TRIBUNNEWS.COM - Penolakan mengenai pasal-pasal Pengamanan Zat Adiktif dalam Rancangan Peraturan Pemerintah yang merupakan aturan turunan Undang-Undang Kesehatan (RPP Kesehatan) terus terjadi.
Penolakan terbaru datang dari Asosiasi Koperasi dan Ritel Indonesia atau AKRINDO.
AKRINDO kecewa karena pasal-pasal Pengamanan Zat Adiktif dalam Rancangan Peraturan Pemerintah yang merupakan aturan turunan Undang-Undang Kesehatan (RPP Kesehatan) itu, mengarah pada berbagai pelarangan terkait produk tembakau.
AKRINDO mengkhawatirkan ketentuan dalam RPP Kesehatan, yang antara lain mengatur tentang larangan menjual rokok secara eceran, larangan pemajangan produk tembakau, serta larangan menjual produk tembakau melalui platform digital.
"Peraturan ini jelas bentuknya mau mematikan mata pencaharian pedagang kecil, ultramikro, pedagang tradisional yang mana produk tembakau selama ini menjadi salah satu tumpuan perputaran ekonomi kami. Rokok adalah produk legal, tapi pengaturannya sangat tidak adil, diskriminatif, kami pedagang seolah-olah diposisikan menjual barang terlarang," tegas Anang Zunaedi, Wakil Ketua Umum DPP AKRINDO melalui rilis yang diterima Tribunnews, Kamis (29/11).
Anang berharap, pemerintah dapat melibatkan elemen pedagang dalam penyusunannya agar tercipta peraturan yang adil dan berimbang.
Baca juga: Sumedang Jadi Kekuatan Baru IHT, Petani Jabar Tolak Pasal Pertembakauan RPP Kesehatan
Untuk diketahui, AKRINDO lahir sebagai wadah gerakan koperasi di bidang usaha ritel yang didirikan pada 2010 saat ini menaungi sekitar 900 koperasi ritel dan 1.050 toko tradisional di Jawa Timur.
Anang menekankan bahwa berbagai larangan terkait produk tembakau dalam RPP Kesehatan sangat kontradiktif dengan perjuangan pedagang kecil dan pelaku UMKM untuk dapat terus maju dan berkembang.
"Sangat perlu diperhatikan bahwa 84 persen pedagang merasakan bahwa penjualan produk tembakau berkontribusi signifikan (lebih dari 50%) dari total penjualan barang seluruhnya."
"Juga harap dicatat bahwa penjualan rokok secara eceran merupakan salah satu komoditas yang perputarannya cepat untuk pemasukan toko. Pada akhirnya turut mendorong sirkulasi penjualan barang lainnya seperti makanan dan minuman," paparnya.
Begitupun dengan larangan pemajangan produk. Dorongan peraturan ini, lanjut Anang, sangat memukul bagi para pelaku UMKM.
"Bagaimana bisa kami melakukan penjualan, jika pada akhirnya kami dilarang memajang produk? Bagaimana bisa kami berkomunikasi dengan konsumen, jika kami dilarang mencantumkan informasi terkait produk?” ujar Anang.
Baca juga: Jaga Iklim Usaha IHT, Kemenperin Siap Kawal Penyusunan RPP Kesehatan
Anang berharap pemerintah lebih peka terhadap realita yang terjadi di lapangan. Bahwa saat ini para pedagang kecil, ultramikro, pedagang kelontong (tradisional) berupaya sekuat tenaga untuk bisa terus bertahan dan berdaya saing.
"Bagaimana para pekerja di sektor informal ini dapat bertahan dan tumbuh jika peraturan yang ada justru tidak melindungi kami? Ketika negara belum mampu menyediakan lapangan kerja formal, sektor usaha ini justru tetap mampu menggerakkan ekonomi kerakyatan. Sangat banyak tekanan dan tantangan yang kami hadapi, yang dibebankan kepada sumber mata pencaharian anggota kami," ucapnya.
AKRINDO mengharapkan bahwa pemerintah mendengarkan masukan dari pedagang yang terdampak dari pengaturan dalam RPP Kesehatan.
“AKRINDO telah bersurat kepada Presiden dan kementerian untuk menyampaikan penolakan terhadap pasal-pasal pertembakauan di RPP Kesehatan. Kami adalah pelaku sektor ekonomi kerakyatan yang sedang memperjuangkan hak hidupnya dan kepastian kelangsungan usahanya. Kami berharap pemerintah mempertimbangkan masukan kami,” tutupnya. (*)