News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Berita Viral

Sejumlah Klien Ngaku Dilecehkan Doktor Psikologi, Ini Cara Kenali Permintaan Tak Wajar saat Terapi

Penulis: Widyadewi Metta Adya Irani
Editor: Miftah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sejumlah orang yang mengaku menjadi korban Doktor Psikologi DS bermunculan. Psikolog sebutkan cara untuk menghindari pelecehan seksual dan cara mengenali permintaan tak wajar saat terapi.

TRIBUNNEWS.COM - Seseorang yang mengaku Doktor Psikologi, berinisial DS, semakin ramai diperbincangkan masyarakat.

Diketahui, DS mulai menjadi sorotan publik setelah selebgram Revina VT mengungkapkan kejanggalaan yang ia temukan saat akan memenuhi ajakan DS untuk berkolaborasi membuat sebuah konten Youtube.

Sebelum memenuhi tawaran DS, Revina sempat menelusuri nama DS dalam daftar tenaga medis di Sistem Informasi Keanggotaan (SIK) Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) namun ia tak menemukannya.

Kemudian sejumlah orang bermunculan mengaku menjadi korban pelecehan seksual yang dilakukan DS.

Seperti yang ada dalam unggahan akun Instagram pribadi selebgram Revina VT, @revinavt, seorang korban menunjukkan isi pesan DS yang mengajaknya melakukan terapi di kamar hotel.

Dalam unggahan akun Instagram pribadi selebgram Revina VT, @revinavt, seorang korban menunjukkan isi pesan DS yang mengajaknya melakukan terapi di kamar hotel.

Menanggapi hal itu, Psikolog di Yayasan Praktek Psikolog Indonesia, Adib Setiawan, S.Psi., M.Psi., menyebutkan seorang psikolog tak mungkin mengajak kliennya melakukan terapi di kamar hotel.

"Buat masyarakat, yang paling penting dipahami adalah terapi pasti di tempat praktek, bukan di hotel karena hotel rentan," kata Adib saat dihubungi Tribunnews.com, Senin (17/2/2020) pagi.

Menurut Adib, hal ini juga dapat menjadi patokan untuk menghindari pelecehan seksual.

"Untuk menghindari pelecehan, pastikan terapi tidak di hotel," kata Adib.

Selain itu, untuk menghindari pelecehan, seseorang dapat memberitahu dari awal bahwa dirinya tidak ingin ada sentuhan selama terapi berjalan.

Baca: VIRAL Doktor Psikologi DS Diduga Lakukan Pelecehan Seksual, Begini Cara Pilih Psikolog yang Tepat

"Lebih baik dari awal ngomong, 'saya nggak mau terapi yang sifatnya sentuhan'.

"Nah kalau pun ada sentuhan, pastikan jenis kelaminnya sama," kata Adib.

"Itu bisa dibicarakan dari awal, masyarakat harus tahu," sambungnya.

Adib menjelaskan, memang terdapat sejumlah metode terapi yang menerapkan sentuhan fisik.

Namun, metode sentuhan tersebut tetap tergantung atas persetujuan klien.

Kendati demikian, Adib merasa kurang cocok dengan metode terapi yang menggunakan sentuhan.

"Kalau udah ada sentuhan rasanya kurang tepat walaupun dalam metode-metode tertentu memang ada sentuhan," tutur psikolog dari www.praktekpsikolog.com yang berkantor di Bintaro, Jakarta Selatan.

"Tapi saya sarankan kalau ada sentuhan, antara klien dan psikolog itu jenis kelaminnya sama," sambungnya.

Cara Mengenali Permintaan Tak Wajar

Sementara itu, Adib juga menerangkan mengenai bagaimana cara mengenali permintaan tak wajar saat sedang dalam sesi training atau konseling bersama psikolog.

Sentuhan dalam sesi terapi dapat disebut tak wajar apabila mulai menyentuh bagian-bagian tubuh selain tangan, kaki, dan kepala.

Ilustrasi pelecehan seksual (Trubun Lampung/Dody Kurniawan)

"Yang jelas kalau dia mau menyentuh selain tangan, selain kaki, kepala, itu kemungkinan besar nggak wajar, itu bisa aja terjadi pelecehan," terangnya.

Kalaupun akan melakukan sentuhan, Adib menuturkan, seorang psikolog pasti akan memberi penjelasan sebelum terapi dimulai.

"Dia akan menjelaskan kalau nanti ada sentuhan begini, begini, gitu," jelas Adib.

"Sebelum ada terapi, ada kesepakatan dulu," lanjutnya.

Cara Memilih Psikolog

Semenjak dugaan pelecehan seksual yang dilakukan DS merebak, tak sedikit masyarakat yang menjadi khawatir untuk melakukan konsultasi kepada psikolog.

Adib mengatakan terdapat sejumlah hal yang perlu diperhatikan untuk memilih psikolog yang tepat.

Berikut cara memilih psikolog yang tepat:

1. Pastikan psikolog memiliki lisensi dari HIMPSI

Adib menegaskan bahwa seluruh psikolog di Indonesia dipastikan memiliki lisensi dari HIMPSI.

Menurut Adib, sangat penting bagi masyarakat untuk memastikan bahwa dirinya sudah ditangani oleh psikolog yang tepat.

Pasalnya, Adib mengatakan, sebuah kalimat saja dapat dipahami dengan makna yang berbeda-beda, tergantung dengan ilmu, persepsi, dan pemahaman yang dimiliki.

Ilustrasi Psikolog. (freepik.com)

Dengan konteks ilmu yang berbeda, pemahaman dari apa yang disampaikan orang lain pun akan berbeda.

Seseorang yang tidak benar-benar tersertifikasi sebagai psikolog diragukan memahami bahwa konteks masalah klien harus dilihat dengan sangat individual.

"Misal seseorang cerita tentang  kasusnya, itu konteksnya harus ditetapkan, masalahnya apa," terang Adib.

Adib menerangkan, dalam menangani kliennya, psikolog memahami bagaimana memetakan kondisi psikis seseorang.

Baca: DS Susanto Dituding Ngamar & Cium Tubuh Pasien, Sang Psikolog Semprot Revina: Fitnah Itu Kira-kira

"Nggak bisa dipukul rata kondisinya, misalkan 'wah semua terkena mental blok', kan nggak semua masalah mental block," jelas Adib.

"Misal klien ini sembuh, klien ini lama, makanya perlu psikolog yang menangani," sambungnya.

Adib menuturkan, seorang psikolog semestinya telah mengambil pendidikan profesi psikologi pada jenjang S-2.

"Di situ (S-2 Psikologi) sudah dipelajari bagaimana aspek-aspek manusia, bagaimana menghadapi seseorang yang trauma, bagaimana menghadapi seseorang yang tidak mau berbicara, bagaimana menghadapi orang yang paranoid, moody, benci orang tua.

Soal benci saja bermacam-macam," tutur Adib.

2. Pastikan terapi atau konseling dijalankan di pusat terapi

Menurut psikolog dari www.praktekpsikolog.com yang berkantor di Bintaro, Jakarta Selatan ini, seorang psikolog tidak mungkin mengajak kliennya menjalankan terapi maupun konseling di hotel.

Adib mengatakan, seorang psikolog basanya menjalankan terapi di tempat prakteknya, baik tempat praktek pribadi maupun tempat praktek psikolog.

"Buat masyarakat, yang paling penting dipahami adalah diketahui bahwa terapi pasti di tempat praktek, bukan di hotel karena hotel rentan," kata Adib saat dihubungi Tribunnews.com, Senin (17/2/2020) pagi.

3. Psikolog Tidak Akan Mengumbar Curhatan Kliennya di Media Sosial

Menurut Adib, masyarakat juga perlu memilih psikolog yang tidak terlalu sosmed oriented.

Dikhawatirkan, psikolog tersebut memiliki maksud-maksud tertentu sehingga ia menyebarkan apa yang diceritakan oleh kliennya.

Adib menegaskan, psikolog tentu mengerti bahwa apa yang disampaikan oleh klien bersifat sangat rahasia.

"Jadi kalau ada psikolog yang suka mengumbar-ngumbar sesuatu di media sosial, mending jangan ke situ.

Kenapa? Karena dikhawatirkan rahasia klien tidak dijaga dengan baik, padahal itu sesuatu yang sifatnya harus dirahasiakan sampai kapan pun," terang Adib.

4. Jangan Terima yang Gratisan

Adib juga menyarankan masyarakat untuk tidak tergiur tawaran terapi gratis.

"Jangan sampai ada yang gratis-gratisan, kita kan nggak pernah tahu apa maksud orang," kata dia.

Surat-Surat yang Dimiliki Psikolog Klinis

Adib menambahkan, untuk menghindari praktek psikolog abal-abal, perlu diketahui bahwa terdapat sejumlah surat yang harus dimiliki psikolog klinis.

Surat tersebut di antaranya:

1. Ijazah S1 Psikologi dan S2 Psikologi

2. Surat Izin Praktek Psikologi (SIPP)

3. Surat Sebutan Psikolog

4. Sertifikat Sumpah Profesi Psikolog Klinis

5. Surat Tanda Registrasi (STR), hanya dimiliki psikolog klinis

6. Hasil Uji Kredensial

7. Surat Izin Praktik Psikolog Klinis (SIPPK)

Adib mengatakan, yang paling wajib dimiliki psikolog yaitu Ijazah S-1 Psikologi, Ijazah S-2 Psikologi, dan SIPP.

Sementara, psikolog yang menangani klien di Rumah Sakit bersama psikiater harus memiliki lima surat lainnya yang terdapat dalam daftar di atas.

(Tribunnews.com/Widyadewi Metta)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini