TRIBUNNEWS.COM - Siapa tak kenal pemilik tubuh kurus, wajah oval dan sering membuat penikmat hiburan tanah air tertawa.
Dikenal sejak bermain di Extravaganza dan Ruming Aming selalu bikin tertawa karena celetukan dan tingkahnya.
Kisah Aming yang menikahi Evevelyn membuat heboh publik.
Gaya yang tertukar, antara Aming yang bergaya seperti perempuan dengan sang pasangan yang tomboy membawa asumsi publik kalau pernikahan ini aneh.
Terlepas dari pro kontra itu, Aming ternyata sempat mengalami pilu dalam kisah hidupnya.
Dalam pengakuannya tentang cerita hidupnya, Aming menegaskan, dirinya lelaku tulen.
Simak penuturan tentang perjalalanan hidup Aming melalui tutur katanya yang dikutip Tribunnews.com dari Tabloidnova.com.
Wajahku mungkin tak asing lagi buat penonton setia Extravaganza yang ditayangkan Trans TV dan Ruming yang memunculkan wajahku di TV7 tiap Senin-Jumat.
Meskipun aku sering berpakaian ala perempuan di kedua acara itu, aku lelaki tulen, lho.
Nama lengkapku Aming Sugandhi. Aku lahir pada 7 November 1980 sebagai anak ke-9 dari 10 bersaudara.
Banyak ya, saudara kandungku. Sebenarnya malah lebih banyak dari itu. Kalau ditotal, Mien Rumiah yang biasa kupanggil Emak, punya 17 anak. Jadi, aku sebetulnya anak ke-16! Tapi kami tinggal bersepuluh, 5 anak perempuan dan 5 anak laki-laki. Tujuh saudaraku lainnya, meninggal baik saat masih bayi, maupun masih di dalam kandungan, menjelang mereka lahir.
Bisa jadi orang tuaku menganut ungkapan banyak anak banyak rezeki. Namun, pepatah yang dipercaya banyak orang tua itu, tidak berlaku buat keluargaku. Yang terjadi justru sebaliknya, kesejahteraan aku dan saudaraku malah tidak terjamin.
Dulu, orangtuaku sempat kaya. Bapak bekerja di sebuah kapal pesiar di Singapura. Gajinya cukup besar, apalagi waktu itu masih jarang orang bekerja di kapal pesiar. Selain itu, Bapak pernah menjadi kontraktor untuk proyek-proyek besar, termasuk pembangunan gedung Sarinah Jakarta. Bahkan, Bapak pernah jadi manajer keuangan di sana.
Memang, orang tua juga berinvestasi dalam bentuk perhiasan dan tanah. Namun, selebihnya kurang begitu dipikirkan, misalnya saja dalam bentuk tabungan uang. Ya, hidup dalam kondisi berkecukupan membuat keluargaku terlena.
Tanpa bermaksud meremehkan tatanan sosial masyarakat kita, terutama orang-orang kaya di daerah, aku merasa pentingnya pendidikan tidak terbetik dalam benak mereka. Begitu pula dengan keluargaku. Kakak-kakakku keenakan menikmati hidup karena kekayaan orang tua.
Pada saat bersamaan, orang tua juga tidak mendorong pendidikan anak-anaknya. Jadilah, kakak-kakakku hanya sekolah sampai SMP atau SMA. Sayang sebetulnya, mengingat kakak-kakakku termasuk cerdas.
Cari orangtua gadungan:
Suatu hari, masalah besar menimpa keluargaku. Tak perlu kuceritakan detailnya. Yang jelas, masalah itu sampai membuat kedua orang tuaku sempat berpisah. Sejak itu, keadaan ekonomi keluarga menjadi goyah. Maklum ya, selama ini Bapaklah penopang finansial keluarga. Sementara, Emak hanya ibu rumah tangga biasa, yang mendadak harus jadi single parent.
Anak-anak yang belum mandiri ikut Emak. Usiaku baru tujuh tahun waktu itu, sedangkan adikku, Ida, masih lima tahun. Aku ingat, untuk menghidupi anak-anaknya, Emak berbisnis kecil-kecilan, antara lain berjualan kain. Untung sudah ada kakak-kakakku yang bekerja, sehingga bisa membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Aku memahami kesulitan Emak. Apa yang bisa kulakukan? Aku pernah melihat anak-anak sebayaku
jadi pengojek payung saat hari hujan. Meski tubuh bayah kuyup, mereka dapat imbalan uang. Nah, kusampaikan niat jadi pengojek payung kepada Emak dan saudaraku. Namun, aku malah dimarahi. Bukannya apa-apa, mereka khawatir aku yang sudah sangat kurus sejak kecil, akhirnya jadi sakit. Padahal tak ada uang untuk biaya berobat.
Kondisi ekonomi keluargaku memang benar-benar seret. Soal pendidikan dan kesehatan aku dan saudaraku, tentu saja jadi tak terjamin. Aku juga sering sakit karena sanitasi di lingkungan rumah tak terlalu bagus. Aku pernah sakit asma dan paru-paru sehingga terpaksa dirawat di rumah sakit.
Maklum, rumah kami yang terletak di gang kecil di Bandung termasuk sempit dan lembap. Sudah begitu, mesti ditempati keluarga besar. Sirkulasi udara jadi tidak lancar. Lalu untuk urusan sekolah, ada kakakku yang sekolahnya terpaksa putus di tengah jalan.
Lantas bagaimana pendidikanku? Untunglah, aku dikaruniai kecerdasan. Waktu SD, aku selalu ranking satu. Bahkan, hingga SMA aku termasuk pelajar berprestasi. Aku bahagia bisa meringankan beban Emak karena sejak SD hingga SMA, aku selalu mendapat beasiswa. Padahal, aku lebih sering belajar sendiri, lho.
Emak sendiri memang kerepotan mengurus anak-anaknya. Yang diperhatikan, kan, bukan cuma aku. Itu sebabnya, hari pertama aku sekolah, tak ada yang mengantarku. Selain itu, sejak SD sampai SMA, aku ambil rapor sendiri. Padahal, teman-teman lain, rapornya diambil orang tua, atau setidaknya keluarganya. Tak ada pilihan lain, kalau kebetulan menemui kesulitan mengambil rapor, aku minta orang lain untuk jadi orangtua gadungan. Hahaha.. (Tabloidnova.com)