"Kami mengapreasiasi. Banding jaksa tidak sepenuhnya diterima, karena jaksa menginginkan lebih tinggi. Mereka (jaksa) menyatakan, hukuman terhadap Jerinx oleh majelis PN Denpasar terlalu ringan."
"Kemudian itu dibantah (PT Denpasar), artinya tidak diterima. Sehingga dalil kami yang diterima dan putusannya dikurangi 4 bulan oleh PT Denpasar," tuturnya.
Namun terlepas dari putusan PT Denpasar, dikatakan Gendo harusnya Jerinx tidak dapat dipidana dan dibebaskan dari segala tuntutan.
"Secara prinsip, pandangan hukum kami terlepas dari putusan PT Denpasar, kami berpendapat bahwa Jerinx tidak patut dipidana. Walaupun 10 bulan. Seharusnya Jerinx dibebaskan," tegasnya.
"Jerinx seharusnya tidak pantas untuk dihukum setinggi itu. Bahkan dituntut seperti itu. Jadi dalil jaksa sebetulnya ditolak oleh majelis."
"Tapi kemudian mengambil putusan banding yang meringankan. Bagi kami itu adalah tindakan besar. Tapi lebih besar lagi tindakannya membebaskan Jerinx," imbuh Gendo.
Gendo memaparkan, tindakan Jerinx secara teori hukum tidak dapat dikualifikasi sebagai ujaran kebencian.
Menurutnya, norma hukum yang lemah, karena ujaran kebencian tidak dijelaskan parameternya dalam pasalnya.
"Kebencian itu sesungguhnya adalah ujaran yang memang menghasut membenci satu kelompok atas dasar adanya tindak dikriminatif."
"Kebencian ini bukan kritik, bukan penyampaian satu fakta, tapi sifatnya lebih ke niat untuk mendegradasi satu kelompok tertentu berdasarkan SARA," paparnya.
Kemudian konsepsi lainnya adalah Antargolongan.
Dijelaskan Gendo, terlepas dari putusan MK, katan Dokter Indonesia (IDI) adalah lembaga publik tidak masuk dalam satu golongan.
"Jadi unsur ujaran kebencian dan antargolongan tidak tepat. Sehingga menurut kami Jerinx harus dibebaskan," jelasnya.
"Apalagi sebelumnya ada fakta jelas, bahwa rapid test itu merugikan masyarakat, mengancam nyawa manusia. Kemudian apa yang dinyatakan Jerinx juga terbukti."