan tetap menilai asumsi kerugian non fisiknya. Kerugian non fisik timbul apabila pemilik tanah ingin membeli tanah di tempat lain dan muncul pajak tertanggung.
"Salah satunya pajak PPHTB sebesar 5 persen. Kalau misal harga tanah di atas Rp 60 juta, maka dikurangi 60 dikali 5 persen. Kemudian ada juga nilai kerugian terkait masa tunggu hingga tanah yang dibeli pemilik baru selesai prosesnya. Karena beli tanah kan tidak seperti beli gorengan. Harus melalui beberapa tahap, termasuk biaya notaris. Asumsinya 5 persen dari bunga deposito. Tapi setiap bank itu kan beda-beda," jelasnya.
Baca juga: Proyek Tol Semarang-Demak: Abdul Untung, Sukarman Buntung
Masa kerja tim appraisal hanya 38 hari kerja untuk menilai sebuah bidang tanah. Mereka melaksanakan tugas setelah peta bidang yang dikeluarkan oleh BPN setempat diserahkan. Setelah itu, penilaian ganti rugi akan diserahkan oleh pengadilan setempat.
"Berdasarkan kriteria yang diatur, seharusnya pemilik tanah tidak rugi. Tapi, karena ini bersifat manusiawi, kadang ada juga yang tidak setuju dengan hasil penilaian harga dari tim appraisal. Maka, pemilik tanah bisa mengajukan gugatan di pengadilan setempat. Nanti hakim yang akan menilai. Kalau tidak setuju, masih bisa mengajukan kasasi di Mahkamah Agung," tambah Toni.
Akses jalan, status kepemilikan, lingkungan, serta kebermanfaatan tanah juga akan menjadi penilaian tersendiri. Pemilik tanah yang memegang sertifikat atau hanya bermodal letter C tentu akan ada penilaian ganti rugi yang berbeda.
"Karena kalau letter C kan harus melalui beberapa tahap dulu. Lingkungan juga, kalau itu tambak ya semua deretan situ harganya sama. Tapi kalau tambak ada bangunanya, tentu nilai ganti ruginya berbeda," tegasnya.
Paling rumit bila itung tanah yang berdiri di atasnya sebuah tempat komersial, bisa toko, warung makan, atau lainnya. "Karena kalau misal pindah, pemilik pasti keberatan, bisa-bisa kehilangan ladang pendapatannya," tutupnya. (tim)