"Pas ledakan itu, kami lari lewat kebun ke Desa Wureh untuk mengungsi di Wure sementara, malam jam 7, kami mengungsi ke Larantuka di anak nomor dua punya kos," ujar Natalia, dikutip dari TribunFlores.com.
Natalia menceritakan, ia berlari tanpa membawa apa-apa, bahkan tanpa alas kaki.
"Waktu lari kami tidak bawa apa-apa, tidak pake sendal ke Desa Wureh," katanya.
Dari peristiwa tersebut, satu unit kios, rumah, kulkas, laptop, gading, dan motor ludes terbakar.
Ia mengaku, Hingga saat ini, Anak ke-enamnya yang masih duduk di bangku TK A Santa Elisabeth Bugalima masih mengalami trauma.
"Tadi malam kami nginap di Wureh, dia menangis terus tidak mau tidur, sebelum dia tidur, dia tanya ke saya, mama mereka ikut lagi kita tidak, mereka bawa lagi bom kah tidak, saya jawab bilang tidak lagi nona," ujarnya.
Surat-surat penting miliknya pun ikut terbakar dalam peristiwa ini.
"Semua seragam sekolah terbakar semua, ijazah anak empat orang juga terbakar, dengan surat penting lainnya," jelasnya.
Mengutip TribunFlores.com, konflik yang dipicu batas tanah ini sudah berlangsung sejak 1970.
Pada tahun 1990-an lalu, kedua pihak sempat dimediasi oleh Forkopimda Kabupaten Flores Timur.
Namun, saat itu kesepakatan batas tanah sengketa belum tercapai.
Baca juga: Konflik Berdarah Akibat Batas Tanah Dua Desa di Flores Timur NTT: 51 Rumah Terbakar, 2 Warga Tewas
Lalu, pada Juli 2024 lalu, Badan Pertanahan Nasional (BPN) melakukan pengukuran lahan.
Namun, masyarakat masih belum puas hingga terjadi perang antara kedua desa.
Kini, bentrokan pun kembali pecah pada Senin (21/10/2024).