News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Eksklusif Tribunnews

Besarnya Dampak Covid-19 Terhadap Industri Perfilman: Kru Film Memilih Bertani Hingga Bisnis Kuliner

Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Dewi Agustina
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Produser, sutradara, dan penulis naskah Andibachtiar Yusuf saat wawancara khusus dengan Tribunnews, di Jakarta, Sabtu (13/6/2020). Wawancara Andibachtiar dengan tribunnews terkait perkembangan pelaku industri perfilman Indonesia di tengah pandemi Covid-19. TRIBUNNEWS/HERUDIN

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sutradara Love for Sale, Andibachtiar Yusuf cerita bagaimana corona atau Covid-19 berdampak pada industri perfilman. Dari level produser, sutradara, artis peran, hingga krew film.

"Ada krew yang sekarang memilih bertani," ujar Yusuf saat ditemui Tribun Network di studio miliknya di Jakarta Selatan, Sabtu (13/6/2020).

Bioskop-bioskop tutup selama pandemi. Film-film batal tayang. Semua proses produksi film, misal syuting diundur.

Jika pun bioskop dibuka, maka jumlah kursi mungkin akan lebih sedikit dari biasanya, karena harus ada jarak untuk menghindari penularan virus corona.

Dampak corona terhadap industri perfilman tidak boleh dipandang sebelah mata.

Banyak pihak yang bergantung pada industri tersebut.

Produser, sutradara, dan penulis naskah Andibachtiar Yusuf saat wawancara khusus dengan Tribunnews, di Jakarta, Sabtu (13/6/2020). Wawancara Andibachtiar dengan tribunnews terkait perkembangan pelaku industri perfilman Indonesia di tengah pandemi Covid-19. TRIBUNNEWS/HERUDIN (TRIBUNNEWS/HERUDIN)

Andibachtiar Yusuf bercerita bagaimana corona berdampak pada proyeknya tahun ini. Sejumlah film yang tengah digarap terpaksa mundur.

Bahkan, kaya Yusuf, di kalangannya mulai ada yang coba merintis ke sektor usaha lain, seperti makanan.

Yusuf juga bercerita pesan yang ingin disampaikan lewat karya-karyanya.

Berikut petikan wawancara bersama Andibachtiar Yusuf:

Bagaimana corona berdampak pada industri perfilman?

Kalau ikut aturan, syuting memang belum. Tapi kalau pada kenyataan ya syuting, tapi kayak tv, syuting-syuting studio. Karena teorinya memang begitu kan, sesuai protokol kesehatan.

Baca: BREAKING NEWS: Seekor Harimau Masuk Perangkap BKSDA di Solok Sumbar

Aktivitas Anda selama pandemi corona?

Nonton Netflix ha-ha. Masih beresin script, sama visinema kita mau produksi sesuatu. Bagaimana kalau mundur Agustus saja, saya bilang gitu. Mau bikin spin off Love for Sale. Ceritanya si Arini itu. Kemudian si Della (Dartyan) katanya syuting Agustus.

Jadi kalau menurut saya, karena protokol belum ada yang fix. Menkomaritim bikin aturan soal produksi, tapi kita belum tahu. Menurut saya yang perlu duduk bareng itu asosiasi produser. Karena secara bisnis mereka terdampak duluan.

Ada crew saya, sekarang jadi bertani. Mau syuting sama kita harusnya April, tapi syutingnya belum bisa kita pastikan sekarang. Kita di situasi tidak jelas banget nih. Setelah PSBB transisi, ternyata angka PDP paling tinggi. Angkanya naik terus.

Bulan nanti kalau angkanya terus meningkat, apalagi kalau ada pejabat yang kena langsung waspada satu negara. Tadinya kan kita tenang-tenang saja sampai Menhub kita kena.

Kalau misalnya ada apa-apa lagi bisa juga tiba-tiba PSBB lagi. Yang pasti bukan lockdown lah, kalau lockdown kan negara mesti bayarin kita.

Proyek-proyek Anda di tahun ini banyak yang tersendat akibat corona?

April itu gua harusnya produce Dealova 2. 25-26 April itu harusnya buat Baby Blues sama Multivision. Di semester II ini ada Yakin Nikah, jadwal syutingnya sekitar Agustus.

Waktu itu sempat kita bikin series Netflix, yang kemudian Netflix di Singapura saja masih pada di rumah. Akhirnya tidak bisa di follow up. Akhir tahun sudah ada dalam level develop sesuatu sama Visinema. Begitu pandemi segala macem, kita mau bikin untuk ngisi bioskop online.

Baca: Merek Dagangnya Bermasalah, Pihak Ruben Onsu Klaim Masih Bisa Buka Gerai Ayam Geprek, Kok Bisa?

Itu mengganggu jadwal untuk artisnya, krewnya, dan lain-lain?

Pasti mengganggu, karena kita ngomongin di atas kertas. Itu saya syuting April, harusnya sama Aurelie, terus Tanta Ginting. Ini kalau diundur jadi Juni, ya mereka belum tentu bisa karena bentrok dengan jadwal lain. Sekarang Juni aja belum tentu juga bisa. Sementara Juni itu mungkin dia sama PH (Production House) lain.

Itu susah jawabnya. Karena kontraknya force majeur (sesuatu yang tidak terduga). Pasal yang belum tentu dibaca kan sama orang. Sampai akhirnya terjadi. Ya sampai hari ini Multivision belum hubungi, salah satunya karena kantornya sendiri belum buka. Yang pasti proyek mundur. Katanya mereka baru mulai proyek itu Januari 2021

Dampaknya sebesar apa?

Dampaknya gede. Sekarang bioskop saja sudah beberapa Minggu. Misal 15 Minggu tutup. Per Minggu ada 2 film. Berarti ada 30 film, ada 30 pekan diundur. Beberapa produser tahan sampai tahun depan.

Praktis income atau pendapatan berkurang, lalu bagaimana 'mengakali' situasi ini?

Itu memang harus asosiasi produser yang harus duduk bareng untuk mencari solusi. Tapi tetap saja film nonton di bioskop, selain prestige, pertarungan sesungguhnya film ya di situ. Kayak kita lihat film Dylan sampai tembus 6 juta penonton. Tapi di Netflix belum tentu.

Orang di Netflix, yang paling banyak ditonton di Indonesia itu The Night Comes for Us, yang kedua Love for Sale. Love for Sale dibanding Dylan di bioskop ya jauh. Mungkin karakter penontonnya beda. Tapi kalau berbicara revenue, nilainya sekali pukul. Netflix angkanya lumayan oke.

Tapi tetap saja tidak sebanding dengan pendapatan 1 juta penonton. Dibanding dibeli sama tv gede. Kalau berbicara 'ngakalin' tidak ada. Ya bioskop harus buka normal. Kalau dibilang OTT berarti kan mindset awalnya nurunin budget.

Baca: Video TikTok Wanita saat Rekam Aksi di Hotel Viral dan Mengaku Selingkuh, Ini Fakta Sebenarnya

Indonesia budget memang tidak gede dibanding Hollywood. Atau Korea lah, karena secara market produser sudah sadar film akan tayang cuma di Republik Indonesia yang layarnya tidak banyak amat-amat. Mungkin ditambah Malaysia, Singapur. Singapur mungkin tidak pernah gede kecuali The Raid.

Karena faktor bahasa. Malaysia kan suka sama produk kita. Kalau dibandingkan Korea, dia tahu kalau filmnya di negara dia layarnya hampir 7 ribu-8 ribu, layar kita cuma 2 ribu. Box office Korea 34 juta penonton. Kita penonton 6 juta.

Berniat untuk banting stir?

Banting stir banget sih enggak, mati-mati banget sih enggak. Sebenarnya mati-mati banget juga enggak. Kalau misalnya ngomongin iklan Indosat yang di rumah aja itu kan masih jalan aja. Tapi kan buat apa kita buat iklan-iklan begitu.

Sebenarnya kalau dilihat dari sisi baiknya, kita jadi seperti didorong jadi lebih kreatif sih. Mikirin kontennya mau seperti apa. Reza kan bikin Sementara Selamanya, itu kan sebenarnya dia tidak mempertemukan orang itu.

Produser, sutradara, dan penulis naskah Andibachtiar Yusuf saat wawancara khusus dengan Tribunnews, di Jakarta, Sabtu (13/6/2020). Wawancara Andibachtiar dengan tribunnews terkait perkembangan pelaku industri perfilman Indonesia di tengah pandemi Covid-19. TRIBUNNEWS/HERUDIN (TRIBUNNEWS/HERUDIN)

Berniat membuat mini serial seperti itu?

Ada sih lagi coba nyari, tapi kan bentuknya tidak sebesar kalau kita mesti ketemu. Kalau syuting mungkin sampai sekarang cost bisa gede kayak misalnya kita syuting di studio. Saya juga kepikiran kemarin mau buat sesuatu yang seperti bentuk orang tidak terlalu banyak di tempat, cuma belum fix saja.

Yang kita lagi bikin The Vlog juga pengennya bikin sesuatu yang seperti itu. Cuma kepikir tidak sih, lu makin dibiarin bebas, liar, makin kreatif. Kalau diginiin kayak di negara komunis jadi makin susah. Yang lain kan pada susah banget. Indonesia tidak tahu ya, karena belum pernah dengar tiket bakal berapa. Mungkin kalau dinaikkan orang tidak terlalu ke bioskop sih.

Tren masyarakat karena WFH suka nonton dari rumah dibanding bioskop?

Kan tidak banyak orang berpikir bahwa bioskop itu sebuah experience kan. Ya kita tahulah film Indonesia secara skala memang tidak tinggi. Saya saja bukan orang yang nonton film sendiri. Saya males nonton di tv. Cuma dengan berpikir, "Nanti jangan-jangan film gw kayak FTV."

Baca: Jadwal Acara TV Minggu, 14 Juni 2020: Ada Daebak di Trans7 dan Film Aftermath di Trans TV

Saya pernah nonton film orang yang kayak FTV film dia. Jadi saya suka ngerasa jangan-jangan film saya kayak FTV kalau saya nonton di bioskop nih.

Sebenarnya bioskop kita butuh experience kan? Kayak nonton Avatar deh. Nonton di TV kan enggak ada enak-enaknya. Tapi kan berapa banyak orang yang punya perasaan seperti itu di Indonesia?

Dan penonton film Indonesia secara umum tidak berpikir seperti itu. Penonton film Indonesia kan berpikir sesuatu yang simpel, fun, nonton bola, cakep pemainnya.

Produser, sutradara, dan penulis naskah Andibachtiar Yusuf saat wawancara khusus dengan Tribunnews, di Jakarta, Sabtu (13/6/2020). Wawancara Andibachtiar dengan tribunnews terkait perkembangan pelaku industri perfilman Indonesia di tengah pandemi Covid-19. TRIBUNNEWS/HERUDIN (TRIBUNNEWS/HERUDIN)

Jadi akan susah mengembalikan tren masyarakat nonton dari rumah ke bioskop?

Bakal susah. Tapi saya ngeliat itu mungkin ada di poin nomor dua atau tiga ya. Soalnya yang nomor satu adalah, misal kita syuting di bulan November. Film-film yang kemarin mengantre itu lagi ngisi di sini. Kan urutannya kedorong mundur.

Untuk masuk daftar 21, itu kalau PH yang agak kecil atau menengah suka agak lama. Jadi dia juga kedorong mundur. Berarti hitungan investasinya bakal berubah. Kalau kita mengurus investasi beberapa bulan satu tahun, hitungannya bank.

Jadi kalau misalnya syuting September, September tahun depan sudah tayang. Nah, mampu tidak melawan pergeseran ini? PH yang sudah besar sih mampu melawan ini. Karena mereka sudah punya tanggal yang secure. 21 sudah tahu kalau mereka akan ngisi film terus. Jadi mereka akan punya jatahnya di situ. Cuma pemain yang baru-baru, mungkin akan susah.

Baca: PAN Hormati Judicial Review Perppu Pilkada

Kalau pemain lama mungkin akan tetap jalan. Kayak Starvision itu pasti bakal tetap syuting. Kan banyak PH besar kecenderungannya, ketika film Indonesia mati, mereka tetap hidup. Ketika tahun 96, Starvision movie ada semua. Tetap berusaha bikin sekalipun mereka pindah TV. MD itu mereka sudah tidak ada TV lagi.

Makanya mereka pasti akan tetap produksi film. Ya mungkin dengan risiko tertular, angka produksinya naik.

Balik lagi kalau bicara soal protokol kesehatan, kalau jam kerja dibatasi, syuting tidak gampang. Misalnya nih, katanya Juli akhir sudah dikasih izin. Harusnya Juni saja sudah dikasih, soalnya ada yang sudah syuting. Kasih izin kita syuting di perumahan. Syuting di perumahan, tahu-tahu di kampung belakang ada yang PDP, kan disuruh bubar di sini.

Memang satu produksi itu orang yang terlibat 50 sampai 80. Kalau dia di atasnya, ada yang 100 atau 200. Ada yang 300 bahkan. 50 sampai 80 itu syuting yang kecil, itu akan ada satu atau dua tenda.

Atau makai rumah penduduk buat pemain, buat kru naro barang, buat makanan, ada keramaian itu pasti ada. Belum lagi mobil-mobil. Itu aja kan warganya kasih izin atau enggak. Warga butuh duit misalnya, tapi kalau ada yang kena Covid tetangga pusing juga mereka.

Produser, sutradara, dan penulis naskah Andibachtiar Yusuf saat wawancara khusus dengan tribunnews, di Jakarta, Sabtu (13/6/2020). Wawancara Andibachtiar dengan Tribunnews terkait perkembangan pelaku industri perfilman Indonesia di tengah pandemi Covid-19. TRIBUNNEWS/HERUDIN (TRIBUNNEWS/HERUDIN)

Di luar Covid, film apa yang sangat ingin mas buat?

Film action sih. Kayaknya semua sutradara Indonesia mau bikin film action. Tapi kesempatannya langka banget.

Kenapa sekarang belum mencoba?

Cerita ada. Teks sudah, tapi ini kan bikin berhenti. Ada yang tahun depan sudah diomongin, akhir tahun akan diomongin, tapi terus karena situasi begini jadi kita berhenti dulu ngomongin.

Impian terbesar mas Andi sebagai sutradara?

Kalau impian gw yang paling gede sebenarnya gw mau buat sesuatu yang bisa American Market. Menurut gw sesuatu yang American Market yang emang production company yang di sana. Karena beda.

Kalau ngomongin American Market film gw yang syuting di sini juga masuk Netflix di region Amerika. Ya itu American Market juga, tapi hal yang beda dengan kalau misalnya gw bikin The Outsiders terus tayang di jaringannya MMC (Amerika). Yang punya impian seperti itu sih punya. Bukan karena apa ya, tapi karena mereka keren aja. Industri film di sana.

Baca: Daftar Harga Sepeda Polygon Terbaru Juni 2020 di Bawah Rp 5 Juta, Ada MAZE 20 hingga RAYZ ONE

Sutradara yang paling menginspirasi?

Gw pengen kayak Clint Eastwood. Sudah tua masih mikir, sudah 90 tahun. 90 tahun masih riset, masih mikir, kan keren. Ada sutradara Portugal dia meninggal usia 110. Syuting terakhir umur 109.

Untuk pencapaian sih gw suka sama Teguh Karya. Mungkin kalau dilihat film gw juga bentuknya hampir sama. Sama dalam pengertian sample pemain, shot ukuran ruang. Romeo dan Juliet berantem di angkot, berantem di bus, berantem di kereta, berantem di lapangan. Ruang itu. Gw suka Teguh Karya. Clint Eastwood, Christopher Nolan gw juga suka.

Dari film-film yang udah Anda rilis, apa pesan yang ingin disampaikan?

Ada film gw yang praktis. Jadi saya di-hire untuk bikin film. Saya ada tiga atau empat film yang saya di-hire. Cuma saya berusaha untuk nawar elemen yang saya pengen. Kalau saya sesimpel sesuatu yang ada di sekitar kita itu bisa ada di film, karena gampang relate sama orang. Kalau lihat film saya yang terbit tahun 2019.

Produser, sutradara, dan penulis naskah Andibachtiar Yusuf saat wawancara khusus dengan Tribunnews, di Jakarta, Sabtu (13/6/2020). Wawancara Andibachtiar dengan tribunnews terkait perkembangan pelaku industri perfilman Indonesia di tengah pandemi Covid-19. TRIBUNNEWS/HERUDIN (TRIBUNNEWS/HERUDIN)

Itu saya taro unsur anak remaja ada berantemnya, ada jatuh cintanya. Indonesia ini, Jakarta lah, tempat yang dekat sama laut. Tapi berapa banyak sih film setting Jakarta yang ada unsur laut?

Bahkan orang Jakarta sendiri lupa kalau kita di pinggir laut. Kalau bicara pantai, itu pun di Bali. Jadi semua film saya yang bahkan setting di Jakarta sekalipun, selalu ada lautnya. Kalau orang selalu merasa ada sepakbolanya, tapi kalau sepakbola kalau menurut saya sesuatu yang saya paksakan saja. (Tertawa)

Ada nih, karena orang bilang begitu, jadi gw jagain aja terus. Tapi itu tidak susah, masalahnya kalau saya mau bikin konten kayak Love for Sale 2, saya tidak bisa ke laut.

Karena ceritanya jadi terpaksa. Tapi itu saya kasih kayak misalnya semua karakter tidak ada yang naik kendaraan pribadi. Semua naik kendaraan umum, karena hari ini. Makanya saya pikir love for sale 2 dia duduk di Kopaja ya yang kayak Kopaja sekarang kita lihat.

Baca: Bantah Tudingan Miring, Jordi Cerita Peran Ruben Onsu di Balik Nama I Am Geprek Bensu

Saya juga baru sadar ketika ada yang review film itu di Twitter dan kayaknya pegawai Pemda, soalnya dia bercerita soal tata ruang dan transportasi kota.

Itu dia bikin trheat yang lumayan panjang, menceritakan karakter yang naik kendaraan umum itu tadi. Karakter itu bepergian naik ojek, ke sini naik bus, ke sini naik mikrolet, ke sini naik kereta.

Saya kemudian, "Iya juga ya." Saya awalnya tidak sadar, mungkin karena saya berusaha mendekatkan itu sama secara tidak semua orang naik mobil.

Saya suka unsur yang, sesuatu itu kalau makin personal, itu makin kreatif. Jadi saya deketin mungkin ke diri saya sendiri saja. Situasi Ekonomi saya dulu dan sekarang beda. Jadi saya lebih mengingat dulu saya naik apa, dilihat zaman sekarang begini tinggal diadaptasikan saja. (dennis destryawan)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini