Anggota Komisi X DPR RI, Anang Hermansyah, resmi menarik usulan Rancangan Undang-Undang (RUU) Permusikan di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Pertimbangan masukan dan saran atas materi draft RUU Permusikan serta rencana musyawarah besar komunitas musik menjadi alasan penarikan usulan RUU Permusikan tersebut.
Anang mengatakan, keputusan penarikan usulan RUU Permusikan sebagai tindaklanjut dari masukan dan tanggapan dari seluruh stakeholder ekosistem musik di Tanah Air.
“Agar terjadi kondusifitas di seluruh stakeholder ekosistem musik di Indonesia,” ujar Anang dalam rilis yang diterima Parlementaria, Kamis (7/3).
Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini tidak menampik bila RUU Permusikan telah menimbulkan polemik khususnya di ekosistem musik di Indonesia. Aspirasi yang masuk, kata Anang, ada yang setuju dengan revisi draf materi RUU Permusikan ada pula yang menolak seluruh materi RUU Permusikan.
“Saya sebagai wakil rakyat yang berasal dari ekosistem musik, wajib hukumnya menindaklanjuti aspirasi dari stakeholder. Sama halnya saat mengusulkan RUU Permusikan juga berpijak pada aspirasi dan masukan dari stakeholder. Ini proses konstitusional yang lazim dan biasa saja," tambah Anang.
Anang berharap situasi di ekosistem musik kembali kondusif dan dapat berembuk dengan kepala dingin atas persoalan yang muncul di ekosistem musik di Indonesia.
"Persoalan yang terjadi di sektor musik di Indonesia mari kita rembuk dengan baik melalui musyawarah besar (mubes) ekosistem musik di Indonesia," tambah Anang.
Legislator dapil Jawa Timur ini berharap, penyelenggaraan mubes dapat dilakukan dalam waktu tak lama setelah pelaksanaan Pemilu 2019.
"Mubes baiknya dilaksanakan setelah Pemilu. Kita berembuk bersama, kita beber persoalan yang ada di sektor musik dan bagaimana jalan keluarnya," ungkap Anang.
Anang menuturkan tantangan di industri musik di Indonesia dari waktu ke waktu semakin kompleks. Pikiran dan pandangan dari ekosistem musik cukup penting untuk merumuskan peta jalan atas tantangan-tantangan yang muncul.
“Seperti konstruksi hukum di sektor musik kita masih 2.0, padahal saat ini eranya sudah 4.0. Di Amerika, pada 11 Oktober 2018 lalu baru disahkan Music Modernization Act (MMA), regulasi terkait dengan hak cipta untuk rekaman audiao melalui teknologi berupa streaming digital. Bagaimana dengan kita di Indonesia?” ujar Anang.
Kaitannya dengan hal tersebut, Anang menyebutkan persoalan pajak di sektor musik yang saat ini banyak memanfaatkan medium digital seperti Youtube dan Facebook belum ada pengaturan mengenai hal tersebut.
“Bagaimana dengan pendapatan dari ranah digital seperti dari Youtube maupun Facebook?” tambah Anang.
Anang juga menyoroti urgensi keberadaan data besar (big data) untuk memuat seluruh direktori musik di Indonesia. Keberadaan Undang-Undang Serah Simpan Karya Rekam Karya Cetak (UU SSKRKC) yang mengamanatkan seluruh karya rekam diserahkan ke perpustakaan nasional, menurut Anang masih menimbulkan pertanyaan.