TRIBUNNEWS.COM - Polda Nusa Tenggara Timur (NTT) membantah pemecatan Ipda Rudy Soik terkait dengan mafia bahan bakar minyak (BBM) di Kota Kupang.
"Pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) yang dilakukan terhadap Ipda Rudy Soik tidak ada kaitannya dengan Mafia BBM," kata Kabid Humas Polda NTT, Kombes Pol Ariasandy, Minggu (13/10/2024), dilansir Kompas.com.
Ariasandy menuturkan, pemecatan Rudy Soik terkait dengan laporan polisi yang masuk selama dua bulan terakhir.
Laporan itu, kata Ariasandy, diproses oleh Bidang Propam Polda NTT.
"Ini terkait dengan tujuh laporan polisi yang masuk ke Bidang Propam Polda NTT dalam kurun waktu dua bulan terakhir," terangnya.
Ariasandy membeberkan, tujuh laporan terhadap Rudy Soik tersebut diawali operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Paminal Polda NTT terhadap Ipda Rudy Soik bersama tiga anggota Polri lainnya.
Ketiganya yakni, AKP Yohanes Suhardi (YS), Ipda Lusiana Lado (LL) dan Brigpol Jean E.
OTT itu dilakukan pada 25 Juni 2024.
Saat OTT, mereka bersama Reke (JER) yang berstatus istri orang di sebuah tempat hiburan.
Padahal, saat itu, jam dinas masih berlangsung.
Dari OTT tersebut, anggota Paminal Polda NTT membuat laporan polisi dengan nomor LP-A/49/VI/HUK.12.10./2024/Yanduan tanggal 27 Juni 2024.
Baca juga: Propam Polda NTT Buka Suara soal Pemecatan Ipda Rudy Soik Diduga Karena Ungkap Mafia BBM
Berdasarkan laporan tersebut dilakukan serangkaian proses penyelidikan dan penyidikan.
Atas pelanggaran tersebut, Rudy Soik mendapat sanksi penempatan pada tempat khusus selama 14 hari.
Selain itu, mutasi bersifat demosi selama tiga tahun keluar wilayah Polda NTT.
Ariasandy menyebut, putusan ini berdasarkan Sidang Kode Etik Profesi Polri Nomor: PUT/34/VIII/2024 tanggal 28 Agustus 2024.
Sanksi demosi selama tiga tahun itu diputuskan karena sebelumnya Rudy Soik pernah melakukan pelanggaran dan menjalani empat kali sidang disiplin dan kode etik pada tahun 2015 dan 2017.
Atas putusan tersebut, Rudy Soik mengajukan banding sehingga dia tidak melaksanakan sanksi tersebut.
Dari proses sidang banding, diputuskan Komisi Banding dengan hasil putusan sidang Banding Komisi Kode Etik Polri Nomor: PUT/06/X/2024/Kom Banding tanggal 9 Oktober 2024.
Isinya, menjatuhkan sanksi dari putusan Komisi Kode Etik Polri menambah putusan sanksi berupa mutasi bersifat demosi selama lima tahun terhadap putusan Sidang KKEP Nomor: PUT/34/VIII/2024 tanggal 28 Agustus 2024.
Adapun hal-hal yang memberatkan Rudy Soik adalah berbelit-belit dalam memberikan keterangan saat persidangan.
"Pada saat perbuatan terjadi dilakukan secara sadar dan menyadari merupakan norma larangan yang ada pada aturan Kode Etik Polri," urainya.
Selain itu, Rudy Soik pernah melakukan pelanggaran disiplin Polri yang telah mempunyai Skep hukuman disiplin yaitu tahun 2015.
Adapun pelanggaran yang dilakukan Rudy Soik di antaranya, penyalahgunaan wewenang serta memfitnah atasan.
Kemudian, melakukan pungutan liar serta penganiayaan. Tiga pelanggaran ini terjadi pada 2015.
Lalu pada 2017, pelanggaran disiplin berupa menurunkan citra Polri.
Baca juga: Propam Polri Asistensi Kasus Ipda Rudy Soik yang Dipecat Karena Ungkap Mafia BBM
Pada Juni 2024, Rudy Soik dilaporkan atas kasus fitnah atau pencemaran nama baik.
Kasus selanjutnya yang dilakukan Rudy Soik yakni meninggalkan tempat tugas keluar wilayah hukum Polda NTT tanpa izin dari pimpinan atau atasan yang berwenang.
Kemudian, Rudy Soik kembali melakukan pelanggaran dengan tidak melaksanakan tugas atau mangkir dari dinas selama tiga hari secara berturut-turut.
Terbaru yakni terkait kasus penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan Rudy Soik.
Adapun yang dilakukan Rudy Soik yakni dengan perbuatannya saat melakukan penyelidikan dugaan penyalahgunaan BBM melakukan pemasangan garis polisi di dua lokasi milik Ahmad Anshar dan Algajali Munandar.
Padahal, kata Ariasandy, di lokasi tersebut tidak ada kejadian tindak pidana dan barang bukti.
Selain itu, dalam proses penyelidikan tersebut, Rudy Soik tidak dapat menunjukkan administrasi penyelidikan sesuai dengan standar operasional prosedur penyelidikan.
Sebelumnya, Ariasandy membenarkan terkait sanksi PTDH terhadap Rudy Soik.
Ariasandy menuturkan, Sidang Komisi Kode Etik Polri terhadap Rudy Soik digelar di Ruang Direktorat Tahti Lantai II Polda NTT, Jumat.
Ketika dikonfirmasi Pos-Kupang.com, Ariasandy mengungkapkan, sidang berlangsung selama tujuh jam, dimulai pukul 10.00 WITA.
Ariasandy menjelaskan, Rudy Soik melakukan pelanggaran Kode Etik Profesional Polri berupa ketidakprofesionalan dalam penyelidikan dugaan penyalahgunaan BBM dengan cara melakukan pemasangan police line di lokasi milik Ahmad Anshar dan Al Ghazali Munandar.
Adapun pasal yang dilanggar, Pasal 13 Ayat 1, Pasal 14 (1) huruf B Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang pemberhentian Anggota Polri juncto Pasal 5 Ayat (1) huruf b,c Pasal 10 Ayat (1) huruf A Angka (1) dan huruf D Perpol 7 Tahun 2002 tentang Kode Etik Profesi Polri dan Komisi Kode Etik Polri.
"Sidang dilanjutkan pada Jumat tanggal 11 Oktober 2024 pukul 08.00 WITA dengan agenda pembacaan tuntutan, pembelaan (pledoi)."
"Berdasarkan putusan Sidang Komisi Kode Etik Polri Nomor: PUT/38/X/2024 tanggal 11 Oktober 2024, menjatuhkan sanksi administrasi berupa PTDH dari dinas Polri," jelas Ariasandy.
Baca juga: Anggap Pemecatan Ipda Rudy Soik Berlebihan, IPW Minta Kapolri Turun Tangan
Rudy Soik soal Pemecatannya: Hal Menjijikkan
Sementara itu, Rudy Soik mengaku terkejut dengan keputusan tersebut.
Padahal, menurutnya, penyelidikan itu dilakukan atas perintah pimpinannya yakni Kapolres Kupang Kota, Kombes Pol Aldinan Manurung.
Ia pun menilai pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) dirinya ini sebagai hal yang menjijikkan.
"Bagi saya keputusan PTDH ini sesuatu yang menjijikkan," kata Rudy kepada sejumlah wartawan di kediamannya, Jumat (11/10/2024) malam, dilansir Kompas.com.
Bahkan, Rudy Soik mengaku selalu ditekan ketika menghadiri persidangan.
Dia juga tak diberi kesempatan untuk menjelaskan rangkaian penyelidikan kasus mafia BBM yang berujung pemasangan garis polisi.
Sementara itu, sidang kode etik dengan agenda pembacaan tuntutan dan putusan terhadap Rudy Soik digelar pada Jumat pagi.
Namun, Rudy Soik tak menghadiri sidang tersebut.
"Kenapa saya tidak hadir? Karena sidang dari hari pertama itu saya sudah sampaikan ke komisi sidang agar saya tidak ditekan dan diintimidasi secara kewenangan."
"Namun, saya benar-benar ditekan saat memberikan keterangan saat itu," ungkapnya.
Rudy Soik mencontohkan, pemasangan garis polisi itu ada rangkaian cerita.
Mulai dari awal hingga terjadinya pemasangan garis polisi di rumah terduga pelaku mafia BBM, Ahmad Ansar, Kamis (27/6/2024).
Akan tetapi, pimpinan sidang kode etik hanya fokus di tanggal 27 Juni 2024, saat Rudy Soik memasang garis polisi.
Baca juga: Duduk Perkara Kasus Ipda Rudy Soik Dipecat dari Polda NTT Usai Ungkap Mafia BBM
Rudy Soik pun menyebut, ia tak diberi kesempatan untuk menjelaskan alasannya memasang garis polisi.
"Mengapa saya memasang police line di tanggal 27? Itu harus dijelaskan dan pimpinan sidang harusnya meminta saya untuk menjelaskan rangkaiannya."
"Tapi saya tidak diberi ruang untuk menjelaskan alasan pemasangan police line," terangnya.
Rudy lantas menuturkan, pada 27 Juni 2024, dia menanyakan kepada pemilik rumah tempat dipasangnya garis polisi, meski saat itu tidak ada BBM dalam drum.
"Jadi saya bertanya, apakah Krimsus (Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda NTT) yang pada tanggal 27 itu saya pergi kamu menjelaskan kepada saya bahwa minyak (BBM) Krimsus itu ilegal."
"Dia (pemilik rumah tempat dipasang garis polisi) mengakui itu dalam sidang," tuturnya.
Rudy Soik kemudian melontarkan sejumlah pertanyaan kepada pemilik rumah tersebut.
Termasuk pertanyaan terkait pemberian uang senilai belasan juta kepada anggota polisi sebelum Rudy Soik datang.
"Saya bertanya lagi, apakah kamu memberikan uang Rp15 juta kepada anggota sebelum saya datang, dan dia mengakui itu. Saya pun menjelaskan di sidang, tapi saya di-cut. Katanya kamu jangan melebar kemana-mana," tandasnya.
Rudy Soik pun menyayangkan proses sidang kode etik yang dijalaninya tidak mencari fakta-fakta tentang mafia BBM.
Namun, seolah-olah terkesan Rudy Soik telah melanggar Standar Operasional Prosedur (SOP).
Saat bertanya terkait SOP yang dilanggar, Rudy Soik justru dianggap berbelit-belit.
"Saya kan tanya, kalau seandainya saya salah dalam pemasangan police line, maka yang benar itu di mana."
"Perlihatkan kepada saya dalam aturan yang mana, supaya jelas semuanya," ujarnya.
Rudy Soik juga mengaku mengantongi surat tugas saat mendatangi rumah dua orang terduga mafia BBM tersebut.
Dia juga melaporkan rangkaian penyelidikan atas dugaan pidana itu ke atasannya Kapolresta dan Kasat Reskrim.
"Kalau saya mau jujur, jika bicara soal etika, banyak penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh oknum-oknum anggota Polri itu lebih buruk dari yang tertuduh kepada saya."
"Masa ini saya pasang police line terkait mafia BBM di Kota Kupang tapi kok saya bisa disidang PTDH."
"Tapi tidak apa-apa, sebagai warga negara yang taat hukum kita mengikuti prosesnya," urainya.
Karena keputusan pemecatan ini bersifat final, maka Rudy Soik akan menempuh upaya hukum lainnya yakni banding.
Sebagian artikel ini telah tayang di Pos-Kupang.com dengan judul BREAKING NEWS: Polda NTT Pecat Ipda Rudy Soik
(Tribunnews.com/Nanda Lusiana, Pos-Kupang.com/Rosalia Andrela, Kompas.com/Sigiranus Marutho Bere)