"Mungkin semua itu terjadi karena penyesalan yang begitu dalam atas pembunuhan yang dia lakukan pada waktu itu. Karena rasa penyesalan yang begitu dalam, saat memperagakan pembunuhan itu, (mereka) seperti mati rasa," ujar Adi lirih.
Oppenheimer juga bertemu dengan dua orang yang mengaku sebagai pembunuh Ramli. Keduanya, Amir Hasan dan Inong, memperagakan bagaimana mereka membunuh Ramli di pinggiran Sungai Ular.
Film dokumenter itu menjadi setegang film fiksi, ketika menyuguhkan adegan Adi menemui Inong, menawarkan kacamata untuk mata Inong yang rabun.
Sambil mencari ukuran lensa kacamata yang cocok untuk mata Inong, Adi bertanya masa lalu Inong. Adi terus mengejar, memantik marah Inong.
"Maksud saudara bertanya apa? Saudara menanyakan terlalu dalam. Bicara soal politik, saya tidak suka."
Inong begitu marah dan meminta Oppenheimer berhenti merekam pertemuan itu. Wajahnya menegang dengan tatapan hampa. Bukan hanya marah yang muncul dari adegan itu. Terasakan, penyangkalan Inong atas sesal adalah jalan, mungkin satu-satunya jalan Inong, untuk melanjutkan hidup.
Kemarahan juga tercuat ketika Adi menemui keluarga almarhum Amir Hasan. Dua anak Amir Hasan marah mendengar Adi menuturkan isi buku Embun Berdarah karangan ayah mereka yang merinci pembunuhan 32 korban pembantaian, termasuk Ramli. Kisah pahlawan yang ditulis sang ayah tiba-tiba terasakan menjadi tuduhan ketika dituturkan Adi, adik Ramli.
"Sekarang ini terbuka luka. Dikarenakan Joshua lah, mengambil ini semua, data mendiang pun dibukakan sejarahnya semua, akhirnya terbuka. Kalau tidak, mana adik (Adi) tahu sama kami, kan?" Salah satu putra Amir Hasan bertanya kepada Adi.
"Tahu," jawab Adi.
"Tahu, aku tahu persis keluarga ini. Siapa saja yang keluarganya dibunuh pasti ingat. Tapi ingat bukan dalam artian dendam."
Istri Amir Hasan dengan sepenuh hati berujar lembut, meminta maaf Adi.
Bagi masa depan
Untuk apa mengungkit sesuatu yang telah berlalu, itulah yang dinyatakan Inong, keluarga Amir Hasan, juga sejumlah tokoh pembantaian 1965-1966 lain yang bersuara dalam Senyap. Mengungkit yang lalu mengoyak luka lama. Senyap secara tak terduga menuturkan bahwa mereka yang membunuh pun terluka, melukai kemanusiaan mereka. Luka itu mereka lupakan dengan penyangkalan dan euforia kepahlawanan yang rapuh.
Senyap juga menuturkan bahwa Adi—berikut ratusan ribu hingga jutaan keluarga penyintas lainnya—masih dilukai hingga luka itu terus basah. Luka Adi basah menerima pertanyaan anaknya yang pulang sekolah, mengisahkan cerita guru mereka tentang kekejaman PKI. Adi bersabar menjelaskan sejarah keluarga dan sejarah Indonesia kepada sang anak. Adi marah, belajar tidak mendendam, tetapi negara terus mengoyak lukanya.
Oppenheimer mengibaratkan Senyap sebagai puisi tentang kesenyapan.