TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) meminta pemerintah segera melakukan edukasi mitigasi dan pemetaan daerah rawan bencana menyusul adanya potensi gempa megathrust 8,7 SR di pesisir selatan Jawa Barat dan Banten.
Hasil kajian BMKG yang dilakukan pada tahun 2011 menunjukkan bahwa zona megathrust selatan Sukabumi memiliki magnitudo gempa 8,7 SR.
Baca: Tumpangi Kapal TNI, 188 WNI Telah Tiba di Pulau Sebaru
Baca: BMKG Gelombang Tinggi Besok (29/2/2020), Siklon Tropis Ferdinand Berdampak pada Tingginya Gelombang
Kajian potensi bahaya dianggap sangat penting dilakukan untuk tujuan mitigasi dan pengurangan risiko bencana, bukan untuk menakut-nakuti masyarakat, melainkan agar pemerintah daerah segera menyiapkan upaya mitigasinya secara tepat, baik mitigasi struktural (teknis) maupun kultural (non teknis).
"Untuk itu, di tengah ketidakpastian kapan akan terjadi gempa yang berpotensi memicu tsunami, maka yang perlu dilakukan adalah upaya mitigasi dengan menyiapkan langkah-langkah kongkret untuk meminimalkan risiko kerugian sosial, ekonomi, dan korban jiwa seandainya gempa benar terjadi," ujar Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono dalam pernyataannya, Jumat(28/2/2020).
Wilayah pesisir Sukabumi secara tektonik berhadapan dengan zona megathrust Samudera Hindia yang merupakan zona subduksi lempeng aktif dengan aktivitas kegempaan yang tinggi.
Catatan sejarah menunjukkan bahwa wilayah selatan Jawa Barat dan Banten sudah beberapa kali terjadi gempa kuat, seperti pada 22 Januari 1780 (M=8.5), 27 Februari 1903 (M=8.1), dan 17 Juli 2006 (M=7.8).
Hasil pemodelan peta tingkat guncangan gempa (shakemap) oleh BMKG dengan skenario gempa dengan magnitudo M=8,7 di zona megathrust, menunjukkan dampak gempa di Sukabumi dapat mencapai skala intensitas VIII-IX MMI yang artinya "dapat merusak bangunan".
Jika besaran magnitudo M=8,7 ini digunakan untuk masukan skenario model tsunami, maka wilayah Pantai Sukabumi diperkirakan berpotensi mengalami status ancaman “AWAS” dengan tinggi tsunami di atas 3 meter.
Namun demikian kata Daryono satu hal penting yang harus dipahami oleh masyarakat bahwa besarnya magnitudo M=8,7 tersebut adalah potensi hasil kajian dan bukan prediksi.
Meskipun kajian ilmiah mampu menentukan potensi magnitudo di zona megathrust, akan tetapi hingga saat ini teknologi belum mampu memprediksi dengan tepat dan akurat kapan gempa akan terjadi.
"Penting kiranya pemerintah memperhatikan peta rawan bencana sebelum merencanakan penataan ruang dan wilayah. Termasuk dalam hal ini adalah penataan ruang pantai yang aman tsunami. Perlu ada upaya serius dari berbagai pihak dalam mendukung dan memperkuat penerapan “building code” dalam membangun struktur bangunan tahan gempa, "kata Daryono.
Adanya hasil kajian potensi bencana oleh para ahli lanjut Daryono jangan sampai membuat masyarakat yang bermukim di dekat sumber gempa dan daerah rawan tsunami dicekam rasa takut dan khawatir.
Warga masyarakat harus meningkatkan kemampuan dalam memahami cara penyelamatan saat terjadi gempa dan tsunami serta mengikuti arahan pemerintah dalam melakukan evakuasi.
"Jalur evakuasi ataupun shelter untuk tempat penyelamatan darurat perlu disiapkan dengan memadai. Kegiatan sosialisasi di daerah rawan harus digalakkan, karena dapat membuat masyarakat lebih siap dalam menghadapi bencana. Kesiapan dalam menghadapi bencana terbukti dapat memperkecil jumlah korban, "ujarnya.
Kepada masyarakat diimbau agar tetap tenang dan tidak mudah terpancing isu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Pastikan informasi gempa bumi berasal dari lembaga resmi pemerintah dalam hal ini BMKG.(Willy Widianto)