TRIBUNNEWS.COM - Akhir-akhir ini sejumlah warganet kembali mengeluhkan masih mahalnya harga tiket pesawat.
Tidak hanya harga tiket pesawat yang mahal, penumpang juga terbebani dengan tarif bagasi yang kini tak lagi gratis.
Berikut Tribunnews.com merangkum fakta-fakta terkait mahalnya harga tiket pesawat:
1. Mantan Menteri Singgung Pesawat Sepi
Sepinya penumpang pesawat di antaranya diungkap oleh mantan Menteri Komunikasi dan Informasika (Menkominfo), Tifatul Sembiring.
Melalui akun twitternya, @tifsembiring, Tifatul mengunggah sebuah kondisi di dalam pesawat yang sepi penumpang.
Baca: 6 Tips dan Trik Dapatkan Tiket Pesawat Termurah, Dijamin Liburanmu Makin Hemat
Tifatul mempertanyakan apakah sepinya penumpang imbas dari harga tiket pesawat yang terlalu tinggi.
Sayangnya, mantan menteri dari PKS ini tidak menjelaskan foto pesawat apa dan tujuan mana yang ia unggah tersebut.
"Apakah mungkin karena harga tiket pesawat naik terlalu tinggi ya. Penumpang jadi sepi. Biasanya sering penuh...," tulis dia pada 30 Januari 2019 lalu.
2. Alasan harga tikep pesawat rute domestik lebih mahal
Dikutip dari pemberitaan Kompas.com, 30 Januari 2019, Direktur Niaga Garuda Indonesia, Pikri Ilham Kurniansyah membeberkan alasan kenapa harga tikep pesawat rute domestik lebih mahal dibanding harga tiket rute internasional.
Menurut dia, pada penerbangan internasional para maskapai melakukan strategi marketing yang berbeda.
“Di internasional kita menggunakan bauran produk dan harga yang sangat dalam."
"Jadi kita bisa memberikan gimmick, (tarif) bisa satu rupiah atau satu dollar, tapi dalam jumlah seat yang terbatas,” ujar Pikri di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (29/1/2019) malam.
Pikri mencontohkan, Garuda Indonesia memiliki kapasitas 30 kursi kelas bisnis untuk penerbangan Jakarta-Amsterdam.
Untuk kelas bisnis itu, perusahaannya mengenakan tarif 3.000 dollar AS.
Baca: Penyebab Harga Tiket Pesawat Rute Domestik Lebih Mahal dari Internasional
Jika tingkat keterisian kelas bisnis tersebut mencapai 80 persen, pihaknya bisa mendapatkan penghasilan sebesar 75.000 dollar AS.
Selanjutnya, dari total 300 kursi untuk kelas ekonomi, perusahaanya menjual 100 di antaranya dengan harga 1.500 dollar AS.
Jika 100 kursi itu terisi penuh, pihaknya bisa mengantongi pendapatan 150.000 dollar AS.
Nantinya, 50 kursi lagi bisa digunakan perusahaanya untuk menerapkan strategi marketing.
Caranya dengan menjual harga tiketnya di bawah rata-rata.
“Setelah total, kami masih punya 50 seat lagi yang bisa kita gunakan untuk marketing gimmick. (Tiket ke) Eropa (dijual) Rp 4 juta, atau Rp 3 juta. Tetapi itu sebenarnya dalam seat yang terbatas,” kata Pikri.
Dia menambahkan, ada maskapai yang menjual tiket rute Aceh-Kuala Lumpur-Jakarta seharga Rp 700.000.
Namun, jumlah seat yang tersedia dengan harga tersebut terbatas.
“Kalau semuanya dia jual Rp 700.000, kalau dia bisa bertahan dalam satu bulan saya angkat topi. Karena internasional menggunakan gimmick,” ucap dia.
Pikri menuturkan, di penerbangan domestik para maskapai nasional memampang harga tanpa adanya gimmick.
Harga yang sudah terpampang tersebut memiliki kapasitas seat yang banyak.
Menurut dia, hal tersebut yang menyebabkan harga tiket rute domestik terlihat lebih mahal ketimbang rute internasional.
“Saya kira itu kenapa (harga tiket) domestik dan internasional berbeda. Metode tarifnya berbeda, karena di sini diatur dalam tarif batas atas dan tarif batas bawah, tapi di internasional tidak."
"Kami bisa jual Rp 500.000 sampai Rp 1 juta tergantung demand. Kalau orang kepepet beli tiket di hari H, yasudah bisa sampai Rp 6 juta ke Singapura,” kata Pikri.
3. Harga Tiket saat Ini
Pnelusuran Tribunnews.com di situs Traveloka pada Kamis (7/2/2019), harga tiket pesawat tujuan Medan-Jakarta dikisaran Rp 1,1 juta hingga 2 juta.
Untuk penerbangan hari Kamis (7/2/2019) misalnya, tiket Medan -Jakarta dengan maskapai Citilink dibanderol dengan harga Rp 2.074.000.
Sementara, maskapai Lion Air untuk penerbangan hari Jumat besok menetapkan harga Rp 1.942.000.
Harga termurah untuk bulan Februari yakni untuk penerbangan pada 24 Februari yakni maskapai JetStar dengan harga Rp 1.092.860.
4. Dugaan Penyebab Tiket Pesawat Mahal
Dikutip dari TribunBatam, fenomena mahalnya harga tiket pesawat sebenarnya tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di hampir seluruh Asia Tenggara, khusunya untuk penerbangan domestik dan jarak pendek.
Sebuah artikel yang dilansir South China Morning Post, Senin (4/2/2019) menggambarkan masalah besar yang dihadapi oleh hampir semua maskapai penerbangan di Asia Tenggara dalam kuartal terakhir.
Baca: Dampak Kenaikan Harga Tiket Pesawat dan Penerapan Bagasi Berbayar
Lonjakan penumpang yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir di Asia, terutama Asia Tenggara, ternyata tidak berbanding lurus dengan keuntuhngan maskapai.
SCMP mengutip laporan terakhir oleh CAPA Centre for Aviation yang berbasis di Sydney.
Menurut studi CAPA, dari 20 maskapai penerbangan yang ada di Asia Tenggara, hanya enam perusahaan saja yang mencatatkan untung, sementara 14 lagi merugi.
Bahkan, dari 20 maskapai tersebut, 19 diantaranya mencatat penurunan laba dari periode Juli hingga September 2018, dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Studi tersebut mengatakan, Asia Tenggara adalah pasar dengan pertumbuhan penumpang yang cepat namun tidak menghasilkan untung.
Bahkan, studi itu memperkirakan "profitabilitas kemungkinan akan tergelincir lebih dalam setelah memburuknya kondisi pasar".
“Ini sudah terjadi selama beberapa tahun. Alasan utamanya adalah tingkat persaingan yang ketat,” kata Brendan Sobie, penulis studi tersebut, seperti dilansir TribunBatam.id dari South China Morning Post.
“Maskapai telah berjuang untuk menaikkan tarif yang terus turun meskipun ada peningkatan permintaan. Mereka tidak bisa menaikkan harga tiket ketika bahan bakar naik. "
Para eksekutif dari maskapai penerbangan lama dan maskapai berbiaya rendah sama-sama dibiarkan mencari jawaban dan semuanya menunjukkan kesulitan tersebut.
Krittaphon Chantalitanon, wakil presiden strategi komersial di Thai Airways mengatakan, maskapai yang berbasis di Bangkok itu menghadapi tantangan persaingan "dengan kesulitan".
"Angka-angkanya bagus dan tidak begitu baik," katanya. “Kami harus bekerja sangat keras, hanya untuk melihat pasar dan mencoba menyesuaikan inventaris dan permintaan dan segala sesuatu yang lain untuk menyesuaikan dengan pasar."
“Kita harus menjadi lebih ramping, menjadi lebih efisien. Kita perlu melihat ke kiri, kanan dan tengah untuk pasar baru, hanya untuk mempertahankan diri kita sendiri. "
Malaysia Airlines saat ini sedang berjuang untuk memulihkan US$ 1,8 miliar yang menguap pada tahun 2015, setelah hilangnya dua pesawat mereka.
Satu pesawat Malaysia hilang tak tentu rimbanya --hingga saat ini-- dan satu lagi jatuh tertembak di wilayah Rusia, pada tahun yang sama.
Akibatnya, Malaysia Airlinies menutup penjualan sahamnya di bursa karena terus mengalami pendarahan hebat.
“Malaysia Airlines tetap teguh di balik rencana restrukturisasi dan pemulihan. Kami membuat traksi yang baik pada tahun 2016 dan meluncur kembali pada tahun 2017, tapi kami belum mencapai titik impas pada tahun 2018,” kata CEO Izham Ismail, akhir tahun lalu.
Baca: Polemik Harga Tiket Pesawat, Mulai Dari Biaya Avtur Hingga Maskapai Diminta Naikkan Bertahap
Izham memperkirakan bahwa tahun 2019 akan semakin menantang dan mereka akan membuat target yang sangat besar.
"Jika Anda bertanya, apakah transformasi kami sudah lancar, pasti tidak. Ini kerja keras, namun pulang frustrasi setiap hari. "
5. Tanggapan Otoritas Bandara
Harga tiket pesawat Putussibau-Pontianak dan sebaliknya, masih tetap bertahan berkisar Rp 1,09 juta dan Rp 1,042 juta.
Jauh beda harga pada sebelumnya, hanya sekitar Rp 500 ribu hingga Rp 800 ribu.
Mahalnya harga tiket pesawat tersebut, juga mendapat keluhan dari masyarakat.
"Susah sekarang ini, mau naik pesawat ke Pontianak harga tiket mahal sudah sampai satu juga lebih," ujar seorang warga Putussibau Muhyan, Rabu (6/2/2019).
Menanggapi keluhan masyarakat soal harga tiket pesawat mahal, Pelaksana Harian Kepala Bandara Pangsuma Putussibau, Saprudin menyatakan, berdasarkan Peraturan Menteri nomor 14 tahun 2016 tentang tarif batas atas, dan batas bawah penumpang pelayanan kelas ekonomi angkutan udara dalam negeri harga tiket ambang tertinggi Nam Air sebesar Rp 1.173.450 dan ambang bawah Rp 373.035.
"Sedangkan untuk ambang tertinggi Wings Air sebesar Rp 1.109.925 dan ambang bawah Rp 353.977. Jadi selama ini belum pernah terjadi harga tiket pesawat di atas ambang tertinggi sesuai ketentuan," ujarnya kepada wartawan, Rabu (6/2/2019).
Saprudin menjelaskan, saat ini hanya ada dua maskapai penerbangan yaitu Nam Air dan Wins Air dengan rute penerbangan Putussibau - Pontianak dan sebaliknya.
"Untuk Garuda Indonesia sudah tidak lagi melayani penerbangan di Putussibau-Pontianak ataupun sebaliknya," ucapnya.
Terkait harga tiket pesawat kata Saprudin, saat ini untuk Nam Air mencapai Rp 1.090.0000 dan untuk Wings Air sebesar Rp 1.042.000.
Menurutnya, pihak Bandara Pangsuma juga melakukan pengawasan terhadap harga tiket pesawat.
"Apabila ada maskapai yang menjual harga tiket di atas ambang tertinggi, maka pihak bandara akan menyurati maskapai serta dilaporkan pada direktorat jenderal perhubungan," ujarnya.
Sedangkan rata-rata penumpang dalam sepekan ini, jelas Saprudin dari masing-masing dua maskapai itu mencapai sekitar 42 orang penumpang.
"Sebenarnya di Bandara Pangsuma ada tiga maskapai namun untuk Garuda tidak lagi melayani penerbangan Putussibau - Pontianak, jadi sekarang hanya Nam Air dan Wings Air," ungkapnya.
(Tribunnews.com/Daryono)