TRIBUNNEWS.COM - Mahfud MD meminta pemerintah Indonesia tak hanya menyatakan keprihatinannya terkait kondisi etnis Uighur di Xinjiang, China.
Hal tersebut Mahfud MD sampaikan dalam cuitan di akun Twitter pribadinya, @mohmahfudmd, Kamis (20/12/2018).
Menurut pakar hukum dan tata negara itu, pemerintah tak seharusnya hanya menyatakan prihatin soal kondisi terbaru etnis Uighur.
Mahfud MD meminta pemerintah agar memgutus tim untuk berbicara secara resmi dengan pemerintah China.
Baca: Muslim Uighur dan perlakuan Cina terhadap mereka, yang perlu Anda ketahui
Baca: Soal Muslim Uighur, Mahfud MD Bandingkan Sikap Pemerintah Indonesia dalam Kasus Rohingya
Baca: Amnesty International Indonesia: Terorisme Jadi Dalih Pemerintah Tiongkok Diskriminasi Etnis Uighur
Hal ini sama seperti yang dilakukan pemerintah RI saat kasus Rohingya, beberapa waktu lalu.
Dalam hal tersebut, menurut Mahfus MD, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) mampu melakukan perannya dengan cukup baik.
"Sekarang bisa juga, kan? MuSlim Uighur perlu bantuan perlindungan," tulis Mahfud MD.
Sebelumnya, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut juga menulis, agar pemerintah tidak tinggal diam.
Pemerintah Indonesia, menurut Mahfud MD seharusnya menggunakan jalur diplomatik untuk menghentikan penindasan terhadap etnis Muslim Uighur di China.
Hal ini sejalan dengan alinea pertama Pembukaan UUD 1945.
"Menurut Alinea I Pembukaan UUD 1945 kita merebut kemerdekaan utk menjaga derajat kemanusiaan dari penistaan manusia lain (panjajahan).
Indonesia hrs menggunakan jalur diplomatik utk menghentikan penindasan thd muslimin di Uighur sesuai dgn tujuan negara yg keempat.
Tdk boleh diam," tulis pria asal Madura ini.
Sebagaimana diketahui, pemerintah China dihujani kritik dari masyarakat dunia atas perlakuan yang dianggap menindas sejumlah besar warga suku Uighur, seperti menahan mereka di kamp-kamp khusus.
Suku Uighur adalah kelompok minoritas Muslim di China yang berjumlah sekitar 11 juta orang dan bermukim di bagian barat negara ini.
Pada Agustus 2018, sebuah komite PBB mendapat laporan, hingga satu juta warga Uighur dan kelompok Muslim lainnya ditahan di wilayah Xinjiang barat.
Di sana mereka menjalani apa yang disebut program 'reedukasi, atau 'pendidikan ulang'.
Respons pemerintah Indonesia
Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan, Indonesia masih menunggu informasi terkait kondisi aktual warga Uighur Xinjiang.
Ia mengatakan, pada 17 Desember lalu, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi telah memanggil Dubes China di Indonesia untuk menyampaikan keprihatinan.
Selain itu, juga telah memerintahkan Duta Besar RI di Beijing untuk melihat keadaan sebenarnya di Xinjiang, RRC.
"Semuanya menunggu laporan dari Kedubes dan follow up dari pertemuan, pemanggilan Dubes China ke Menlu pada tanggal 17 lalu," ujar JK, di Kantor Wapres RI, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Kamis (20/12/2018).
Sementara itu, Menteri Agama, Lukman Hakim Syaifuddin mengatakan, Pemerintah RRC harus memberikan penjelasan terbuka terkait kondisi aktual warga Uighur Xinjiang.
Menurutnya, sejumlah informasi beredar tentang kondisi warga Uighur.
Satu di antaranya disebutkan telah terjadi separatisme sehingga menggerakkan simpatik masyarakat dunia.
"Dalam dunia global dengan kecepatan arus informasi seperti saat ini, kondisi masyarakat Uighur penting untuk diketahui masyarakat dunia."
"Maka, akan jauh lebih baik bila pihak otoritas Pemerintah RRC langsung yang menjelaskan ke masyarakat dunia, agar tak menimbulkan dugaan-dugaan yang tak berdasar," ujar Menag di Jakarta, Rabu (19/12/2018).
(Tribunnews.com/Sri Juliati)