TRIBUNNEWS.COM - C-130 Hercules, pesawat angkut legenda yang cukup populer hingga saat ini dan masih banyak digunakan di penjuru dunia.
Pesawat yang utamanya difungsikan sebagai pesawat angkut berat ini mulai dikembangkan bermacam varian dengan tujuan untuk misi-misi tertentu bahkan untuk multi-misi.
Salah satu tugas Hercules yang tak umum adalah menjadi pemburu badai. Hercules yang menjalani misi ini diberi kode WC-130 Hurricane Hunter.
Pesawat ini ditempatkan di satuan skadron khusus pemburu badai, 53rd Weather Reconnaissance Squadron. Skadron ini sudah ada sejak 1946 yang pada saat itu diperkuat oleh pesawat pembom untuk memantau badai secara intensif.
Pembentukan skadron ke-53 ini cukup unik. Awalnya, para pilot sedang berlatih rutin untuk persiapan Perang Dunia II dan tiba-tiba mereka dihadang badai.
Tidak disangka mereka berhasil lolos, bahkan salah satu pilot terbang mengikuti badai itu. Pesawat AT-6 Texan yang dipakai mengejar badai kemudian dimodifikasi sedemikian rupa untuk menghadang dan mengamati badai.
Pesawat pembom yang dipilih saat itu berukuran besar karena digunakan juga untuk mengangkut peralatan ilmiah untuk observasi, mampu mengejar, dan menghadang badai, hal ini penting untuk menyusun rencana operasi.
Pesawat pembom yang dulu digunakan adalah B-25, B-29, WB-29, WB-47, dan WB-50.
Mulai tahun 1964 skadron ke-53 baru menggunakan pesawat C-130B Hercules.
Beberapa jenis varian hercules yang dioperasikan diantaranya WC-130B, WC-130E, WC-130H, RC-130, dan HC-130H. Tak ketinggalan, varian hercules yang terbaru WC-130J pun digubah untuk mengejar badai. Kode W merujuk pada kata wheater, alias cuaca.
WC-130J yang saat ini digunakan mempunyai misi utama sebagai pengamat pergerakan badai di atas lautan Atlantik.
Kokpit Super Hercules ini sudah dirancang untuk memonitor badai.
Biasanya, dalam satu misi ada lima kru yang bertugas. Kru tersebut menjalani beberapa tugas spesifik, pilot, kopilot, navigator, aerial reconnaissance weather officer, danweather reconnaissance loadmaster.
Tubuh gemuk WC-130J sendiri dijejali alat khusus, seperti Stepped Frequency Microwave Radiometer (SFMR) yang digunakan mengamati pergerakan badai secara visual.
Data ini kemudian dikirim ke stasiun di darat yang dinamai ARWO (Aerial Recconaissance Weather Officer).
Selain itu, WC-130J juga dilengkapi SATCOM (Satellite Communication System) dan Airborne Vertical Atmospheric Profilling System (AVAPS) yang berfungsi sebagai sistem profil pada kondisi atmosfer secara vertikal.
Uniknya, kru skadron ini terdiri dari warga sipil dan bukan personel Angkatan Udara AS atau personel militer lainnya. Mereka bekerja secara shift karena skadron ini harus siap selama 24 jam penuh.
Jika badai terdeteksi, mereka akan langsung memonitor dan mengikuti badai tersebut.
Saat melakukan operasi, kru darat juga selalu membawa baling-baling cadangan karena benda ini paling riskan ketika menghadapi badai.
Jika baling-baling rusak karena dihantam badai, WC-130J akan mendarat di suatu tempat dan mengganti baling-baling untuk langsung kembali beroperasi.
Dalam melaksanakan tugas “mengejar badai”, skadron pemburu badai ini juga tak selamanya mulus.
Suatu waktu, salah satu unit di skadron ini kehilangan salah satu pesawatnya saat melaksanakan misi pengejaran badai.
Hingga saat ini awak dan pesawatnya tak pernah ditemukan. Sejak berdirinya 53rd Weather Reconnaissance Squadron hingga saat ini, kecelakaan itu tercatat sebagai bencana paling parah yang pernah terjadi.