TRIBUNNEWS.COM - Memerangi teroris al-Qaeda yang bercokol di Afganistan sejak tahun 2001, Inggris telah mengirimkan sekitar 9.500 personel pasukannya.
Pasukan Inggris yang kemudian bergabung dengan pasukan NATO dan AS serta terwadahi dalam kontingen pasukan Internasional Security Assistance Force (ISAF) ternyata harus menghadapi pertempuran yang berdarah-darah.
Pasukan Inggris yang dikirim ke Afganistan merupakan pasukan elit yang sudah berpengalaman dalam berbagai misi tempur seperti di Falkland, Irlandia Utara, Balkan, Kosovo, Irak, dan lainnya. Pasukan tempur itu adalah Parachute Regiment dan Royal Irish Regiment.
Personel pasukan Parachute Regiment yang dikenal sebagai Paras, merupakan pasukan elit Angkatan Darat Inggris (British Army) yang memiliki kualifikasi para komando.
Selain merupakan pasukan para komando, pasukan yang menginduk kepada Special Force Support Group ini juga merupakan pasukan reaksi cepat.
Untuk semua personel pasukan yang merupakan tim reaksi cepat selanjutnya terwadahi di dalam pasukan infantri payung, 16 Air Assault Brigade.
Sementara pasukan Royal Irish Regiment terdiri dari batalyon yang merupakan pasukan elit Kerajaan Inggris yang juga memiliki kemampuan para komando.
Pasukan andalan di medan tempur garis depan itu dikenal sebagai para prajurit petarung dan merupakan satu-satunya resimen pasukan yang pernah mendapat penghargaan istimewa dari Ratu Inggris,Conspicuous Gallantry Cross (CGC).
Penghargaan CGC merupakan medali elit kedua di bawah medali paling utama yang dianugerahkan Kerajaan Inggris kepada pasukan tempurnya yang berprestasi Victoria Cross.
Di Afganistan, pasukan Inggris mulai tahun 2006 bermarkas di Camp Bastion, yang berada di kawasan Propinsi Helmand.
Suatu kawasan pegunungan tandus yang juga dikenal sebagai daerah paling rawan dari serangan Taliban.
Tapi dari sisi tantangan perang, kawasan seperti itu memang paling cocok untuk menguji kemampuan tempur pasukan sekelas Parachute Regiment dan Royal Irish Regiment.
Kendati Inggris mengirimkan kedua pasukan elitnya ke Aganistan dengan kemampuan yang sangat terlatih, nyatanya mereka mengalami kesulitan ketika bertempur melawan para pejuang Taliban yang bertempur dengan taktik teror bom bunuh diri.
Salah satu yang patut dikenang adalah pertempuran di benteng Musa Qala.
Pertempuran sengit di benteng Musa Qala berlangsung sepanjang bulan Agustus dan September 2006.
Pertempuran yang membuat pasukan Inggris sampai mengambil prinsip bertempur hingga mati itu mengakibatkan tiga personel pasukan gugur dan 12 personel lainnya terluka parah.
Walau demikian, jumlah korban ini termasuk minim mengingat para pejuang taliban yang bersenjata roket, granat, mortir, dan senapan mesin sudah berada dalam posisi mengepung dari semua arah.
Nasib sial pasukan elit Inggris itu dimulai ketika pada 23 Agustus 2006 sebanyak 88 personel pasukan dari Parachute Regiment dan Royal Irish Regiment mendapat tugas menggantikan pasukan NATO dari kontingen Denmark yang sudah usai tugas di benteng Musa Qala.
Gabungan pasukan elit Inggris yang bernama Easy Company itu didatangkan menggunakan dua heli Chinook secara senyap.
Tak berapa lama setelah Easy Company masuk benteng Musa Qala dan berlangsung serah terima pasukan, iringan-iringan pasukan NATO Denmark yang terdiri dari 40 kendaraan lapis baja dan delapan kendaraan pembawa senapan mesin berat meninggalkan benteng Musa Qala.
Proses pergantian pasukan Inggris dan Denmark itu ternyata diawasi secara cermat oleh para mata-mata dari para pejuang Taliban.
Mata-mata pejuang Taliban segera melapor kepada pemimpinnya bahwa kekuatan tempur yang menjaga benteng Musa Qala telah melemah karena pasukan Denmark sudah ditarik.
Kesimpulan dari pengamatan para mata-mata Taliban memang tidak salah. Saat itu pasukan Easy Company yang berkekuatan 88 personel hanya dipersenjatai dua senapan mesin berat dan sejumlah peluncur mortir.
Tim medisnya juga terbatas karena hanya ada satu dokter dan dua perawat serta tidak ada kendaraan militer sama sekali.
Posisi benteng Musa Qala sendiri berada di lembah tandus yang terbuka dan dikelilingi desa-desa yang penduduknya cenderung pro Taliban.
Posisi terbuka dan rawan sergapan itu membuat sulit bagi heli Chinook untuk mendarat secara aman demi mengirim bantuan logistik maupun pasukan.
Pengiriman pasukan dan logistik lewat darat juga beresiko tinggi karena semua akses jalan menuju Musa Qala sudah dikuasai Taliban.
Para pejuang Taliban ternyata paham betul posisi sitting duck pasukan Ingggris di Musa Qala dan sebelum bantuan tiba mereka sudah melancarkan serangan.
Dengan kekuatan sekitar 500 personel, pejuang Taliban lalu melancarkan serangan frontal dari semua arah.
Sejumlah pejuang Taliban bahkan sampai maju mendekati benteng lalu melemparkan granat. Pasukan Inggris sangat terkejut mendapat serangan frontal dari semua arah itu dan berusaha melawan secara maksimal.
Sebagai pasukan elit yang di antaranya ada personel yang memiliki pengalaman tempur puluhan kali, taktik gempuran Taliban dianggap lain dari yang lain.
Mereka menggempur secara terus menerus dari segala arah dan tetap bertempur secara gigih meskipun teman-temannya telah berjatuhan.
Salah satu personel Para, Sersan Freddie Kruyer sampai frustasi atas taktik tempur para pejuang Taliban itu karena setiap dirinya menembak jatuh musuh, pejuang Taliban lainnya terus berdatangan.
“Ini sama sekali bukan pertempuran konvensional. Jika musuh yang datang menyerbu tak pernah habis dan tidak takut mati. Saya terpaksa menyisakan satu peluru untuk diri saya sendiri daripada ditangkap hidup-hidup lalu dijatuhi hukum penggal kepala,” ujarnya.
Komandan Easy Company, Mayor Adam Jowett juga memberikan komentar pesimis.
“Kami secara total dalam keadaan terkepung. Tak ada peluang untuk meloloskan diri. Apalagi kami bertempur sendirian tanpa ada dukungan sama sekali. Taliban akan mudah untuk mengalahkan kami,” ujarnya.
Selain persediaan amunisi dan makanan makin terbatas, tembok benteng yang melingkari Musa Qala ternyata kurang tinggi dan tidak dirancang sebagai pertahanan untuk kepentingan militer. Jadi jatuhya benteng Musa Qala dan hancurnya Easy Company tinggal menunggu waktu saja.
Tapi sebagai pasukan elit yang terlatih baik, Easy Company tetap menunjukkan perlawanan yang tangguh.
Karena pada dasarnya pelatihan tempur komando yang mereka dapatkan memang disiapkan untuk menghadapi kondisi terjepit seperti itu. Karena tanpa ada bantuan sama sekali, personel Easy Company kemudian mengubah taktik tempur menggunakan mortir.
Gempuran mortir itu dipercayakan kepada tim mortir dari Royal Irish Regiment yang dipimpin oleh Kopral Danny Groves. Berkat gempuran mortir yang terarah dan akurat, pasukan Taliban akhirnya ternyata bisa dipukul mundur dan mengubah taktik serbuannya.
Aksi sniper Taliban
Dari jarak yang cukup jauh dari benteng Musa Qala para pejuang Taliban kemudian melancarkan serangan menggunakan mortir dan roket serta menurunkan para penembak jitunya (sniper).
Taktik baru serangan Taliban segera menimbulkan korban.
Kopral Jon Hetherington personel dari Parachute Regiment yang berumur 22 tahun, tewas dihantam peluru sniper ketika sedang berada di pos pengamatan yang posisi berada di atas atap benteng.
Tembakan sniper begitu akurat karena peluru bisa menembus celah terbuka antara tengkuk dan rompi antipelurunya.
Gugurnya Kopral Jon pada 27 Agustus itu tidak membuat pasukan Easy Company turun semangat.
Mereka kembali bertempur secara gigih. Tapi gempuran Easy Company yang makin kekurangan amunisi dan makanan tidak membuat keadaan berubah.
Gempuran mortir Taliban kembali menghantam dan dalam serangan ini dua personel Easy Company gugur ketika sedang menuju pos observasi di atas benteng yang dikenal dengan nama The Alamo.
Posisi di pos observasi itu pun tidak lagi diisi pasukan karena menjadi sasaran empuk bagi sniper Taliban.
Saat itu posisi pasukan Easy Company benar-benar kritis karena setiap personelnya bisa gugur kapan saja.
Mereka hanya bisa bertahan sebisanya sambil menghemat makanan dan amunisi. Sedangkan Taliban terus saja melancarkan gempuran mortir dan roket.
Pada 11 September para pejuang Taliban yang yang sudah mendapatkan pasokan senjata dan tambahan pasukan, berencana merebut benteng Musa Qala dan telah menyiapkan serbuan pungkasan.
Seluruh pasukan Easy Company pun sudah menyadari akan adanya rencana serbuan besar-besaran itu dan sudah menyiapkan diri untuk bertempur sampai mati.
Mereka saling berpandangan dan menyiapkan persenjataan yang dimiliki, memasang bayonet, dan bersiap menghadapi pertempuran terakhir.
Namun, anehnya di tengah kedua pasukan yang sedang mempersiapkan diri untuk bertempur habis-habisan, tiba-tiba seorang kepala suku setempat yang dituakan turun tangan.
Tetua suku itu yang tak mau wilayahnya rusak akibat perang, bahkan bisa mempengaruhi pemimpin Taliban untuk melakukan tawaran gencatan senjata dengan pasukan Easy Company.
Mayor Jowett sebenarnya ragu atas tawaran gencatan senjata itu karena merasa hanya jebakan belaka.
Tapi Mayor Jowett akhirnya setuju asalkan pasukannya dijamin keselamatan ketika sedang berjalan menuju dua heli Chinook yang siap mengevakuasi.
Tapi demi menghadapi kemungkinan terburuk, semua pasukan Easy Company yang keluar dari benteng Musa Qala pada 14 Oktober tetap dalam kondisi siap tempur dan bayonet terhunus. Semuanya telah menyiapkan diri untuk bertempur sebagai prajurit komando sampai mati.
Gencatan senjata yang ditawarkan tetua suku tenyata bukan tipuan. Easy Company bahkan mendapat pengawalan dari pejuang suku Phatsun yang berjajar di jalan dengan kereta barang yang ditarik lembu.
Semua pasukan Easy Company pun berhasil dievakuasi dengan aman menggunakan dua Chinook yang selanjutnya terbang menuju markas pasukan Inggris di Camp Bastian, Helmand.
Atas kegigihan dalam pertempuran sengit di benteng Musa Qala, sebanyak 11 personel Easy Company berhak menyandang medali tertinggi dari Ratu Inggris Victoria Cross.