News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pernah Dikecam karena Dinilai Kampanye LGBT, ‘Kucumbu Tubuh Indahku’ Melenggang ke Oscar

Editor: Anita K Wardhani
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Potongan adegan film Kucumbu Tubuh Indahku garapan sutradara Garin Nugroho yang diprotes warga.

Perjalanan hidup membawanya ke lingkungan komunitas lengger lanang, tari tradisional asli Banyumas yang dimainkan oleh lelaki yang didandani dan menari layaknya perempuan. Di sini dia menjadi seorang penari yang harus tampil feminim sebagai penari yang lemah gemulai.

Perjalanan hidup juga yang kemudian menjadikannya seorang gemblak, sebutan bagi anak muda laki-laki yang dianggap semacam 'kekasih' warok, tokoh dalam seni reog.

"Kehidupan ini secara umum untuk perkembangan anak dan remaja tidak lazim, tapi fenomena ini ada di tengah sudut kehidupan masyarakat."

"Ini sebetulnya ketika diangkat menjadi film ini, itu menjadi nilai edukasinya mengingatkan orang tua hati-hati ketika mendidik anak, jangan sampai salah asuh," kata Ketua LSF Ahmad Yani.

Metafora trauma tubuh

Namun, sang sutradara, Garin Nugroho yang kerap mengusung tema sensitif dalam film-filmnya mengungkapkan, film garapannya kali ini ingin mendedah trauma tubuh, tentang perjalanan maskulin dan feminim dalam tubuh seorang penari, Rianto, yang menjadi inspiratornya.

"Tema saya tentang trauma tubuh yang dialami oleh tokoh-tokoh dalam film ini. karena tokohnya seorang penari, maka trauma tubuhnya menyangkut maskulin dan feminim."

"Tentang LGBT pasti menjadi bagian dari persoalan feminim dan maskulin itu. Oleh karena itu harus dimunculkan dan dialogkan."

Trauma 'tubuh' yang dimaksud Garin, bukan hanya tubuh secara fisik, tapi juga metafora. Selain tentang gender dan seksualitas, ia juga menyinggung memori sebuah bangsa yang dikubur dan enggan dibicarakan karena menimbulkan trauma.

Itu adalah 'tubuh personal' si penari, 'tubuh sosial'-nya, menyangkut perjalanan hidupnya beradaptasi dengan lingkungan yang satu dengan yang lain dan 'tubuh politik', yakni tudingan komunis yang ditujukan oleh ayahnya yang membuatnya trauma dan membayangi perjalanan hidupnya.

"Jadi ada sebuah tubuh dengan trauma-traumanya dan ada bangsa yang tidak memecahkan trauma-traumanya dan melahirkan trauma yang menjadi penyakit bersama bangsa ini," jelas Garin.

Lebih jauh, Garin menuturkan, selain mengisahkan perjalanan hidup si penari, karya ini juga tumbuh dari sebuah riset tentang dualisme gender dalam berbagai aspek kehidupan, baik alam semesta, maupun seni tradisi yang sudah menjadi bagian dari sejarah bangsa.

Pemilihan lengger dan reog merupakan usaha Garin mendekatkan tema-tema tersebut pada penonton.

Lewat tokoh warok yang menjadikan Juno sebagai gemblaknya, Garin membuat pernyataan bahwa hubungan sesama jenis bukan hal baru dalam budaya Indonesia.

Bahkan, kisah penari lengger dipilih untuk menjadi contoh keberagaman ekspresi seksual. Lengger merupakan kesenian yang ditarikan lelaki dengan berdandan ala perempuan.

Kesenian ini sudah hadir di tengah masyarakat Banyumas sejak lama dan tercatat dalam Serat Centhini yang keluar pada 1814.

Feminisme dan maskulinitas dalam tubuh penari
Didik Nini Thowok, penari yang sudah sekian lama mempraktikan tarian lintas gender mengungkapkan alasan di balik mengapa dahulu kala, banyak pria yang menari layaknya perempuan.

Contohnya, dalam wayang wong gaya Yogyakarta yang dipentaskan pada masa Sultan Hamengkubuwono VII pada Abad 19, tokoh perempuan dalam kisah itu diperankan oleh laki-laki untuk menjaga citra perempuan kala itu.

"Wanita pada zaman itu kalau tampil di depan umum imejnya jelek. Makanya wanita digantikan perannya oleh laki-laki," jelas seniman yang kini tinggal di Yogyakarta itu.

Hal yang sama juga diterapkan dalam seni lengger yang berasal dari Banyumas, Jawa Tengah.

Bahkan, ada satu desa di Banyumas yang hingga kini masih mempertahankan tradisi tarian lengger untuk keperluan ritual, harus dilakukan oleh penari pria.

"Kalau yang menarikan wanita, pasti ada malapetaka, mana yang panggungnya jebol, mana yang hujan angin, macam-macam," kata dia.

Sama dengan film-film bertema gender, Didik yang sudah berpuluh-puluh tahun mempraktikkan tarian lintas gender mengaku, baru akhir-akhir ini muncul pelarangan untuk pentas di televisi.

"Mereka itu harusnya memahami budaya, karena ini kaitannya dengan seni budaya, dan juga sebaiknya belajar dulu. Karena apa yang saya lakukan membawakan tari cross-gender adalah tradisi yang sudah lama di Indonesia,"

Bahkan, stereotip penari pria yang lemah gemulai, identik dengan homoseksual kian menggejala.

Dia was-was jika stereotip buruk terus dicapkan pada seni tradisi ini, alih-alih tradisi ini justru tergerus zaman.

"Kalau kemudian itu banyak orang yang semakin melarang tradisi semacam ini ya selesai sudah," cetusny

(Tribunnews.com/Nurul Hanna/Wartakota//bbc)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini