News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Semangat Bidan Dini, Atasi Masalah Kesehatan Ibu-Anak di Desa Terpencil, Pendekatan jadi Kunci

Penulis: Sri Juliati
Editor: Tiara Shelavie
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Theresia Dwiaudina atau Bidan Dini saat melakukan imunisasi pada bayi di Desa Uzuzozo, Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende, NTT. Tujuh tahun menjadi bidan di sebuah desa terpencil di NTT, Dini sukses mengatasi masalah kesehatan ibu-anak, termasuk stunting.

TRIBUNNEWS.COM - "Suntikan ini bikin lengan Farel poker. Biar tambah kebal dan kekar. Kalau dapat pukul juga tidak akan sakit. Jadi kalau mau merambah jadi preman di kampung sebelah juga bisa."

Demikian kata Theresia Dwiaudina Sari Putri pada Farel. Rupanya, bocah yang dijuluki 'preman kampung' itu takut pada jarum suntik. Alhasil, selalu ada 'drama' saat Farel hendak mendapat imunisasi.

Ini tentu menjadi PR tersendiri bagi Theresia Dwiaudina yang merupakan seorang bidan di desa Farel tinggal. Dini, sapaan karibnya, memutar otak, mencari cara agar Farel mau diimunisasi.

Akhirnya, keluarlah gombalan tersebut. Dini mengibaratkannya seperti sistem imunitas. Setelah diimunisasi, tubuh akan memperoleh kekebalan sehingga tambah kuat.

Tak dinyana, siswa SD Inpres Ndetuwaru itu menganggukkan kepala. Farel pun tak perlu lagi dipaksa apalagi harus dipegangi banyak orang.

"Video Farel yang mau diimunisasi, saya jadikan bahan referensi untuk anak-anak yang takut disuntik," kata Dini pada Tribunnews.com, Kamis (17/10/2024).

Kisah di atas adalah hanyalah satu dari sekian banyak pendekatan yang dilakukan Dini selama tujuh tahun terakhir menjadi bidan di Desa Uzuzozo.

Desa Uzuzozo merupakan salah satu desa terpencil di Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Desa ini dikelilingi kawasan perbukitan, hutan, dan sejumlah sungai besar yang kerap meluap saat musim hujan datang.

Jaraknya sekitar 2 jam dari pusat Kabupaten Ende. Sinyal pun hilang timbul di sini.

Hanya ada satu fasilitas kesehatan yaitu pos kesehatan desa (poskesdes) dengan peralatan medis sederhana. Itu pun lokasinya masih terbilang jauh dari 3 dusun dan 3 anak kampung yang ada di Desa Uzuzozo. Belum lagi medan ekstrem yang memisahkan.

Jauh dari gemerlap kota dan minimnya fasilitas kesehatan, rupanya tak menyurutkan niat Dini dalam mengabdikan diri sebagai garda terdepan melayani kesehatan ibu dan anak di Desa Uzuzozo.

Lebih luas lagi, Dini adalah orang yang pertama kali dicari saat masyarakat Desa Uzuzozo membutuhkan pertolongan kesehatan. Hal ini karena Dini adalah satu-satunya tenaga kesehatan di desa tersebut.

Tak peduli siang, malam, dini hari, panas, terik, hujan, di poskesdes, rumah, pinggir hutan, bahkan tepi sungai sekali pun, Dini siap menolong warga. Bahkan kedatangannya begitu dinanti.

Hadapi Sejumlah Masalah

Sudah tujuh tahun ini, Dini menjadi pelayan kesehatan bagi masyarakat Desa Uzuzozo. 

Kehadirannya ke desa tersebut rupanya hasil inisiatif dari sang kepala desa yang kala itu dijabat Damianus Nangge.

Damianus menawarkan agar Dini mau berkarya menjadi bidan desa pertama di Uzuzozo. 

Selama ini, desa berpenduduk 366 jiwa itu belum memiliki tenaga kesehatan karena tak pernah ada orang yang mau mengabdi di sana.

Tak butuh waktu lama bagi lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (Stikes) Surabaya jurusan D3 Kebidanan itu untuk mengiyakan tawaran tersebut.

Yang ada di pikirannya saat itu, ia perlu mencari pengalaman sebagai seorang lulusan baru. Selain itu, lokasi Desa Uzuzozo tak jauh dari kampung halamannya di Desa Kekandere karena masih satu kecamatan.

"Sebagai anak kampung sana lah ya sekaligus cari pengalaman, jadi saya menerima tawaran bapak kepala desa," ujar Dini.

Seekor anjing pun diberikan kepadanya sebagai tanda jadi sekaligus pengikat atas kesepakatan tersebut.

"Pertama kali digaji seekor anjing untuk DP biar betah di desa," kata Dini yang kini berusia 28 tahun.

Setibanya di Desa Uzuzozo, Dini menemui sejumlah masalah kesehatan ibu dan anak yang mendesak untuk segera diselesaikan.

Ia mengungkapkan, banyak ibu hamil yang enggan memeriksakan kehamilannya ke fasilitas kesehatan atau tenaga kesehatan.

"Karena puskesmas sangat jauh, butuh waktu dan biaya untuk ke sana," kisahnya. 

Belum lagi adanya kepercayaan masyarakat yang sebaiknya tidak memberitahukan kabar kehamilan pada banyak orang. Cukup suami dan istri saja yang tahu.

"Rasanya sulit sekali menemukan ibu hamil yang mau mengaku bahwa dirinya hamil," tambah Dini.

Selain itu, semua ibu hamil akan melahirkan dengan bantuan dukun beranak atau yang kerap dipanggil mama dukun. 

Persalinan itu, lanjut Dini, dilakukan di rumah, tanpa prosedur kesehatan serta alat-alat yang steril sehingga berpotensi meningkatkan angka kematian ibu dan bayi. 

Masalah lain, banyak anak di Desa Uzuzozo yang mengalami stunting atau tengkes. Stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi dalam jangka panjang.

Stunting bisa memberikan berbagai dampak negatif untuk kesehatan dan pertumbuhan anak baik.

Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya pelayanan kesehatan dasar seperti imunisasi, kegiatan Posyandu, pemberian obat cacing, hingga pembagian vitamin A bagi anak-anak.

"Yang remaja juga tidak mendapatkan tablet tambah darah," ujar Dini.

Pendekatan jadi Kunci

Bidan Dini melintasi sungai demi menuju rumah-rumah warga untuk melakukan pelayanan kesehatan di Desa Uzuzozo, Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Setelah mengetahui sejumlah masalah tersebut, 'petualangan' Dini sebagai satu-satunya tenaga kesehatan di Desa Uzuzozo pun dimulai.

Dengan sepeda motor dan peralatan medis miliknya sendiri, perempuan kelahiran 24 Maret 1996 itu menyusuri jalanan setapak yang menghubungkan antara dusun dan anak kampung Uzuzozo.

Seringkali, ia harus membelah sungai karena tidak adanya jembatan atau kondisi jembatan yang rusak. Belum lagi saat debit air sungai naik, ia terpaksa meninggalkan motornya lalu berjalan kaki, menyeberangi sungai.

Dini mengetuk satu pintu ke pintu warga lainnya, memeriksa kesehatan, terutama ibu hamil serta bayi yang baru lahir, sekaligus memberikan edukasi seputar kesehatan ibu-anak, pentingnya imunisasi hingga cara pemberian makan yang baik bagi anak.

Di awal, kehadiran Dini rupanya mendapat penolakan. Bahkan keberadaan Dini sempat dianggap sebagai ancaman bagi beberapa orang seperti dukun bayi.

"Apalagi saya pertama kali berkarya dan mereka pertama kali menerima tenaga kesehatan, bingung mungkin, kayak 'anak ini buat apa di sini'? Apalagi waktu itu, saya hitungannya masih gadis, masih sekira 22 tahun. Beberapa mungkin jadi ancaman misalnya untuk mama dukun yang takut kehilangan lapangan pekerjaan karena dirasa pekerjaan mereka akan direbut," kisah Dini.

Belum lagi, ia juga harus melawan mitos dan kepercayaan yang selama ini telah berkembang luas serta diyakini masyarakat.

Namun, Dini tak menyerah. Ia tetap mendatangi rumah-rumah masyarakat, terus memberikan edukasi.

Bahkan jika perlu Dini menyusul ke ladang, kebun, mencuri-curi waktu luang warga dan membujuk mereka agar mau memeriksakan kesehatan.

Ia pun aktif di kegiatan gereja dan sekolah dengan menyisipkan edukasi-edukasi seputar kesehatan. Dini juga menggalakkan kegiatan posyandu dengan menumpang di teras rumah warga.

Hasilnya, kehadirannya perlahan mulai diterima seiring dengan sejumlah pendekatan yang dilakukan. Kehadirannya tak lagi dipandang sebelah mata.

Sebagai bentuk pendekatan, ia membawakan daun sirih dan buah pinang pada mama dukun. Dini bilang, tak ingin mematikan mata pencaharian sang dukun. Ia justru menawarkan 'kolaborasi' dengan mama dukun untuk membantu proses persalinan.

"Saya bantu ibu hamil ketika persalinan dan mama dukun bantu urus anak. Jadi kerja mama lebih ringan, jadi bekerja pun tidak ada yang saling menyakiti," kata Dini.

Pelan-pelan, sejumlah ibu hamil mulai percaya pada Dini. Mereka mulai membuka diri dan tak sungkan diperiksa. Mereka juga mau melakukan proses persalinan di fasilitas kesehatan dan dibantu bidan.

Hanya saja karena lokasi puskesmas yang cukup jauh, Dini tak menyangkal, ada ibu hamil yang melahirkan di atas kendaraan yang hendak mengantarnya ke fasilitas kesehatan (faskes). Bahkan ada yang melahirkan di tepi sungai lantaran tengah dalam perjalanan menuju faskes.

"Namun setidaknya mereka sudah memiliki hasrat atau keinginan untuk melahirkan di faskes dan ada pendampingan dari saya," ucapnya.

Hal ini dialami pula oleh Susilia Muku yang memutuskan untuk melahirkan anak ke-7 di fasilitas kesehatan pada 2018. Ia mengaku sangat terbantu oleh kehadiran Dini.

Begitu juga hubungannya dengan mama dukun. Dini menyebut, mama dukun adalah bestie-nya dalam hal pemberian informasi siapa saja wanita yang tengah hamil di Uzuzozo.

"Mama dukunnya malah jadi spy (mata-mata) buat saya, kayak dia cerita 'ada ibu hamil tuh di situ', jadi saya dengar kabar itu dan saya melakukan pendekatan lalu bilang, 'wah, saya dengar ibu hamil, nih. Berarti boleh saya melakukan pemeriksaan?'" tambahnya.

Pendekatan juga diterapkan pada program imunisasi. Tak hanya anak-anak karena mereka takut disuntik, Dini menemui para orang tua.

Dini mengungkapkan, ada kepercayaan yang berkembang di masyarakat Uzuzozo, apabila jarum suntik selesai dipakai untuk imunisasi tidak ditancapkan ke batang pohon, maka akan menyebabkan anak-anak demam.

Mengambil jalan tengah, Dini pun ikut menuruti hal tersebut. Hanya saja, ia memiliki cara tersendiri.

"Mereka menganut kepercayaan kalau misalnya needle jarum suntik yang kita gunakan ditancapkan di pohon pisang, itu bisa mengurangi efek samping demam."

"Jadi setelah saya mengimunisasi anaknya, jarum suntik akan diambil ibunya ditancapkan ke pohon. Nanti sebelum pulang, baru saya cabut lagi dan saya simpan di tempat aman biar tidak dipakai untuk main," kata dia.

Menurut Dini, pendekatan yang dilakukannya dengan menyatukan ilmu medis serta persepsi yang dipunyai masyarakat, tanpa harus saling menyakiti.

"Bagi saya, selama tidak mengganggu medis sama sekali, tidak mengurangi nilai pencegahan di medis ataupun pencegahan infeksi, silakan," ujar dia.

Sukses Turunkan Angka Stunting

Melalui pendekatan yang diselaraskan dengan kepercayaan di desa, tapi tetap sesuai prinsip kesehatan, maka Dini lebih mudah mengambil hati warga Desa Uzuzozo.

Lewat kegiatan posyandu, ia mengajarkan para ibu tentang pola asuh yang baik dan nutrisi yang sehat untuk anak.

Sebab, selama ini, tidak semua orang tua di Uzuzozo tahu tentang jadwal dan cara pemberian makan.

Dalam pengakuannya, Dini bahkan tak segan ribut saat mengetahui ada orang tua yang tidak memberikan makan bergizi pada sang anak.

Usaha gigih Dini itu pun nyatanya membuahkan hasil. Jumlah anak stunting di Uzuzozo terus berkurang hingga 80 persen.

"Dari 15 sekarang sisa tiga," katanya.

Tak hanya itu, Dini melihat adanya perubahan gaya hidup dari masyarakat. Kini, sudah tidak ada lagi ibu hamil yang melahirkan di rumah atau orang tua yang menolak anaknya diimunisasi.

Belum lagi, program pencegahan stunting yang dilaksanakan Dini juga menyasar kalangan remaja. Salah satunya melalui pemberian tablet tambah darah.

Dini tak menampik adanya kerjasama lintas sektor yang dilakukan di tengah keberhasilannya dalam melakukan revolusi kesehatan pada warga Desa Uzuzozo.

Bahkan sejumlah program seperti posyandu untuk balita dan lansia yang digelar setiap sebulan sekali juga tak lepas dari bantuan pihak desa.

Dana Desa dianggarkan untuk menyiapkan makanan sehat yang bisa dikonsumsi secara gratis termasuk pendirian poskesdes dan penunjang peralatan medis.

Kehadiran kader posyandu juga membantu Dini dalam melakukan pemantauan tentang kondisi kesehatan ibu dan anak, meski hasil evaluasi tetap ada di tangannya.

Atas pengabdiannya yang tak kenal lelah, Dini sukses meraih sejumlah penghargaan. Satu di antara apreasiasi tersebut datang dari Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards 2023.

Sulung dari 4 bersaudara itu mendapat penghargaan yang diberikan PT Astra International Tbk untuk kategori bidang kesehatan.

Dini tak pernah menyangka apalagi bermimpi, usaha dan kerja kerasnya di desa terpencil berbuah penghargaan dan mendapat banyak sorotan.

"Nggak pernah kebayang bisa dapat SATU Indonesia Award 2023. Namun bagi saya, ini adalah sebuah tanggung jawab yang perlu disyukuri dan dilanjutkan," ujar dia.

Usaha Keberlanjutan

Usaha yang dilakukan Dini untuk terus mengedukasi masyarakat terutama tentang kesehatan ibu dan anak, tentu tak hanya berhenti sampai di sini.

Ia masih memiliki banyak mimpi. Salah satunya melanjutkan pendidikan hingga S2. Dini percaya, dengan ilmu yang bertambah, maka previlege dan kesempatan yang akan diterimanya juga bertambah.

Baik previlege maupun kesempatan itu akan dipakai Dini untuk semakin menebar banyak manfaat atas program kesehatan yang selama ini telah dijalankan. Tak hanya di Desa Uzuzozo, tapi juga di desa-desa lain.

Terkini, Dini juga telah mencari sosok yang akan meneruskan programnya di Uzuzozo.

"Saya sudah cari pengganti dan puji Tuhan saya meninggalkan desa dalam keadaan baik-baik saja, masyarakat sudah sadar kesehatan, sudah ada perilaku yang berubah," kata dia.

Ia berharap, masih harus lebih banyak lagi perhatian dari lintas terkait untuk berperang melawan stunting.

"Terlebih untuk desa-desa terpencil, apapun yang terjadi, keberhasilan sebuah negara dari komunitas-komunitas terkecil ini, apalagi sebuah desa," kata dia.

Oleh karena itu, Dini berpesan pada anak-anak muda yang terinspirasi dengan langkahnya, untuk lakukan saja apa yang sudah diniatkan, sekecil apapun itu. Ubahlah hal-hal sederhana terlebih dahulu.

"Janganlah tunggu sampai tanya negara harus kasih apa ke saya, tidaklah, kita yang memberi diri dulu, kita yang melayani dulu, kita kasih orang dulu. Hitungannya baru kita yang dibalas dengan berkat bertubi-tubi, seperti kita tabur dulu, baru kita tuai," pungkasnya. (*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini