TRIBUNNEWS.COM - Puncak Hujan Meteor Phoenicid terjadi pada 6-7 Desember 2021.
Femomena langit ini dapat disaksikan di Indonesia.
Mengutip edukasi.sains.lapan.go.id, Phoenicid adalah hujan meteor yang titik asal kemunculan meteornya berada di konstelasi Phoenix, dekat bintang Alfa Eridani (Achernar) konstelasi Eridanus.
Hujan meteor ini bersumber dari sisa debu Komet 289P/Blanpain yang mengorbit matahari selama 5,1 tahun.
Hujan meteor ini dapat disaksikan pada Senin (6/12/2021) saat awal senja bahari, yakni 20 menit setelah ternenam matahari hingga Selasa (7/12/2021) pukul 02.15 waktu setempat dari arah Tenggara hingga Barat Daya.
Intensitas hujan meteor ini untuk Indonesia berkisar 51 meteor/jam di Sabang.
Sementara di Pulau Rote, intensitas hujan meteor ini hingga 74 meteor/jam.
Baca juga: Fenomena Astronomis Bulan Desember 2021 Pekan Kedua: Terjadinya Fase Bulan Perbani Awal
Baca juga: Fenomena Astronomis Nadir Kabah Bukti Bumi Berbentuk Bulat, Inilah Hukum Islam Menghadap Kiblat
Hal tersebut dikarenakan titik radian berkulminasi pada ketinggian 31 sampai 48 derajat arah selatan.
Sedangkan intensitas hujan meteor saat di zenit sebesar 100 meteor/jam.
Meski begitu, hujan meteor ini dapat disaksikan oleh masyarkat di Indonesia.
Lantas, bagaimana cara menyaksikan Hujan Meteor Phoenicid?
Menurut LAPAN, untuk dapat melihat fenomena ini, pastikan cuaca sedang cerah dan bebas dari penghalang maupun polusi cahaya di sekitar medan pandang.
Hal ini karena intensitas hujan meteor berbanding lurus dengan 100 persen minus persentase tutupan awal dan berbanding terbalik dengan sisa skala Bortle.
Bortle merupakan skala yang menunjukkan tingkat polusi cahaya.
Semakin besar skalanya maka semakin besar pula polusi cahaya yang timbul.
Berikut fenomena langit lainnya yang terjadi di bulan Desember:
1. Puncak Hujan Meteor Puppid Velid (7-8 Desember)
Puppid-Velid adalah hujan meteor yang titik radiannya berada di dekat bintang Gamma Velorum (Regor) konstelasi Vela yang berbatasan juga dengan konstelasi Puppis.
Hujan meteor ini bersumber dari sisa debu Komet 96P/Machholz yang mengorbit Matahari dengan periode 1,93 tahun.
Hujan meteor ini dapat disaksikan sejak pukul 21.00 waktu setempat hingga keesokan harinya saat akhir fajar bahari.
2. Puncak Hujan Meteor Monocerotid (9-10 Desember 2021)
Monocerotid merupakan hujan meteor minor yang titik radiannya (titik asal kemunculan meteor) berada di dekat konstelasi Monoceros yang berbatasan dengan konstelasi Orion dan Gemini.
Hujan meteor ini bersumber dari sisa debu asteroid 2004 TG10 yang mengorbit Matahari dengan periode 3,34 tahun dan juga menjadi sumber bagi hujan meteor Taurid Utara.
Hujan meteor ini dapat disaksikan sejak pukul 19.40 waktu setempat hingga keesokan harinya saat akhir fajar bahari (25 menit sebelum terbenam Matahari) dari arah Timur hingga Barat.
Intensitas hujan meteor ini untuk Indonesia mencapai 1,9-2 meteor/jam (Sabang hingga P. Rote).
Hal ini karena titik radian berkulminasi pada ketinggian 71°-88° pada arah utara, sementara intensitas hujan meteor saat di zenit sebesar 2 meteor/jam.
Pastikan cuaca cerah dan bebas dari penghalang maupun polusi cahaya di sekitar medan pandang.
Hal ini dikarenakan intensitas hujan meteor ini berbanding lurus dengan 100% minus persentase tutupan awan dan berbanding terbalik dengan skala Bortle (skala yang menunjukkan tingkat polusi cahaya, semakin besar skalanya maka semakin besar polusi cahaya yang timbul).
3. Puncak Hujan Meteor Chi-Orionid (10-11 Desember 2021)
Chi-Orionid merupakan hujan meteor minor yang titik radiannya (titik asal kemunculan meteor) berada di dekat bintang Chi-Orionis konstelasi Orion.
Hujan meteor ini bersumber dari sisa debu asteroid 2004 TG10 yang mengorbit Matahari dengan periode 3,35 tahun.
Hujan meteor ini dapat disaksikan sejak awal senja astronomis (50 menit setelah terbenam Matahari) waktu setempat hingga keesokan harinya saat akhir fajar bahari (25 menit sebelum terbenam Matahari) dari arah Timur hingga Barat.
Intensitas hujan meteor ini untuk Indonesia mencapai 2,5-2,9 meteor/jam (Sabang hingga P. Rote).
4. Fase Bulan Perbani Awal (11 Desember 2021)
Fase perbani awal adalah salah satu fase Bulan ketika konfigurasi antara Matahari, Bumi dan Bulan membentuk sudut siku-siku (90°) dan terjadi sebelum fase Bulan purnama.
Puncak fase perbani awal terjadi pada pukul 08.35.33 WIB / 09.35.33 WITA / 10.35.33 WIT.
Sehingga, Bulan perbani awal ini sudah dapat disaksikan sejak terbit saat tengah hari dari arah Timur, berkulminasi di zenit (untuk lintang 6°-7°LS) setelah terbenam Matahari dan kemudian terbenam di arah Barat setelah tengah malam.
Bulan berjarak 386.568 km dari Bumi saat puncak fase perbani awal dan berada di sekitar konstelasi Akuarius.
5. Komet C/2021 A1 (Leonard) Melintas Dekat Bumi (12 Desember 2021)
Komet C/2021 A1 Leonard adalah komet berperiode panjang yang ditemukan oleh G.J. Leonard di Observatorium Mount Lemmon pada 3 Januari 2021.
Periode orbit komet ini mencapai 80.000 tahun dengan kemiringan orbit 132,68° atau bergerak secara retrograd.
Komet ini akan melintas dekat Bumi pada 12 Desember dengan jarak terdekatnya dari Bumi sejauh 0,233 satuan astronomi (sa) atau 34.857.000 km.
Saat melintas dekat Bumi, magnitudo komet Leonard mencapai +1,2 yang menandakan bahwa komet ini dapat disaksikan tanpa menggunakan alat bantu optik.
Sayangnya, komet ini hanya dapat disaksikan oleh wilayah pada lintang 29°LU atau lebih tinggi dari arah timur dekat konstelasi Ofiukus.
Baca juga: Mengenal Gerhana Matahari, Proses Terjadinya, Lima Jenis Gerhana, dan Dampaknya terhadap Bumi
Baca juga: Fenomena Astronomis Desember 2021 Pekan Pertama: Gerhana Matahari Total hingga Puncak Hujan Meteor
Sehingga, komet ini tidak dapat disaksikan di lintang rendah dan belahan selatan, termasuk Indonesia.
Komet ini akan mencapai perihelion pada 3 Januari 2022 dengan jarak 0,615 sa atau 92 juta km dari Matahari dengan magnitudo +5,8 yang menandakan bahwa komet ini hanya dapat disaksikan tanpa menggunakan alat bantu optik jika cuaca benar-benar cerah.
6. Puncak Hujan Meteor Sigma-Hydrid (12-13 Desember 2021)
Sigma-Hydrid merupakan hujan meteor minor yang titik radiannya (titik asal kemunculan meteor) berada di dekat bintang Sigma Hydrae konstelasi Hydra yang berbatasan dengan konstelasi Monoceros.
Hujan meteor ini bersumber dari sisa debu benda langit yang tidak diketahui dan pertama kali diamati oleh Richard E. McCrosky dan Annette Posen.
Hujan meteor ini dapat disaksikan sejak pukul 21.15 waktu setempat hingga keesokan harinya saat akhir fajar bahari (25 menit sebelum terbenam Matahari) dari arah Timur hingga Barat.
Intensitas hujan meteor ini untuk Indonesia berkisar 2,9-3 meteor/jam (Sabang hingga P. Rote).
7. Puncak Hujan Meteor Geminid (14-15 Desember 2021)
Geminid adalah hujan meteor utama yang titik radiannya (titik asal kemunculan meteor) berada di dekat bintang Alfa Geminorum (Castor) konstelasi Gemini.
Hujan meteor ini bersumber dari sisa debu asteroid 3200 Phaethon (1983 TB) yang mengorbit Matahari yang mengorbit Matahari dengan periode 523,6 hari.
Hujan meteor Geminid dapat disaksikan sejak pukul 20.30 waktu setempat hingga keesokan harinya saat akhir fajar bahari (25 menit sebelum terbenam Matahari) dari arah Timur Laut hingga Barat Laut.
Intensitas hujan meteor ini untuk Indonesia berkisar 86 meteor/jam (Sabang) hingga 107 meteor/jam (P. Rote).
(Tribunnews.com/Yurika/Latifah)