Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengungkap kasus mafia tanah yang diduga ingin mencaplok lahan PTPN II di Deli Serdang.
Luas tanah PTPN yang diduga hendak dicaplok oleh mafia tanah tersebut mencapai 464 hektar.
Potensi kerugian negara yang ditaksir akibat hal tersebut mencapai Rp1,7 triliun.
Mahfud mengatakan berdasarkan data BPN tanah tersebut dimiliki oleh PTPN II dan tidak pernah dialihkan ke pihak manapun.
Kemudian, kata dia, tiba-tiba terdapat Putusan Perdata PK MA RI Nomor: 508 PK/Pdt/2015 jo. Putusan PN Lubuk Pakam 05/Pdt.G/2011 yang menyatakan bahwa bagian HGU Nomor 62/Penara seluas 464 Hektar merupakan milk masyarakat sebanyak 234 orang selaku Penggugat.
Dokumen yang dijadikan alas hak mereka dalam putusan tersebut berupa Surat Keterangan tentang Pembagian dan Penerimaan Tanah Sawah/Ladang Tanggal 20 Desember 1953 yang merupakan aset PTPN II berdasarkan Sertipikat HGU Nomor 62/Penara seluas 533,02 Hektar.
Baca juga: Panja Mafia Tanah DPR Minta Kapolri Evaluasi Penanganan Konflik Agraria di Riau
"Kita baru tahu tahun 2019 sesudah para penggugat berjumlah 234 orang itu minta eksekusi. Ketika diminta eksekusi barulah kita nanya ke BPN. Bahwa tanah itu sejak dulu milik PTPB dan belum pernah ada perubahan, kok tiba-tiba menang di pengadilan," kata Mahfud saat konferensi pers di kantor Kemenko Polhukam Jakarta pada Selasa (18/7/2023).
"Itulah sebabnya kita menolak dulu eksekusi karena kemudian kita menemukan indikasi tindak pidana," sambung dia.
PTPN II telah menemukan bukti pemalsuan terkait Surat Keterangan tentang Pembagian dan Penerimaan Tanah Sawah/Ladang Tanggal 20 Desember 1953 yang digunakan masyarakat sebagai alas hak atas tanah tersebut.
Bukti pemalsuan itu kemudian telah diajukan pada proses gugatan perdata tersebut.
"Bahwa para penggugat itu diduga kuat menggunakan surat keterangan palsu, antara lain karena surat keterangan kepemilikan orang atas nama orang yang menumpang di atas tanah PTPN HGU resmi, itu surat keterangan kepemilikannya atau pelimpahan dan pemberian lahannya itu, itu dibuat tahun 1953," kata dia.
Sejumlah hal yang diindikasikan sebagai pemalsuan tersebut, kata Mahfud, di antaranya karena ditemukan tanda tangan pemberi pelimpahan tanah atas nama gubernur tidak identik.
Kedua, kata Mahfud, di dokumen tersebut ada ejaan yang aneh karena seharusnya sejak dulu tertulis Tandjoeng Morawa sedangkan dalam surat keterangan yang diduga palsu ditulis Tanjung Merawa dengan ejaan baru.
Ejaan Tanjung tersebut, kata dia, seharusnya baru pada tahun 1973.
Atas indikasi pemalsuan dokumen tersebut, kata dia, pemerintah kemudian membawa kasus tersebut ke ranah pidana dengan tersangka bernama Murachman.
Selain itu, kata dia, di depan pengadilan para saksi atau terdakwa sekali pun mengakui bahwa mereka tidak pernah punya tanah itu dan tidak pernah melihat tanah aslinya.
Mereka, kata Mahfud, mengaku hanya dibisiki oleh temannya.
Baca juga: Polda Metro Jaya Bongkar Kasus Mafia Tanah di Jakarta Utara, 3 Orang Jadi Tersangka
"Dan para penggugat pun merasa tidak tahu tanah itu di mana, yang 234 orang itu tidak tahu tanahnya di mana, dia tahu apa tidak," kata dia.
Kemudian pada 27 Juni 2023, terbit Putusan PN Lubuk Pakam Nomor: 471/Pid.B/2023/PN.Lbp yang menyatakan bahwa terdakwa Murachman tidak terbukti melakukan tindak pidana pemalsuan Surat Keterangan tentang Pembagian dan Penerimaan Tanah Sawah/Ladang tanggal 20 Desember 1953.
Atas Putusan PN Lubuk Pakam tersebut, Jaksa Penuntut Umum telah mengajukan kasasi pada 6 Juli 2023, karena terbuktinya tindak pidana pemalsuan surat yang menjadi alas hak tersebut.
Berdasarkan catatan Kemenko Polhukam, pada Putusan Pidana tersebut dua anggota Majelis Hakim menyatakan dissenting opinion dengan sejumlah pertimbangan.
Pertama, lahan perkebunan seharusya disebutkan sebagai komoditi karet, namun dalam Surat Keterangan tentang Pembagian dan Penerimaan Tanah Sawah/Ladang tanggal 20 Desember 1953 dituliskan sebagai komoditi tembakau.
Kedua, terdapat Kesalahan penulisan lokasi perkebunan di Kecamatan "Tanjung Merawa", seharusya penulisan pada Tahun 1953 adalah "Tandjong Morawa", sekarang penulisannya menjadi "Tanjung Morawa" dan tidak pernah "Tanjung Merawa".
Ketiga, terdapat kesalahan penulisan Tanggal 20 December 1953, sedangkan tulisan yang seharusnya ditulis 20 Desember 1953.
Keempat, Surat Keterangan Tentang Pembagian Dan Penerimaan Tana Sawah/Ladang dibuat dan ditandatangani ole Gubernur Kepala Daerah Propinsi Sumatera Utara u.b Residen/Kepala Kantor Penjelenggaraan Pembagian Tanah u.b Bupati DP pada tanggal 20 Desember 1953, yang jatuh pada hari Minggu dan dibubuhi materai.
Padahal, Surat Dinas tidak pernah dikeluarkan pada hari libur dan tidak pernah dibubuhi materai.
Kemudian, berdasarkan catatan Kemenko Polhukam pada 27 Juni 2023, terbit Putusan PN Lubuk Pakam Nomor: 471/Pid.B/2023/PN.Lbp yang menyatakan bahwa terdakwa Murachman tidak terbukti melakukan tindak pidana pemalsuan Surat Keterangan tentang Pembagian dan Penerimaan Tanah Sawah/Ladang Tanggal 20 Desember 1953.
"Sehingga kita terus merasa ini harus dipersoalkan sampai final ke Putusan Pengadilan di tingkat kasasi untuk menyelematkan harta negara," kata Mahfud.
Pemerintah terus berupaya semaksimal mungkin dalam upaya hukum kasasi terkait proses hukum pidana karena apabila tindak pidana pemalsuan surat (Surat Keterangan Tentang Pembagian Dan Penerimaan Tanah Sawah/Ladang) terbukti, maka akan menjadi novum yang diharapkan dapat mengubah putusan dalam proses hukum perdata.
Mahfud menegaskan praktik tersebut merupakan bagian dari mafia tanah sehingga, kata dia, pemerintah harus memberi contoh bagaimana caranya menghadapi mafia tanah.
"Iya (ini praktik) mafia tanah, dan mafia tanah banyak sekali sehingga kita harus memberi contoh bagaimana caranya menghadapi mafia tanah itu. Ini bagian dari mafia tanah, jelas sekali mafia tanah," kata Mahfud.
Sebelum konferensi pers, Mahfud dan sejumlah pejabat pemerintahan serta beberapa guru besar dari empat universitas juga telah melakukan bedah kasus di Kemenko Polhukam.