News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pesawat Lion Air Jatuh

Sebagian Ahli Waris Korban Lion Air JT 610 Belum Dapat Santunan 1,25 M, Akan Lanjutkan Gugatan di AS

Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Fathul Amanah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Istri Korban Kecelakaan Lion Air JT 610 Alm. Eka Suganda, Merdian Agustin (kanan) didampingi Tim Pengacara Hary Ponto (kiri) memberikan keterangan terkait penyelesaian klaim asuransi bagi korban kecelakaan Lion Air JT 610 di Jakarta, Senin (8/4/2019). Dalam keterangannya, pihak korban mengungkapkan kekecewaannya terhadap maskapai Lion Air dan The Boeing Company, produsen pesawat Boeing 737 MAX 8 terkait penyelesaian klaim asuransi bagi korban kecelakaan Lion Air JT 610 dikarenakan sejumlah keluarga dan ahli waris korban belum mendapatkan kepastian mengenai pembayaran ganti rugi.

TRIBUNNEWS.COM - Update terbaru kasus kecelakaan Lion Air JT610, sebagian keluarga korban belum mendapat santunan sebesar Rp 1,2 miliar.

HampirĀ enam bulan sejak jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 perairan Karawang, Jawa Barat, sebagian keluarga korban belum menerima santunan.

Salah satunya yaitu Merdian Agustin, istri dari korban Lion Air JT610 yang bernama Eka Suganda.

Merdian menjelaskan, hingga saat ini belum menerima ganti rugi dari Lion Air karena menolak menandatangani sebuah dokumen release and discharge (R&D).

Penandatanganan dokumen release and discharge (R&D) berarti Merdian akan memberi jaminan pembebasan dari proses maupun tuntutan hukum kepada Lion Air dan pihak-pihak terkait kecelakaan tersebut.

Baca: CEO Boeing Minta Maaf, Keluarga Korban Kecelakaan Lion Air JT 610 Lanjutkan Gugatan di AS

Keluarga korban jatuhnya pesawat Lion Air, Eka Suganda, Merdian Agustin di Jakarta, Senin (8/4/2019). ((KOMPAS.com/AKHDI MARTIN PRATAMA))

"Enam bulan sejak kecelakaan, kami belum dapat kepastian pembayaran dari pihak maskapai. Kami bingung, frustrasi dan letih. Suami saya mendadak jadi korban tapi tanggung jawab maskapai hampir tidak ada," kata janda beranak tiga itu di Jakarta, Senin (8/4/2019).

"Terakhir dihadapkan pencairan ganti rugi harus tanda tangan dokumen release and discharge diwajibkan melepaskan tuntutan kepada banyak pihak, ada Lion Air, Boeing dan 200 anak perusahaan lain buat kami sangat tidak masuk akal," tambahnya.

Tak hanya Merdian, ada 10 anggota keluarga korban lain yang menuntut kompensasi Rp1,25 miliar tanpa menandatangani R&D.

Merdian beranggapan bahwa mendapatkan ganti rugi Rp1,25 miliar tersebut adalah haknya sebagai keluarga korbam.

Dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77/2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara menyebutkan, penumpang yang meninggal dunia akibat kecelakaan pesawat udara diberikan ganti rugi sebesar Rp1,25 miliar.

Hak atas ganti rugi ini dipertegas dengan Pasal 23 yang menyatakan besaran kerugian tidak menutup kesempatan bagi ahli waris menuntut ke pengadilan.

Baca: Keluarga Korban Kecelakaan Lion Air JT 610 Tolak Santunan Rp 1,25 Miliar, Ini Alasannya

Istri Korban Kecelakaan Lion Air JT 610 Alm. Eka Suganda, Merdian Agustin (kanan) didampingi Tim Pengacara Hary Ponto (tengah) serta Tim Pengacara dari Kabateck LLP Michael Indrajana (kiri) memberikan keterangan terkait penyelesaian klaim asuransi bagi korban kecelakaan Lion Air JT 610 di Jakarta, Senin (8/4/2019). Dalam keterangannya, pihak korban mengungkapkan kekecewaannya terhadap maskapai Lion Air dan The Boeing Company, produsen pesawat Boeing 737 MAX 8 terkait penyelesaian klaim asuransi bagi korban kecelakaan Lion Air JT 610 dikarenakan sejumlah keluarga dan ahli waris korban belum mendapatkan kepastian mengenai pembayaran ganti rugi. (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

"Walaupun peraturan sudah jelas, keluarga dipaksa untuk menandatangani Release and Discharge (R&D)," ucap Merdian seperti yang dilansir oleh Kompas.com

Merdian mengaku pernah dipanggil pihak Lion Air untuk membicarakan masalah ganti rugi.

Namun, saat itu Lion Air memaksa ahli waris untuk menandatangani Release and Discharge (R&D).

Dokumen ini mewajibkan keluarga dan ahli waris melepaskan hak menuntut kepada pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab atas kecelakaan itu.

R&D harus ditandatangani sebelum ganti rugi bisa diberikan ke pihak keluarga.

Merdian menolak.

Harry Ponto selaku tim pengacara Merdian dan keluarga korban JT610 lain, mengungkapkan bahwa permintaan Lion Air agar keluarga korban menandatangi R&D termasuk menyalahi aturan hukum.

"Pasal 23 (dari PM 77/2011l menyatakan besaran kerugian tidak menutup kesempatan bagi ahli waris menuntut ke pengadilan. Tidak ada persyaratan itu (tandatangan R&D berdasarkan undang-undang," kata Harry.

"Ayo sama-sama berjuang tegakkan. Berapapun ganti rugi tidak sepadan berapa kehilangannya, so please jangan dipersulit lagi. Keluarga korban harus lanjutkan kehidupan apalagi yang kehilangan pencari nafkah, tidak pada tempatnya kita berikan beban-beban tambahan," imbuhnya.

Selain itu, Harry meminta pemerintah berperan aktif dalam menyelesaikan persoalan antara keluarga korban dengan Lion Air.

"Kemenhub pernah keluarkan statement bahwa itu (tanda tangan R&D tidak relevan tapi cukup sampai di sana. Yang korban inginkan ada partisipasi aktif untuk setop selesaikan. Jangan berdiam dir karen bagian keberpihakan untuk dukung masyarakat," pungkasnya.

Untuk memperjuangkan hak-hak keluarga korban Lion Air JT 610, Denny Kailimang pendiri Kantor Advokat Kailimang & Harry Ponto bergabung bersama kelompok Advokat di Amerika Serikat untuk menggugat Boeing Company.

Tim Pengacara Hary Ponto memberikan keterangan terkait penyelesaian klaim asuransi bagi korban kecelakaan Lion Air JT 610 di Jakarta, Senin (8/4/2019). Dalam keterangannya, pihak korban mengungkapkan kekecewaannya terhadap maskapai Lion Air dan The Boeing Company, produsen pesawat Boeing 737 MAX 8 terkait penyelesaian klaim asuransi bagi korban kecelakaan Lion Air JT 610 dikarenakan sejumlah keluarga dan ahli waris korban belum mendapatkan kepastian mengenai pembayaran ganti rugi. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

Kelompok kuasa hukum para penggugat terdiri dari Brian S. Kabateck dari Kabateck LLP, Los Angeles, Steven Hart dari firma asal Chicago, Hart McLaughlin & Eldridge, serta Sanjiv Singh dari kantor hukum Sanjiv N. Singh dan Michael lndrajana dari kantor hukum lndrajana Law Group, keduanya dari San Mateo, California.

Hingga saat ini, terdapat 60 ahli waris korban Lion Air JT 610 yang mengajukan gugatan kepada Boeing.

"Boeing perlu segera menyelesaikan klaim dari keluarga. Keluarga yang terluka karena kehilangan orang-orang terkasih, kehilangan ibu, ayah, dan anak mereka dengan cara yang paling mengerikan. Boeing seharusnya bekerjasama dengan semua yang terlibat untuk menyelesaikan masalah ini sekarang," kata Brian Kabateck.

Para advokat yang mewakili para keluarga korban tragedi Lion Air menggugat Boeing atas kelalaian yang mengakibatkan kematian (wrongful death).

Gugatan ini diajukan di Cook County, negara bagian Illinois, Amerika Serikat lokasi kantor pusat produsen pesawat terbang tersebut.

Gugatan diajukan setelah 189 orang meninggal dalam kecelakaan yang membuat pesawat terjun bebas akibat kesalahan sistem anti-stall dan maneuvering characteristics augmentation system (MCAS), serta kelemahan petunjuk penerbangan dan prosedur operasional Boeing.

"Gugatan sudah masuk sejak November 2018 lalu. saat ini ada sekitar 60 keluarga JT 610 masukan gugatan ke AS. Kemarin ethiopian 1, 2 orang ada lah korbannya kenal lawyer terkenal di sana," kata Harry Ponto, kuasa hukum lainnya.

"Bagi keluarga ragu-ragu, bimbang kami harapkan mereka bisa ambil keputusan dan ikut bergabung dengan kami semua yang sudah ajukan ke AS. Kalaupun Boeing maupun out of the court settlement (penyelesaian tanpa jalur hukum) kita lihat saja, mudah-mudahan bisa sesuai, kalau tidak lanjut ke pengadilan," pungkasnya.

(Tribunnews.com Tiara Shelavie, Ria anatasia/Kompas.com)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini