TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua MPR, Zulkifli Hasan akan mendesak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sebagai menteri yang membawahi perfilman, agar segera menerbitkan peraturan-peraturan pemerintah terkait pelaksanaan Undang-Undang No 33 tahun 2009 tentang Perfilman.
“Sangat disayangkan, Undang-undang Perfilman yang sudah dikeluarkan sembilan tahun lalu, hingga kini belum diberlakukan,” kata Zulkifli Hasan saat menerima Panitia Kongres Peranserta Masyarakat Perfilman, Selasa (30/1) di ruang kerjanya, Gedung Nusantara III, Senayan, Jakarta.
Zulkifli Hasan sempat bercerita, anggota keluarganya sendiri belum lama ini membuat film dengan modal sampai jual tanah segala, ternyata hanya mendapat sepuluh layar di bioskop saat pertunjukannya.
“Ini sungguh memprihatinkan. Film Indonesia mestinya mendapatkan perlindungan hukum untuk berkesempatan dipertunjukkan serta mendapatkan penonton yang memadai,” kata Zulkifli Hasan.
Dalam kesempatan itu, Zulkifli Hasan juga menyatakan kesediaannya untuk membuka kegiatan Kongres Peranserta Masyarakat Perfilman yang akan berlangsung 2-3 April di Surabaya.
“Makanya ada di antara masyarakat perfilman ini yang bersedia menjadi anggota DPR. Biar bisa memperjuangkan hal-hal seperti ini,” kelakarnya.
Sementara itu Ketua Pelaksana Kongres, Sonny Pudjisasono menyampaikan, pihaknya saat ini terus menghimpun permasalahan-masalahan dalam penyelenggaraan perfilman nasional, untuk nanti dibahas di dalam kongres serta diharapkan melahirkan rumusan-rumusan yang menjadi masukan kepada berbagai pihak, termasuk pemerintah dan pemangku kekepentingan perfilman.
“Selain masalah UU Perfilman yang tidak dilaksanakan setelah sembilan tahun diundangkan, melalui kegiatan sarasehan kami menginventarisasi berbagai masalah. Di antaranya tentang Piala Citra yang semakin kehilangan marwahnya, tentang tata edar yang tidak adil, tentang masalah sensor, dan lain sebagainya,” kata Sonny Pudjisasono.
“Berbagai masalah itu kita telusuri data dan faktanya, kita kaji, dan kita susun untuk menjadi materi kongres. Kita menemukan banyak indikasi tidak beres dalam perfilman nasional.”
Wina Armada Sukardi dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang juga menjadi Pengarah (Steering Committe) dalam Kongres, mengatakan bahwa yang dilakukan oleh masyarakat perfilman dalam gerakan menuju kongres ini, adalah mendorong agar peraturan perundang-undangan dihormati semua pihak.
“Janganlah peraturan dilanggar, dengan mengakibatkan banyak pihak dirugikan, termasuk merugikan Film Indonesia.” kata Wina Armada.
“Sekarang memang ada Film Indonesia meraih penonton jutaan, karena mendapatkan banyak layar di hari-hari awal pertunjukannya.
Film-film itu milik siapa? Bagaimana dengan puluhan film lainnya yang hanya mendapat layar sangat sedikit, sehingga hanya bisa mendapatkan penonton yang tidak memadai?”
Menurut sutradara dan juga wartawan Akhlis Suryapati, persoalan yang dibawa ke kongres nantinya bukan sekadar himpunan kasus dan silang-sengkarut penyelenggaraan perfilman.
“Kongres juga akan merekomendasikan hasil-hasil kajian yang sifatnya untuk terciptanya iklim perfilman yang kondusif,” kata Akhlis Suryapati.
“Setidaknya arah dan tujuan penyelenggaraan perfilman diharapkan sesuai dengan cita-cita perjuangan para tokoh perfilman kita, serta sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang. Dalam draft materi kongres juga ada tentang konsep pengadaan bioskop di daerah-daerah yang selama ini sudah sering diwacanakan.”