News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Bondan Winarno Meninggal Dunia

Cerita Seorang Sopir Taksi yang Berterima Kasih pada Bondan Winarno

Editor: Hasiolan Eko P Gultom
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Bondan Winarno.

Karena tidak minat, kuliah tidak saya selesaikan. Tahun 1970 saya malah nekat pindah ke Jakarta untuk bekerja.

Di mana Anda bekerja?

Saya sempat menjadi pegawai honorer di Dephankam dengan gaji Rp 2.500 perak. Lama-lama saya merasa bosan. Saya membutuhkan tantangan kerja yang lebih tinggi.

Lalu, saya masuki dunia periklanan. Tahun 1973 saya menjadi copywriter di sebuah agensi periklanan. Saya sempat wira-wiri di beberapa agensi periklanan sebagai creative director, account executive, hingga advertising manager di perusahaan Union Carbide.

Awal 1980an saya rindu dengan dunia tulis-menulis. Saya masuk ke Harian Sinar Harapan. Saya mendapat tugas mendirikan divisi penerbitan buku, yaitu Pustaka Sinar Harapan. Saya juga menjadi redaktur pelaksana Tabloid Mutiara yang banyak mengupas masalah lingkungan.

Tahun 1985, Goenawan Mohammad mengajak saya menjadi wakil pemimpin redaksi di majalah SWA. Entah bagaimana rencana Tuhan, tiba-tiba saya tertarik menekuni bidang bisnis.

Bisa ceritakan sepak terjang Anda berkarier di dunia bisnis?

Saat sedang di kantor SWA, saya kedatangan seorang tamu, yaitu Sutrisno Bachir. Beliau   meminta saya membantu negosiasi bisnis hasil laut milik kakaknya, Kamaluddin Bachir, ke Jepang. Saya hanya sebagai penerjemah.

Singkat cerita, selanjutnya Kamaluddin malah meminta saya bekerja untuknya. Kami pun mulai berbisnis. Tak disangka, bisnis kami sukses hingga ke pasar Amerika. Saya kemudian mendirikan perusahaan hasil laut di Los Angeles dan tinggal di sana bersama istri dan tiga anak.

Kebetulan putri bungsu saya, Gwen, memang bercita-cita sekolah di Amerika. Sayang, setelah tiga tahun perusahaan kami kena tipu konsultan di Amerika. Kami sangat syok, sampai akhirnya Kamaluddin pun terkena serangan jantung dan meninggal.

Saya akhirnya kembali ke Tanah Air. Tahun 1998 saya menjadi konsultan di World Bank.

Selama berbisnis, bagaimana kegiatan menulis?

Saya tetap aktif di SWA. Lalu,sejak tahun 1984 menjadi penulis kolom KIAT setiap minggu di Majalah TEMPO dan sempat dihimpun dalam dua buku. Kegiatan ini berhenti Juni 1994 ketika TEMPO dibredel.

Saya juga menulis kolom Asal Usul di KOMPAS selama tiga tahun, novel dan beberapa buku manajemen kasus.

Apa karya yang paling berkesan bagi Anda?

Satu buku saya yang berisi laporan investigasi kasus emas Busang, berjudul Bre X: Sebungkah Emas Di KakiLangit (1998). Itu sempat mengundang kontroversi. Saya dituduh melakukan investigasi karena dibayari orang.

Saya dituntut Rp 2 triliun oleh IB Sudjana yang merasa namanya tercemar. Buku itu ditarik karena tuntutan hukum. Persidangan selesai tahun 2000, saya dinyatakan kalah dan bersalah.

Satu lagi, buku saya yang terbaru, yaitu kumpulan cerpen Pada Sebuah Beranda (2005). Buku ini saya terbitkan untuk merayakan ulangtahun ke-55. Saya bahagia bisa melampaui usia kakak laki-laki  dan ayah saya yang meninggal sebelum usia 55 tahun.

Sekarang apa kesibukan di luar bidang kuliner?

Saya sedang dalam proses menulis buku tentang personal branding. Selain menulis buku, saya ingin pensiun dari segala kesibukan yang rutin dan benar-benar menikmati hidup.

Omong-omong, Anda hobi makan tak takut bermasalah dengan kesehatan?

Itu pasti sangat saya perhatikan. Walau hobi, tetap harus dibatasi. Saya sangat menjaga tubuh dengan konsultasi ke dokter dan olahraga. Dan selama ini tak bermasalah.

K. Tatik Wardayati/Nova.id

(Ditulis oleh Ratih Sukma Pertiwi. Seperti pernah dimuat di Tabloid NOVA edisi 980/XIX Desember 2006)

 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini