TRIBUNNEWS.COM, Jakarta - Banyak daerah di Indonesia yang masyarakatnya menjadi contoh, dalam kaitan hubungan antarwarga, antarpemimpin dan warga, antarumat beragama, dan pesan kerukunan serta kedamaian dalam kehidupan sehari-hari.
Paling tidak, ini terlihat dari gambaran utuh bagaimana sebuah Kabupaten Boalemo di Gorontalo, patut menjadi contoh di tengah hiruk pikuk isu keagamaan yang membuat masyarakat bimbang.
Deskripsi kehidupan masyarakat Boalemo dan keindahan alamnya, tergambar dalam buku karya sastrawan Bandung, Faisal Syahreza berjudul “Boalemo Surga yang Tertidur”.
Buku yang ditulis berdasarkan kunjungan langsung selama satu bulan di Boalemo itu diterbitkan oleh Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), 2019.
Buku Boalemo dibedah oleh kritikus sastra Damhuri Muhammad dalam acara yang diadakan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta, Rabu (2/12) secara langsung dan juga daring.
Selain buku Boalemo ini, juga dibedah buku karya berjudul “Model Pembelajaran Literasi untuk Jenjang Prabaca dan Pembaca Dini : Panduan bagi Orang Tua dan Guru” karya Sofie Dewayati.
Pembedah buku ini Dewi Utami Faizah dan Kak Awan, pendiri Kampung Dongeng Indonesia.
Kritikus sastra, Damhuri Muhamad yang membedah buku tentang Boalemo ini mengakui betapa luar biasanya masyarakat Boalemo dalam memaknai hidup dan kehidupan, termasuk bagaimana mereka berdamai dengan alam.
Menurut Damhuri, Boelemo adalah tempat yang indah di Gorontalo. Suatu tempat yang seperti surga. Surga kedamaian atau surga dalam kemajemukan, surga itu mau dibangunkan. Boalemo dalam kedamaian, surga dalam hidup kemajemukan. Surga adalah metafora Boalemo.
Membaca karya Syahreza tentang Boalemo ini seakan kita diajak menelusuri kehidupan masyarakat di sana, dari satu dusun ke dusun lain dengan kearifan serta kreativitas masyarakatnya yang penulis sendiri mengaku kalah meski dari daerah yang dikenal sebagai salah satu pusat kreativitas masyarakat yakni Jawa Barat.
“Boalemo, Surga yang Tertidur. Orang Boalemo yang sejak pertama kalinya saya menginjakkan kaki, menurut saya sudah menjadi ‘perpustakaan’ yang lebih kaya dari buku-buku tentang Boalemo itu sendiri. Mereka punya pandangan yang kadang sederhana, tetapi dalam memaknai berbagai nilai hidup. Hati mereka tulus dan wawasan mereka terasa sangat mendalam dengan jiwa yang masih memegang erat berpegang teguh akan akar tradisi Gorontalo dalam bermasyarakat,” papar Syahreza.
Di bagian lain diungkapkan Syahreza, kerukunan kehidupan masyarakat di sebuah desa bernama Desa Tri Rukun yang didiami mayoritas warga pendatang Bali beragama Hindu, lalu penduduk beragam Islam, dan Kristen, hidup berdampingan, saling merawat dan hidup sangat rukun.
Pembelajaran Literasi
Pada sesi siang yakni bedah buku “Model Pembelajaran Literasi untuk Jenjang Prabaca dan Pembaca Dini : Panduan bagi Orang Tua dan Guru”, pembedah buku yakni Dewi Utama menjelaskan banyak mengenai bagaimana menerapkan model pembelajaran untuk anak-anak usia prabaca dan pembacaan dini.
Dewi Utama memaparkan, para bayi mampu membedakan rasa manis, asin, pahit, sepat, asam, kasar, halus, panas, dan dingin.
“Alamlah yang mendidik mereka pertama kali sesaat setelah mereka dilahirkan dengan berbagai rasa melalui alat lima inderawi yang mereka punya,” katanya.
Dikemukakan Dewi Utama, semakin banyak anak mendengar dan mengucapkan kata-kata di rumah, itulah harta berharga sebelum masuk sekolah.
Dia juga mengungkapkan, hasil survei penilaian siswa pada PISA 2018 menunjukkan bahwa peringkat membaca Indonesia berada di urutan ke 74 dari 79 negara.
Mengapa literasi Itu penting, Dewi Utama menyebutkan hal itu menggambarkan penjenjangan buku secara utuh.
“Di mana Indonesia telah 75 tahun merdeka, beragam kondisi yang terjadi terkait dengan ini,” katanya.
Seorang peserta, Safrudingsih yang dikenal sebagai aktivis literasi dari Kampung Dongeng Jakarta Raya menilai, kegiatan ini sangat menarik dan mengedukasi serta memberi pencerahan kepada kita yang berasal dari berbagai komunitas serta penggiat literasi.
Pada awal acara kita mendapatkan informasi satu daerah yang cantik yang penuh kedamaian yang pasti sangat dirindukan oleh masyarakat Indonesia akhir-akhir ini.
“Di sesi siang setelah makan siang sesi edukasi yang tak kalah menarik dengan paparan ibu Dewi sebagai penggiat literasi dan kak awam dari kampung dongeng yang membuat para peserta tetap bertahan karena mendapat ilmu terkait dengan bagaimana mendongeng. Kelihaian Kak Awam dengan menunjukkan berbagai macam suara, membuat peserta menjadi lebih antusias,” ujar Safrudiningsih yang akrab disapa Ning, dan juga pendiri Taman Bacaan “Bukdur Bercerita” di kawasan Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan ini. (*)