Fahri Hamzah memberikan sindiran pedas untuk KPU. Nadirsyah Hosen atau Gus Nadir pertanyakan peran Fahri sebagai wakil ketua DPR RI.
TRIBUNNEWS.COM - Fahri Hamzah menyindir Komisi Pemilihan Umum (KPU), Nadirsyah Hosen pun bertanya balik tentang apa yang dilakukan Fahri sebagai wakil ketua DPR RI.
Hal ini bermula saat Fahri Hamzah menyindir KPU yang akan melaporkan berbagai hoaks tentang Pemilu 2019 kepada aparat penegak hukum.
Lewat akun Twitter-nya, Fahri Hamzah menulis cuitan soal ironi negara di mana rakyat menggaji KPU sebagai penyelenggara Pemilu yang anti curang.
Selain itu, rakyat juga menggaji polisi untuk menjaga keadilan.
Baca: Fahri Hamzah Klaim Prabowo-Sandiaga Menang Mutlak jika Pilpres 2019 Anut Sistem Pemilu Amerika
Baca: Fahri Hamzah Tegaskan Pentingnya Independensi Lembaga Perwakilan
Baca: Buat Surat Terbuka untuk PM Malaysia, Fahri Hamzah: Ijinkan Kami Mengetahui Siapa Pelakunya
Hal berbeda justru dilakukan dua instansi ini karena KPU akan melaporkan rakyat karena ribut soal kecurangan.
Sementara Polri memburu rakyat yang mengunggah soal ketidakadilan.
Fahri pun bertanya balik, lantas siapa yang akan melaporkan KPU dan Polri?
"Ironi negara:"
"Rakyat menggaji KPU sbg penyelenggara pemilu yg anti kecurangan."
"Rakyat menggaji POLRI untuk menjaga keadilan."
"Tapi KPU melapor rakyat karena ribut soal kecurangan."
"Dan POLRI memburu rakyat yg memposting ketidakadilan."
"Lalu siapa yg melaporkan KPU dan POLRI?" tulis Fahri Hamzah.
Baca: Jokowi Umrah, Fahri Hamzah Singgung Soal Niat, Fadli Zon Sebut Prabowo Sudah Duluan Masuk Kabah
Baca: Fahri Hamzah Berharap Umroh Jokowi dengan Niat Ibadah
Tak hanya itu, Fahri Hamzah juga menyinggung KPU yang menginput data salah (hoax) di situs resmi KPU.
Fahri meminta, jangan ada sampah di KPU, seperti halnya sampah di media sosial.
"Kalau rakyat dilapor oleh KPU ke POLISI karena mengirim berita hoax ke media sosial."
"Siapa yang melapor KPU ke POLISI karena menginput banyak data yang salah (hoax) ke situs resmi KPU?"
“banyak sampah di laman media sosial...tapi gak boleh banyak sampah di situ KPU dong..” tulis Fahri Hamzah.
Cuitan Fahri Hamzah itu pun menuai reaksi dari berbagai kalangan, satu di antaranya Nadirsyah Hosen atau Gus Nadir.
Rois Syuriah pengurus cabang istimewa NU Australia-Selandia Baru itu pun mempertanyakan peran Fahri Hamzah.
Sebab, Fahri Hamzah merupakan wakil ketua DPR RI yang juga bertugas mengawasi KPU.
Menurut Gus Nadir, pelanggaran kode etik KPU juga bisa dilaporkan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Bila tidak puas dengan keputusan KPU, bisa melayangkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Gus Nadir juga meminta Fahri Hamzah agar tidak melakukan provokasi pada rakyat sebab sudah ada sistemnya.
"Bro @Fahrihamzah lupa yah? Kan ada DPR yg bisa mengawasi KPU."
"Selaku wakil ketua DPR ente ngapain aja sampai lupa dg tugas dan fungsinya sendiri?"
"Pelanggaran kode etik KPU jg bisa dilaporkan ke DKPP. Gak puas? Gugat ke MK."
"Sudah ada sistemnya. Gak usah provokasi rakyat!"
KPU Berencana Laporkan Hoaks Pemilu ke Penegak Hukum
Sebagaimana diketahui, KPU berencana melaporkan berbagai hoaks terkait Pemilu 2019 kepada aparat penegak hukum.
"Ada beberapa hal (hoaks) yang nanti kami pilah, cukup dilakukan klarifikasi saja atau karena itu cukup membahayakan, serius, berdampak masif."
"Kami ambil sikap sampai dengan melaporkan hingga ke aparat penegak hukum," kata Ketua KPU RI, Arief Budiman dalam konferensi pers terkait Pemilu 2019 di Kantor KPU RI, Jakarta, Sabtu (20/4/2019), seperti dikutip Antara.
Dia menuturkan, ada hoaks yang membahas tentang serangan server hingga proses penghitungan perolehan suara Pemilu serentak 2019 yang dilakukan KPU RI.
Karena itu, pihaknya akan selalu menyampaikan klarifikasi agar berita bohong itu tidak menyebar dan meresahkan masyarakat.
"Setiap hoaks yang sampai ke kami, apapun itu, pasti kami klasifikasi. (Hoaks) menyampaikan tentang server, proses atau apapun itu pasti kami klarifikasi," ujarnya dikutip dari Kompas.com.
Arief Budiman meminta masyarakat untuk sabar menanti hasil akhir penghitungan perolehan suara yang akan ditetapkan KPU RI berdasakan rekapitulasi fisik berjenjang.
Masyarakat juga diminta tidak mudah terpengaruh oleh berbagai informasi yang menyebar di internet maupun media sosial.
Mahfud MD Minta KPU Harus Lebih Profesional
Sementara itu, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus lebih profesional.
Hal ini menanggapi banyaknya isu yang menyerang KPU pasca pencoblosan.
Dalam cuitannya, Minggu (21/4/2019), Mahfud MD rupanya telah mengingatkan hal serupa pada KPU sejak Januari 2019.
Menurut Mahfud MD, KPU akan diserang dengan banyaknya isu setelah pemungutan suara Pemilu 2019.
Sebut saja isu soal kecurangan, tidak profesional, memihak, diintervensi, dan lainnya.
Ternyata, apa yang disampaikan Mahfud MD dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) awal Januari 2019 benar-benar terjadi.
"KPU HARUS LEBIH PROFESIONAL."
"Pd awal Januari 2019, sy sdh ingatkan, stl pencoblosan KPU akan diserang dgn berbagai isu: kecurangan, unprofesional, memihak, diintervensi, dan sebagainya."
"Waktu itu sy ingatkan, @KPU_ID hrs profesional. Yg sy sampaikan di ILC itu skrng benar terjadi," tulis Mahfud MD mengawali rangkaian utasnya.
Mahfud menulis, kekisruhan yang sekarang terjadi lantaran KPU kurang antisipasi dalam penanganan Teknologi Informasi sehingga terkesan kurang profesional.
Pakar hukum dan tata negara itu mencontohkan kejadian salah input data yang terjadi di sembilan daerah.
Termasuk data yang terinput baru lima persen padahal sudah tiga hari.
Sementara penghitung suara yang dilakukan pihak swasta atau perseorangan sudah lebih di atas 50 persen.
"Kekisruhan yang skrang terjadi, antara lain, disebabkan jg oleh kurang antisipatifnya KPU dlm penanganan IT sehingga terkesan kurang profesional."
"Masak, salah input data sampai di 9 daerah? Masak dlm 3 hari baru terinput 5%?"
"Penghitung swasta/perseorangan sj sdh lbh di atas 50%."
Lebih lanjut Mahfud MD mengatakan, keadaan seperti ini menimbulkan banyak spekulsi negatif dan semakin memperpanas suasana.
Kata Mahfud MD, ada yang curiga, KPU disusupi orang IT yang tidak netral.
Oleh karenanya, Mahfud MD meminta KPU, awak IT yang bertugas di KPU harus benar-benar profesional dan netral.
Sementara Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan masyarakat sipil harus diberi akses yang luas untuk secara langsung mengawasi.
"Keadaan spt ini menimbulkan bnyk spekulasi negatif dan semakin memperpanas suasana."
"Ada yg curiga, KPU kesusupan orang IT yg tidak netral."
"KPU hrs memastikan bhw awak IT-nya benar2 profesional dan netral."
"Bawaslu dan civil society hrs diberi akses yg luas utk langsung mengawasi," tulis Mahfud MD.
Sebagai bagian dalam pengawasan, kontestan Pemilu dan kelompok masyarakat tidak dilarang untuk menyampaikan hasil hitungannya sendiri kepada publik.
Baik penghitungan via quick count (hitung cepat) maupun real count.
Namun, hasil perhitungan keduanya harus diterima sebagai informasi awal dan pembanding.
Sebab, keputusan akhir siapa pemenang kontestasi tetap harus menunggu hasil hitung manual yang dilakukan KPU.
"Dlm rangka pengawasan, Kontestan dan kelompok2 masyarakat tdk dilarang utk menyampaikan hsl hitungannya sendiri kpd publik, baik Quick Count maupun Real Count."
"Tp semua itu hrs diterima sbg info awal dan pembanding sj."
"Keputusan akhirnya hrs menunggu hsl hitung manual, 22/5/2019."
Pada hitungan secara manual, lanjut Mahfud MD, semua pihak bisa mengajukan data secara resmi yang sah.
Data tersebut juga dimiliki semua pihak kemudian dihitung bersama-sama secara terbuka.
Dari data itu, bisa ditentukan siapa pemenangnya.
Mahfud MD pun menegaskan, hingga hari ini, belum ada pemenang Pemilu 2019 sampai ada pengumuman dari KPU.
Ia pun meminta semua pihak menjaga ketenangan hingga selesainya masa perhitungan manual.
"Pd hitungan scr manual itu semua pihak bisa mengajukan data resmi yang sah, yg jg dimiliki oleh semua pihak, utk kemudian dihitung ber-sama2 scr terbuka."
"Di sanalah bs ditentukan siapa yg menang."
"Jd s-d hr ini blm ada yg menang. Mari jaga ketenangan sampai selesai hitung manual," tutup Mahfud MD mengakhiri rangkaian utasnya.
(Tribunnews.com/Sri Juliati)