Meski ada aturan didalam UU perfilman, bahwa 60 persen dari ribuan layar bioskop harus diisi film nasional, dan 40 persen diisi film import, rupanya aturan itu tidak diaplikasikan.
"Kembali lagi, semua karena bisnis. Ya aturan yang berlaku hanya tertulis saja, tidak pernah dijadikan landasan. Ini masalah yang tidak menemui titik tengah," ungkapnya.
Menurut Benny, rumah produksi yang bisa mendapat banyak layar ketika penayangannya, adalah mereka yang punya kedekatan dengan jaringan bioskop.
"Hal ini yang dikeluhkan oleh pelaku industri perfilman. Kalau gak ada kedekatan, pembagian layar tidak merata. Bahkan, penentuan tayang bioskopnya dimana aja jaringannya yang memilih dimananya," terangnya.
Benny Benke merasa masalah ini harus diselesaikan demi kemajuan industri perfilman dan menbuat film nasional menjadi tuan rumah di negerinya sendiri.
"Bisnis perfilman akan maju jika ada sistem yang adil baik dari pelakunya, penontonnya, dan penikmatnya. Kalau sistem adil, bisnis perfiman akan berjalan untuk semua pihak," ujar Benny Benke.