TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Polisi tidak memberikan keterangan secara rinci jenis narkotika apa yang dikonsumsi oleh pengusaha dan selebgram Medina Zein.
Saat dilakukan tes urine sebelumnya, ditemukan kandungan amphetamine dan methamphetamine. polisi meyakini Medina Zein menggunakan narkotika.
Medina mengakui mengkonsumsi obat yang mengandung narkotika. Menurutnya, obat tersebut didapat dari dokter kejiwaan yang menangani penyakit bipolarnya.
Tetapi Medina juga tak mengungkap, obat apa yang dimaksud dan kandungan narkoba golongan berapa. Ia takut salah bicara.
"Memang ada salah satu obat yang digunakan oleh saya tapi izin dokter itu memang narkoba golongan apa saya nggak paham. Takut salah ngomong. Biar nanti dokternya saja yang menjelaskan," ungkap Medina di Mapolda Metro Jaya, Jumat (3/1/2019).
Polisi juga tak menerangkan jenis obat tersebut. Kabid Humas Polda Metro Jaya hanya menegaskan penggunaan narkoba dalam penggolongan tertentu untuk pengobatan adalah perbuatan melawan hukum.
"Dari pengakuan tersangka ini mengidap penyakit bipolar golongan tingkat dua. Tetapi, yang namanya narkoba ya narkoba (golongan satu). Itu dilarang. Saya tegaskan ya, tidak ada penyembuhan dengan menggunakan itu (narkoba)," ujar Kombes Yusri Yunus yang duduk di samping Medina.
Publik masih menunggu penjelasan kepolisian dan dokter yang menangani Medina Zein terkait jenis obat yang dikonsumsi Medina.
Sebab, jika memang benar obat yang diberikan dokter mengandung amphetamine dan methampetamine, maka hal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
Baca: Ayah Medina Zein Blak-blakan, Soal Penyakit Bipolar hingga Kedekatan Sang Putri dengan Ibra Azhari
Dalam Permenkes 50/2018, methamphetamine atau yang dikenal dengan shabu disebutkan masuk ke dalam narkotika golongan 1 bersama bersama heroin, kokain, dan ganja.
Sedangkan pada Pasal 8 (1) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan "Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan." Kemudian dipertegas dalam Pasal (2) yang berbunyi, "Dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan."
Penjelasan selanjutnya tertuang dalam Pasal 53 (1) yang berbunyi, "Untuk kepentingan pengobatan dan berdasarkan indikasi medis, dokter dapat memberikan Narkotika Golongan II atau Golongan III dalam jumlah terbatas dan sediaan tertentu kepada pasien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
Sejumlah ahli kejiwaan menyebut amphetamine dan methamphetamine bukanlah obat melainkan narkoba psikostimulan yang justru memiliki dampak berbahaya bagi pengidap bipolar.
Direktur Rumah Sakit Jiwa Dr Soeharto Heerdjan dr. Laurentius Panggabean Sp. KJ menyanggah persepsi tersebut.