TRIBUNNEWS.COM, BANDAR LAMPUNG - MUKTAMAR ke-34 Nahdlatul Ulama di Lampung, 22-24 Desember 2021, telah usai. Rais Aam PBNU dan Ketua Umum PBNU 2021-2026 sudah terpilih. Muktamar itu berlangsung lancar tanpa kendala berarti. Namun, tak banyak yang tahu, beragam kisah seru di balik pelaksanaan muktamar tersebut.
Masyarakat awam hanya tahu bahwa pemilihan Ketua Umum PBNU dilakukan secara voting dalam dua putaran yang dimenangkan oleh KH Yahya Cholil Staquf pada Jumat (24/12) pagi. Dalam prosesnya, sebelum dan selama pemilihan berlangsung, terjadi tarik menarik yang kuat di antara kedua kubu.
Lokasi muktamar di Pesantren Darussa’adah, Lampung Tengah, sesungguhnya tak menyenangkan semua pihak. Untuk jadi lokasi pembukaan pada Rabu (22/12), tak jadi masalah besar. Semua pihak bisa menerima di tempat itu nantinya akan hadir Presiden Jokowi dan Wapres Ma’ruf Amin.
Tapi, Sidang Pleno IV direncanakan digelar di lokasi tersebut. Sidang terakhir itu sangat urgen, karena terkait pemilihan AHWA, musyawarah mufakat untuk menetapkan rais aam, dan pemilihan ketua umum. Setiap kubu pasti punya strategi tersendiri, yang mungkin ketika pemilihan ketua umum dilakukan di Lampung Tengah, tidak bisa berjalan dengan baik.
Itu sebabnya, dalam sidang muktamar, muncul desakan kuat agar lokasi Sidang Pleno IV dipindahkan dari Lampung Tengah. Perdebatan mengenai hal ini cukup alot, meski akhirnya disepakati lokasi sidang benar-benar dipindahkan ke Kota Bandar Lampung. Belakangan, GSG Universitas Lampung akhirnya ditetapkan menjadi lokasi pemilihan.
Seperti pada munas atau muktamar berbagai organisasi, pembahasan alot menjelang pemilihan adalah pembahasan tata tertib. Kedua kubu pasti berusaha menggolkan tatib yang menguntungkan pihaknya. Termasuk mengkritisi berbagai kemungkinan munculnya celah yang bisa dimanfaatkan kubu lawan.
Syaifullah Yusuf atau Gus Ipul, saat konferensi pers mendampingi Gus Yahya di Hotel Novotel, Selasa (21/12), mewanti-wanti panitia agar jangan ada yang mencoba bermain, terutama dalam hal verifikasi peserta. Jangan sampai peserta yang memiliki SK ilegal menjadi peserta yang memiliki hak suara.
Sidang pertama yang membahas tatib pada Rabu (22/12) malam pun sempat ricuh ketika membahas soal peserta tidak sah ini. Interupsi yang dilakukan peserta membuat suasana menjadi panas, namun tidak berkepanjangan karena sidang langsung diskors. Wartawan juga langsung dibatasi sehingga perkembangan pembahasan tatib tidak terliput dengan baik.
Di tengah berlangsungnya sidang-sidang muktamar itu, tarik menarik suara atara kubu Said Aqil dan Gus Yahya semakin panas. Kubu Gus Yahya tetap optimistis bisa mendapatkan 447 suara, meski diprediksi akan berkurang sedikit setelah digerus kubu lawan.
Klaim 447 suara seperti yang disampaikan Syaifullah Yusuf dari kubu Gus Yahya, ditepis oleh Amin Nasution, Sekretaris Tim Kerja Said Aqil. “Menghitungnya bagaimana,” kata Amin. Dia pun memunculkan angka-angka optimisme kubunya, yakni Said Aqil didukung oleh 21 PWNU dan 399 PCNU. Artinya, kubu Said Agil di atas kertas dapat 420 suara.
Konstelasi sempat sedikit berubah ketika muncul nama As’ad Said Ali, mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), yang juga pernah menjabat Wakil Ketua Umum PBNU. Kasak-kusuk yang muncul di kalangan peserta, As’ad mendapat sokongan dari beberapa kelompok kuat dan mencoba membuat celah dengan menempatkan diri sebagai pihak netral di antara kedua kubu.
Pada Kamis (23/12) malam, sudah mulai digelar pemilihan rais aam. Saat itu, KH Miftachul Akhyar menjabat Pj Rais Aam PBNU. Pada 2018, ia menggantikan Ma’ruf Amin yang maju menjadi calon presiden.
Mekanisme pemilihan rais aam ini dilakukan secara musyawarah mufakat oleh 9 kiai sepuh atau AHWA. Nah, AHWA itu sendiri dipilih oleh para peserta dari 505 cabang dan juga suara dari PWNU.
Nama-nama yang terpilih jadi AHWA sejatinya sudah menunjukkan kekuatan para calon. Sebab, AHWA dipilih berdasarkan suara terbanyak dari pemilik suara. Komposisi AHWA yang terpilih sebanyak 9 orang menunjukkan bahwa kubu Gus Yahya berada di atas angin.
Itu terbukti kemudian ketika AHWA bermusyawarah untuk menentukan rais aam. Tanpa banyak perdebatan, Miftachul Akhyar akhirnya terpilih menjadi Rais Aam PBNU 2021-2026. Kiai Miftach sebagai rais aam memang sudah menjadi skenario awal dari kubu Gus Yahya. Sedangkan kubu Said Aqil kabarnya menjagokan nama lain yang tak terpilih jadi AHWA.
Setelah rais aam terpilih, selanjutnya dilakukan pemilihan ketua umum. Mekanismenya, dilakukan dua putaran. Putaran pertama untuk memilih calon, yakni yang mendapatkan minimal 99 suara. Calon yang terpilih akan diserahkan ke rais aam, apakah ada yang ditolak atau tidak, atau langsung dilanjutkan ke putaran kedua.
Pada putaran pertama, peta kekuatan calon sudah terbentuk. Seperti tercermin dari pemilihan AHWA, Gus Yahya meraih suara terbanyak yakni 327 suara. Sedangkan Said Aqil meraih 203 suara. As’ad Said yang sempat dikhawatirkan akan mengubah konstelasi, hanya mendapat 17 suara, lalu KH Mustamar 2 suara, Ramadhan Bayo 1 suara.
Dengan demikian, hanya ada dua calon yang akan lanjut ke putaran kedua, yakni Gus Yahya dan Said Aqil. Jika mengacu pada hasil putaran pertama, pemilihan hampir pasti akan dimenangkan oleh Gus Yahya. Namun, seperti diakui salah seorang tim Gus Yahya, ada kekhawatiran suara mereka akan lari ke Said Aqil. Ia pun mengungkap banyak intrik yang berjalan di arena muktamar.
Untungnya, kata tim Gus Yahya tadi, proses dari putaran pertama ke putaran kedua tidak memakan jeda waktu yang lama. Demikian pula, sinyal komunikasi di arena muktamar yang dihadiri Wakil Presiden Ma’ruf Amin, di-jammed. Sedikitnya tiga mobil yang memiliki peralatan pengacau sinyal ponsel berada di lokasi muktamar. Komunikasi digital dengan peserta, terutama dengan pihak luar, hampir tidak ada.
Pada akhirnya, hasil putaran kedua menunjukkan, suara untuk Gus Yahya dari putaran pertama tidak ada yang lari, bahkan ketambahan 10 suara menjadi 337 suara. Sedangkan Said Aqil juga ketambahan 7 suara sehingga menjadi 210 suara. Gus Yahya pun terpilih menjadi Ketua Umum PBNU 2021-2026.
“Sejujurnya, suara kami tergerus sekitar 100 suara,” kata salah seorang tim Gus Yahya. Ia menduga ada peserta yang sebelumnya sudah berkomitmen berhasil dipengaruhi oleh kubu lawan.
Kubu Said Aqil pun mengaku suaranya tergerus banyak. “Kalau hitung-hitungan awal kami bisa mendapatkan sekitar 400 suara,” ujarnya.
Apakah ada praktik money politics? Isu yang bergulir memang ada kabar seperti itu, misalnya satu suara Rp 50 juta bahkan Rp 100 juta, namun sangat sulit untuk membuktikannya. Cerita money politics yang sama selalu muncul di momen munas atau muktamar organisasi manapun.(*/bersambung)
BACA BESOK: Kenapa Gus Yahya memilih Bukit Mas sebagai posko tim? Apa pula hubungannya dengan tokoh Lampung Thomas Azis Riska, pemilik Bukit Mas? Sejauh mana kedekatan mereka?