TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG - Sempat mogok akibat terus melambungnya harga bahan baku kedelai, para produsen tahu dan tempe akhirnya kembali berproduksi.
Agar bisa bertahan, mereka mengecilkan jumlah ukuran. Ada juga yang terpaksa mengurangi produksi karena tak sanggup membeli kedelai dalam jumlah biasa.
Dampaknya tentu berantai. Bukan saja pada pengurangan omzet, tapi juga pada serangkaian langkah efisiensi lainnya, termasuk pengurangan jumlah tenaga kerja.
Lantas, bagaimana kondisi para perajin tahu dan tempe itu hari-hari ini? Benarkah kenaikan harga kedelai bukanlah sesuatu yang sangat dikhawatirkan oleh para perajin tahu dan tempe? Lalu, apa yang sebenarnya mereka khawatirkan?
Berikut wawancara eksklusif jurnalis Tribun Jabar, Cipta Permana, dengan Ketua Pusat Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (Puskopti) Jawa Barat, Asep Nurdindi, di Kantor Puskopti Jabar, Jalan Soekarno-Hatta Nomor 651, Kota Bandung, Rabu (3/6).
Banyak yang belum mengetahui apa itu Puskopti dan apa kiprahnya selama ini. Bisa Anda jelaskan?
Selain ada di tingkat provinsi, Puskopti juga ada di kabupaten/kota. Di tingkat pusat namanya Gakoptindo atau Gabungan Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia.
Saat ini Puskopti Jabar telah membawahi 26 Puskopti di setiap kabupaten/kota, kecuali Kabupaten Pangandaran yang belum ada. Jumlah anggota yang aktif sebanyak 7.400 dari total lebih dari 10 ribu perajin tahu dan tempe di Jabar.
Pascamogok produksi pekan lalu, bagaimana kondisi para perajin tahu dan tempe hari-hari ini?
Aksi mogok produksi para perajin tahu tempe kemarin itu sebenarnya adalah pengumuman (dari para perajin tahu) bahwa akan terjadi penyesuaian harga jual tahu dan tempe maksimal 30 persen dari harga normal.
Kenaikan terpaksa mereka lakukan karena adanya kenaikan harga kedelai yang diimpor dari Amerika Serikat, yang dipicu adanya permintaan kedelai yang luar biasa dari Cina.
Lantas, bagaimana dengan kondisi stok kedelai saat ini di Tanah Air?
Kondisinya sebenarnya aman dan mencukupi untuk beberapa bulan ke depan.
Para perajin berencana menaikkan harga jual hingga 30 persen. Bagaimana realisasinya?
Seperti yang direncanakan, harga jual tetap dinaikkan, tapi tidak signifikan, hanya antara 10-20 persen dari sebelumnya.
Misalnya, biasa harga jual untuk satu papan tahu itu Rp 47 ribu, sekarang jadi Rp 50 ribu. Ada juga perajin yang tidak menaikkan harga, tapi menyesuaikan ukuran barang produksinya.
Hal yang dikhawatirkan para perajin tahu dan tempe sebenarnya bukan kenaikan kedelai. Hal yang lebih dikhawatirkan para perajin tahu dan tempe adalah turunnya harga komoditas lain yang strategis seperti telur, ikan, atau daging.
Sebab, bila harga komoditas itu turun cukup tajam hingga 30-40 persen atau lebih dari itu, para konsumen akan beralih memilih itu daripada tahu dan tempe. Inilah yang betul-betul lebih dikhawatirkan para perajin daripada hanya kenaikan harga kedelai.
Bila demikian, siapa yang diuntungkan dengan aksi mogok perajin tahun dan tempe kemarin?
Inilah yang jadi persolaan. Sebetulnya tidak ada pihak yang diuntungkan. Mungkin bagi produsen pabrikan besar yang mampu berproduksi tahu lebih dari 1 ton sehari cukup menguntungkan karena bisa menutupi biaya operasional.
Tapi bagi perajin kecil yang hanya mampu memproduksi di bawah 50 kilogram atau lima jirangan, situasi liburnya produksi cukup mengganggu mereka, terutama para buruh hariannya yang harus kehilangan penghasilannya.
Belum lagi, para perajin kecil pun harus dihadapkan pada situasi persaingan dagang dengan produk produsen pabrikan dalam mekanisme pasar.
Produsen pabrikan besar sudah mampu memproduksi tahu dengan kualitas lebih baik, seperti tahu sutra berkat teknologi mesin.
Sedangkan perajin kecil atau rumahan, untuk dapat memproduksi kualitas tahu yang sama, memerlukan biaya produksi yang sangat tinggi.
Oleh karena itu kami pun bingung dengan adanya aksi mogok kemarin, siapa sebenarnya yang diperjuangkan? Apakah produsen besar atau kecil? Makanya, pemerintah harus jeli dan fair dalam melihat fenomena ini sebelum menentukan kebijakan.
Adakah pembicaraan antara Puskopti dan Gakoptindo dengan pemerintah untuk menyikapi tinggiya harga kedelai impor ini?
Sebetulnya sebelum adanya aksi demo kemarin, telah ada rapat antara Puskopti, Gakoptindo bersama pemerintah di Dirjen Perdagangan Dalam Negeri.
Semua menyayangkan ada kenaikan harga kedelai ini. Dari hasil rapat tersebut, pemerintah menyepakati usulan dan telah mengumumkan hasilnya, diantaranya meminta para importir untuk membatasi kenaikan harga.
Akhirnya di sepakati kedelai menjadi Rp 10.300 kilogram. Pemerintah juga memastikan akan melakukan operasi pasar guna menstabilkan kenaikan harga kedelai dengan mendistribusikan 15 ribu ton kedelai selama tiga bulan.
Pemerintah juga mempersilakan para perajin untuk menaikan harga 20-30 persen ketimbang melakukan aksi mogok.
Apa yang diinginkan Puskopti sebenarnya?
Keinginan kami sebetulnya adalah pemerintah harus mampu memainkan perannya untuk mengatur dan menetapkan tata niaga perdagangan dalam negeri yang lebih baik, sehingga tidak terjadi lagi fluktuasi harga seperti saat ini di kemudian hari.
Pemerintah atau negara harus hadir karena situasi ini menyangkut hajat hidup orang banyak.
Kami juga menginginkan agar pemerintah mampu mendorong dan memfasilitasi para petani kedelai untuk dapat memproduksi kedelai lokal, agar Indonesia sebagai negara agraris tidak terus menerus mengimpor kedelai dari luar negeri, karena yang terjadi saat ini 90 persen kedelai yang ada di kita itu masih impor.
Tapi keinginan tersebut, tampaknya masih ditanggapi dingin oleh pemerintah. (*)