News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Viral Pendatang Baru di Bantul Diminta RT Iuran Rp1,5 Juta untuk Biaya Admin, Sekda DIY: Harus Rinci

Penulis: Isti Prasetya
Editor: Sri Juliati
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sebuah unggahan warganet yang mengeluhkan diminta RT iuran sebesar Rp1,5 juta saat pindah domisili menjadi viral di media sosial.

TRIBUNNEWS.COM - Sebuah unggahan X (Twitter) dari warganet yang mengeluhkan besaran iuran pindah domisili ke DI Yogyakarta menjadi viral media sosial.

Dia mengaku diminta iuran sebesar Rp 1,5 juta oleh RT setempat untuk biaya administrasi menjadi warga Kalurahan Bangunjiwo, Kapanewon Kasihan, Kabupaten Bantul.

Dia menceritakan, awalnya dirinya pindah dari Kota Yogyakarta ke Kalurahan Bangunjiwo sekitar tiga bulan yang lalu.

Karena kesibukan, ia belum sempat mengurus surat pindah dan berkas apapun ke perangkat RT.

Namun, dia merasa janggal lantaran tidak ada penjelasan secara rinci iuran Rp 1,5 juta itu diperuntukkan untuk apa serta pengelolaannya untuk apa.

Dia lantas mempertanyakan, apakah iuran dengan nominal tersebut wajar di lingkungan sekitar.

Keluhan tersebut menjadi viral setelah diunggah oleh akun X @merapi_uncover pada Minggu (21/7/2024).

Hingga artikel ditulis, cuitan tersebut telah mendapatkan 160 ribu penayangan.

Disebut kearifan lokal

Terkait pungutan yang terjadi di Kalurahan Bangunjiwo, Kepala Ombudsman RI Perwakilan DIY, Budhi Masturi memberikan tanggapan.

Menurutnya, segala bentuk pungutan atau iuran apapun harus berdasar hukum atau ketentuan yang berlaku.

Baca juga: Viral Video Anggota DPRD Bima Ancam Polisi Gegara Tak Terima Ditilang, STNK-SIM Mati dan Pajak Telat

"Kalau nggak ada dasar pungutannya patut dipertanyakan. Istilah umumnya itu pungli (pungutan liar), tapi dalam hal ini pungutan nggak berdasar hukum lah," katanya, saat dihubungi Senin (22/7/2024), dikutip dari TribunJogja.com.

Meski pihak Kalurahan dan RT setempat mengklaim bahwa pungutan tersebut dalam rangka kearifan lokal, tapi hal ini tidak dibenarkan oleh Budhi Masturi.

"Namanya pungutan nggak bisa kearifan lokal. Kearifan lokal itu sumbangan sukarela, itu kearifan lokal. Pungutan mana ada kearifan lokal," tegas Budhi.

Melihat fakta yang terjadi, ia menyarankan Pemda DIY atau Pemkab setempat segera melakukan penertiban dan penataan.

Pasalnya, Ombudsman RI perwakilan DIY mendengar kabar pungutan semacam ini bukan yang pertama kalinya.

Mereka pernah mendapat laporan serupa dimana seorang warga pendatang dimintai iuran ketika hendak membangun rumah.

Namun pertanggungjawaban dari uang iuran tersebut tidak dijelaskan secara pasti.

Baca juga: Viral Video Evakuasi Dramatis Driver Ojol di Medan yang Tertimbun Aspal dari Truk Terguling

"Itu ada dulu yang lapor ke kami. Pendatang bikin rumah bayar sampai Rp1 juta dikali luas tanah. Itu warga mau lapor takut berisiko karena dia tinggal di situ. Akhirnya cuma menginformasikan saja," terang dia.

Apabila penarikan iuran semacam ini sudah terlalu meresahkan bagi masyarakat, Budhi meminta Pemda DIY harus melakukan tindakan.

"Saya kira kalau ini pada tahapan meresahkan terutama warga pendatang, pemerintah perlu mengaturnya dalam artian menegaskan pelarangannya. Atau kalau mau diatur, sekalian diatur jadi jelas pertanggungjawabannya. Nanti ada uji publiknya masyarakat menerima atau tidak," pungkasnya.

Harus dirinci

Senada dengan Budhi Masturi, Sekretaris Daerah (Sekda) DIY, Beny Suharsono turut merespons.

Menurut Beny, pungutan yang diambil oleh pemerintah desa kepada masyarakat seharusnya dijelaskan secara rinci.

“Di desa ada retribusi itu ada tarifnya sebab pelayanan publik itu ada SOP-nya. Kalau itu menyangkut retribusi ada tarifnya, kalau menyangkut pajak itu ada penetapan besaran pajaknya,” ujar Beny, Senin (22/7/2024), dikutip Kompas.com.

Baca juga: 4 Fakta Viral Embun Es di Puncak Gunung Merbabu, Penyebab hingga Imbauan untuk Para Pendaki

Beny menyebut, biasanya patungan dari masyarakat sudah melalui kesepakatan bersama untuk dapat membangun fasilitas umum di wilayah setempat.

Menurutnya, warga sebenarnya bukan tak mau membayar tapi memang perlu penjelasan soal adanya pungutan tersebut.

“Bukan lalu mau tidak mau bayar. Jadi kearifan lokal harus dijelaskan. Mungkin butuh penjelasan lebih detail iuran apapun namanya kepada warga yang rencana pindah ke Bangunjiwo,” imbuh dia.

Namun, Beny juga tidak bisa memastikan apakah kasus ini termasuk pungutan liar atau tidak.

Sebab, belum diketahui apakah aturan tersebut sudah melalui kesepakatan warga atau belum.

“Memungut pajak kan harus jelas masuk sekian dikembalikan sekian. Saya belum bisa menyebut ini pungli atau tidak,” imbuh dia.

Baca juga: Pria di Sumsel Bunuh Bos Toko Material: Pelaku Marah karena Utangnya Rp200 Juta Sering Ditagih

Penjelasan Lurah Bangunjiwo

Berkaitan dengan hal ini, Lurah Bangunjiwo, Pardja mengatakan, adanya miskomunikasi antara warga baru dan pihak RT.

Menurut Pardja, ada beberapa barang inventaris di RT seperti tenda, kursi, dan balai RT yang dibangun warga sebelumnya.

Kata dia, biaya pembangunan dan kepemilikan aset itu dibagi dengan jumlah warga yang menetap di RT tersebut.

Sehingga, jika ada warga baru yang masuk maka ikut menyumbang kepemilikan aset RT dengan besaran uang dibagi antara jumlah aset dengan warga.

"Kalau dia itu mau sama seperti warga lama (memiliki inventaris) maka istilahnya mengganti pembelian barang seperti warga lain. Maka, dia memiliki fasilitas yang sama dengan warga lainnya," kata Pardja saat dihubungi melalui telepon, Senin (22/7/2024).

"Jika tidak mau tidak apa-apa, dia tetap tercatat warga RT, tetapi tidak memiliki investaris. Jadi tidak dipungut sekian untuk Pak RT, bukan," sambungnya.

Sebagian artikel ini telah tayang di TribunJogja.com dengan judul VIRAL Pungutan Rp1,5 Juta untuk Pendatang di Bangunjiwo Bantul, Ini Respon Ombudsman RI DIY

(Tribunnews.com/Isti Prasetya, TribunJogja.com/Miftahul Huda, Kompas.com/Wisang Seto Pangaribowo)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini